Advertisement

Simpatisan Teroris Perlu Diwaspadai

Sunartono
Jum'at, 29 Juni 2018 - 11:10 WIB
Laila Rochmatin
Simpatisan Teroris Perlu Diwaspadai SMA Muhammadiyah Al-Mujahidin, membacakan ikrar antiradikalisme, Senin (14/5). - Harian Jogja/Herlambang Jati Kusumo

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA--Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melarang masyarakat dari berbagai kalangan untuk sekadar bersimpati terhadap aksi terorisme. Mengingat dari simpati tersebut bisa berubah menjadi  dukungan terhadap pelaku teror.

Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Hamli menjelaskan pihaknya merinci ada beberapa tingkatan dalam pergerakan terorisme. Mulai dari simpatisan, kemudian suporter, operator hingga otak sekaligus penyebar ideolog. Keempatnya bisa saling berkaitan, seperti halnya suporter yang seringkali bisa berawal dari menjadi simpatisan. Namun, khusus untuk simpatisan hingga saat ini belum ada hukum yang dapat menjeratnya. Padahal dari simpati atau wujud moral tersebut bisa menjadi benih ke arah pelaku teror.

"Kalau suporter biasanya mendukung dalam bentuk uang atau logistik, itu bisa dikenakan hukum selama buktinya jelas. Jadi suporter itu ada," jelasnya saat berbicara dalam diskusi yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Ngali (HMN), Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis (28/6/2018).

Hamli menambahkan BNPT belum merinci jumlah simpatisan teroris yang ada di Indonesia. Namun ia menegaskan keberadaan simpatisan dari berbagai kalangan masyarakat faktanya ada dan harus diwaspadai. Oleh karena itu, ia meminta kepada masyarakat jangan sekali-kali menunjukkan simpati terhadap pelaku teror karena dapat menjadi amunisi bagi kalangan teroris untuk terus menjalankan aksinya.

"Tidak usah lah bersimpati kepada mereka, wong mereka membunuh di beberapa tempat kok kita simpati kepada mereka. Apalagi jelas-jelas menyerang. Bersimpati ini juga kami waspadai, terutama suporter, operator dan ideolog," jelasnya.

Ia menegaskan keberadaan terorisme di Indonesia benar adanya. Namun sayangnya kadang masih ada sekelompok masyarakat yang justru seolah menganggap tindakan teror sebagai sebuah rekayasa. "Kadang saya tidak habis pikir masih ada yang menganggap rekayasa. Berjalan belasan tahun sejak ada bom Mali, Marriot kok bisa direkayasa," ucapnya.

Hamli tidak menampik mahasiswa menjadi salah satu objek yang strategis untuk dicekoki paham radikal mulai dari awal menjadi simpatisan. Meski sebenarnya siapa saja bisa berpotensi menjadi simpatisan.

Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Muhammad Syifa Amin Widigdo sepakat bahwa mahasiswa kadang menjadi objek strategis penyebaran paham radikal. Apalagi, status mahasiswa berada pada masa pencarian jati diri yang sering merasa ingin banyak tahu dan mencoba merasakan banyak ideologi mulai dari liberal, moderat hingga radikal.

Syifa mengatakan radikalisme muncul sebenarnya sudah sejak zaman terdahulu. Bahkan dalam sejarah Islam, setelah Nabi Muhammad wafat bermunculan banyak aliran. Sayangnya, pergerakan yang dilakukan di masa lampau sebenarnya ada yang sudah tidak cocok diterapkan di era saat ini. Namun masih ada pihak yang mengaplikasikan ajaran tersebut.

Advertisement

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Darurat, Kasus Demam Berdarah di Amerika Tembus 5,2 Juta, 1.800 Orang Meninggal

News
| Jum'at, 19 April 2024, 20:27 WIB

Advertisement

alt

Pengunjung Kopi Klotok Membeludak Saat Libur Lebaran, Antrean Mengular sampai 20 Meter

Wisata
| Minggu, 14 April 2024, 18:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement