Advertisement
Nilai dan Keaslian Plengkung Gading Terus Dijaga

Advertisement
Plengkung Gading yang terletak di antara Jl. Letjen Haryono dan Jl. Mayjend Sutoyo tersebut masih memiliki bahan material dan desain yang sama sejak dibangun pertama kali. Ada banyak nilai dan kepercayaan dalam bangunan yang tergolong cagar budaya ini.
Nama aslinya adalah Plengkung Nirbaya. Artinya menjauhkan dari marabahaya. Umum disebut Plengkung Gading karena warnanya putih gading. Plengkung Gading terletak di sisi selatan benteng Kraton, satu dari dua plengkung yang masih ada dari total semula ada lima.
Advertisement
Bangunan yang masuk dalam cagar budaya seperti yang tercantum dalam Surat Keputusan Gubernur DIY No.108/2017 ini terus dilestarikan.
Berdasarkan catatan Balai Pengelola Kawasan Sumbu Filosofi (BPKSF), Plengkung Gading masih terjaga keaslian material dan desainnya sejak pertama dibuat hingga sekarang.
Sebagai pintu gerbang menuju Kraton, Plengkung Gading mudah dikenali siapa saja yang melewatinya. Gerbang dengan lebar sekitar empat meter tersebut membuat pengendara memperlambat kecepatannya jika melewatinya. Pelebaran jalan tidak dilakukan untuk menjaga keaslian Plengkung Gading.
Kepala BPKSF Dwi Agung Hernanto menjelaskan berbagai upaya pelestarian yang dilakukannya untuk menjaga keaslian Plengkung Gading. “Penutupan gerbang di sisi timur dan barat itu juga upaya untuk tetap menjaga nilai bangunan ini,” jelasnya, kepada harianjogja.com, Kamis (30/6/2022).
Penutupan Plengkung Gading, menurut Agung, diambil sebagai langkah adaptif. Agar tidak dipanjat pengunjung dan digunakan sebagai tempat kegiatan yang tidak semestinya. “Karena laporan dari masyarakat sekitar, Plengkung Gading digunakan sebagai tempat untuk kegiatan yang kurang menjunjung nilai-nilai moral, seperti pacaran mesum,” ujarnya.
Nilai Sejarah dan Budaya
Saking masih dijunjung tingginya nilai sejarah dan budaya pada Plengkung Gading, jelas Agung, banyak kepercayaan yang masih dijalankan. “Misalnya Sultan HB X itu sampai sekarang tak pernah lewat Plengkung Gading karena diatur dalam adat-istiadat Keraton lewat paugeran,” jelasnya.
Begitu juga masyarakat sekitar, menurut Agung, jika ada warga yang meninggal dunia tidak lewat Plengkung Gading. “Mereka harus lewat jalan lain meskipun harus muter [berputar], karena itu kepercayaan yang masih dipegang,” katanya. Sebaliknya, jika Sultan HB X yang mangkat lewatnya harus dari Plengkung Gading untuk menuju Makam Imogiri.
Agung menjelaskan langkah adaptif penutupan Plengkung Gading untuk memastikan nilai-nilai itu tetap lestari. “Terakhir insiden viral di media sosial ada yang memanjat puncak Plengkung Gading itu kan sangat tidak etis dan mencederai nilai dan kepercayaan yang ada,” ujarnya.
Sebagai warisan sejarah budaya dalam bentuk benda, lanjut Agung, Plengkung Gading harus dilindungi nilai-nilainya. “Kalau terakhir revitalisasi pada 2018 lalu, kalau sekarang kami belum ada rencana merevitalisasinya lagi,” ujarnya.
Revitalisasi tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Plengkung Gading dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Penelitian Anugrah Kusuma Ramadhan dari Arkeologi UGM menyebut revitalisasi Plengkung Gading cukup berhasil mencapai tujuan tersebut.
Penelitian yang fokus terhadap dampak revitalisasi pada masyarakat tersebut menjelaskan bahwa masyarakat sekitar Plengkung Gading dapat beradaptasi dengan penataan ruang dan makin menghormati nilai-nilai Plengkung Gading. Adaptasi yang terjadi setelah revitalisasi juga bersifat partisipatoris dari masyarakat sekitar Plengkung Gading.
Plengkung Gading juga tercatat sebagai plengkung terbesar dan memiliki denah utuh. Dibanding yang lain, bersama Plengkung Wijilan, Plengkung Gading masih otentik sejak pertama kali dibangun. “Untuk itu kami terus merawatnya, terutama dalam hal kebersihannya,” jelas Agung
Sakral bagi Warga Sekitar
Sunarti, 52, warga Kelurahan Patehan, Kemantren Kraton, Kota Jogja yang sehari-hari berjualan angkringan di sekitar Plengkung Gading menyebut Plengkung Gading sebagai berkah baginya. “Karena dari dulu jualan angkringan di sini ramai terus,” katanya, Kamis (30/6/2022).
Meskipun pintu gerbangnya ditutup, lanjut Sunarti, sehingga pengunjung Plengkung Gading menurun, ia tak mempermasalahkannya. “Masih ada saja kok yang mampir ke Plengkung Gading, terutama wisatawan karena masih ada taman di situ,” katanya.
Justru ketika ada yang bertindak tak sopan, jelas Sunarti, di Plengkung Gading, ia akan marah. “Pernah saya menegur ada orang mau nyoret-nyoret dindingnya, saya teriaki dari sini mereka lari,” katanya. Bagi Sunarti, Plengkung Gading adalah bagunan sakral.
“Sudah dari kecil dikasih tahu simbah-simbah di sini tidak boleh sembarangan, termasuk tidak boleh melewatkan jenazah orang yang meninggal kecuali Sultan HB,” ujarnya dengan mimik serius.
Ada banyak kenangan dari masa kecil hingga tua, lanjut Sunarti antara dirinya dan Plengkung Gading.
“Dari kecil sudah main di Plengkung Gading sampai sekarang juga cari uang di sini,” tuturnya. Untuk itu, ia berharap agar Plengkung Gading terus dijaga dan dilestarikan. (ADV)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Pagi Ini, 15 Mahasiswa Universitas Trisakti Dikabarkan Belum Dibebaskan
Advertisement

Berikut Sejumlah Destinasi Wisata Berbasis Pedesaan di Bantul
Advertisement
Berita Populer
- Tingkatkan Pemanfaatan TOGA, Farmasi UAD gelar Lomba Inovasi Pangan
- Remaja 14 Tahun di Kulonprogo Meninggal Dunia Kecelakaan Motor Dini Hari
- Puluhan Tempat Penitipan Anak di Jogja Jadi Wadah Mendorong Tumbuh Kembang Balita
- Kalurahan Mangunan Bantul Siap Implementasikan Koperasi Merah Putih, Ini Rinciannya
- Warga Gondokusuman Sinau Pancasila dan Wawasan Kebangsaan
Advertisement