Advertisement

20% Akademisi Kesehatan di Indonesia Pro Rokok

Sunartono
Kamis, 15 Februari 2018 - 06:40 WIB
Bhekti Suryani
20% Akademisi Kesehatan di Indonesia Pro Rokok

Advertisement

Akademisi pro rokok masih jadi ganjalan.

Harianjogja.com, SLEMAN --Akademisi memiliki peran penting dalam rangka mendukung kesehatan masyarakat seperti upaya mengurangi perilaku merokok. Sayangnya, masih ada akademisi kesehatan yang kontra dengan kampanye terhadap pengendalian tembakau. Seorang akademisi UGM Prof Yayi Suryo Prabandari melakukan penelitian dan kampanye antirokok sejak 20 tahun silam hingga dikukuhkan sebagai guru besar.

Advertisement

Prof. Yayi Suryo Prabandari mengakui masih adanya akademisi kesehatan yang justru tidak mendukung kampanye antirokok namun malah pro pada industri rokok. Kenyataan itu berdasarkam identifikasinya ada sekitar 20% dari total akademisi kesehatan di Indonesia. Begitu juga di UGM, secara umum akademisi yang kontra terhadap berbagai penelitiannya tentang bahaya rokok masih ada sekitar 30% dari total keseluruhan akademisi.

"Kalau di Fakultas Kedokteran [UGM] tidak banyak paling hanya ada satu atau dua akademisi saja," terangnya di sela-sela konferensi pers jelang pengukuhan Guru Besar di Gedung KPTU Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, Rabu (14/2/2018).

Untuk menggalang dukungan para akademisi, kata dia, melalui pendekatan sejummah asosiasi profesi di lingkungan akademisi. Pihaknya pernah melakukan pendekatan dengan mengajak di Asosiasi Kedokteran Keluarga dan dokter spesialis untuk bersatu padu dalam menyikapi persoalan rokok. Berbeda dengan Thailand, Australia yang 100% akademisinya telah sepakat untuk mengontrol adanya tembakau.

"Iya jelas [ada orang kesehatan yang mengganjal, saya ngga tahu di baliknya ada apa, tetapi yang namanya satu topi atau bidang pasti ada yang pro dan kontra, mereka tentu punya alasan sendiri," kata dia.

Bahkan ada akademisi kesehatan yang memiliki penelitian yang sangat kontras dengan upaya mengontrol tembakau. Seperti memberikan hasi penelitian terkait manfaat tembakau. Ia mengakui pro dan kontra di bidang ilmuwan itu memang hal yang biasa, namun yang perlu ditelisik adalah pihak yang berada di balik penelitian tersebut. "Dia dapat uang dari mana penelitiannya, itu yang kami tegakkan, kita tidak boleh menerima dari pabrik industri tertentu," tegasnya.

Padahal akademisi memiliki peran penting dalam mendorong atau memberi masukan terbentuknya kebijakan berkaitan dengan kesehatan. "Harusnya [akademisi] bersatu padu satu suara," kata dia.

Yayi menjadi akademisi pertama di Indonesia dari ilmuwan sosial yang dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Kedokteran, mengingat dasar keilmuannya adalah psikologi. Kakak kandung anggota DPR Roy Suryo ini menjadi dosen di UGM sejak 1990 kemudian diangkat sebagai PNS di Fakultas Kedokteran UGM pada 1997. Sejak di S2 pada 1993 ia memutuskan melakukan penelitian tentang kajian merokok. Saat itulah ia merasakan sulitnya mencari referensi karena belum banyak artikel tentang kontrol tembakau. Dengan demikian, lebih dari 20 tahun ia menggeluti penelitian kontrol tembakau. Berbagai pendekatan telah dilakukan untuk menjangkau masyarakat dalam mengkampanyekan anti rokok.

Keyakinannya sejak puluhan tahun silam bahwa rokok menjadi penyebab penyakit sudah banyak terbukti. WHO pada 2016 menyebut selama 15 tahun terakhir penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia menggeser penyakit menular dan menjadi penyebab utama kematian. "Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko penyakit tertentu untuk PTM, seperti halnya jantung. Pada 2016 kelompok diagnosis penyakit jantung kardiovaskuler memberikan beban JKN sebesar Rp7,4 triliun," tegas wanita kelahiran November 1964 ini.

Tetapi karena banyaknya kampanye, saat ini ia mulai melihat ada peningkatan kesadaran masyarakat terutama dalam hal merokok di tempat umum serta konsumen rokok mulai berkurang. Karena itulah ada beberapa pabrik rokok yang melakukan inovasi untuk mengantisipasi kemungkinan terus menurunnya konsumen rokok. Ia berharap, Indonesia segera meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Yayi Suryo Prabandari akan dikukuhkan sebagai guru besar pada Kamis (15/2/2018) di Balai Senat UGM dan akan menyampaikan pidato berjudul Promosi Kesehatan dalam Pengendalian Perilaku Merokok di Indonesia, Antara Fakta dan Harapan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Video Viral Kejadian Unik, Truk Melaju Tanpa Sopir di Tol Kalikangkung Semarang

News
| Kamis, 18 April 2024, 15:47 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement