Sinovac Dipakai untuk Orang dengan Komorbid, Ini Komentar Pakar UGM

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA--Pakar Epidemiologi UGM, Riris Andono Ahmad menyatakan pemberian vaksin dalam hal ini jenis sinovac kepada orang dengan komorbid tidak jadi masalah. Sebab sebelum vaksin diedarkan pasti melalui berbagai uji klinis yang ketat, sehingga keamanan vaksin dipastikan terjamin.
"Seharusnya ya bisa, karena ini kan sudah lewat beberapa uji klinis dan di dalam uji itu kan akan tercatat beberapa kondisi. Dan di dalam industri medis salah satu hal yang paling ketat adalah pengujian untuk obat maupun vaksin," kata Riris, kepada Harian Jogja, Rabu (24/2/2021).
"Jadi apapun indikasi yang ada, akan dilihat itu evidence [bukti] dulu, kalau mereka kemudian sudah ada bukti bahwa itu memang bisa digunakan untuk beberapa komorbid, ya menurut saya itu berbasis pada bukti yang ada, bukan kira-kira aman atau tidak," sambungnya.
BACA JUGA : Dewan Minta Selter untuk Pasien OTG Covid-19 di Jogja
Riris menjelaskan ada tiga tahapan dalam pengujian tersebut; Pertama pengujian untuk melihat ada tidaknya efek yang diinginkan. Untuk obat, efek yang diinginkan adalah kesembuhan sedangkan vaksin adalah menciptakan kekebalan tubuh.
Jika tahap pertama berhasil, selanjutnya menuju fase kedua yakni melihat profil keamanan obat maupun vaksin. Ini penting agar obat maupun vaksin yang beredar benar-benar aman untuk digunakan.
"Setelah itu masuk ke fase tiga yakni melihat kemanjurannya, jadi bisa menyembuhkan atau tidak. Kalau untuk vaksin dapat melindungi atau tidak," terang Riris.
Riris melanjutkan, setelah fase ketiga sejatinya masih ada satu fase lagi yakni fase post marketing surveilance. Fase ini untuk melihat efek setelah obat atau vaksin diedarkan kepada masyarakat dalam skala luas.
Ini penting mengingat pengunjian vaksin hanya dilakukan kepada jumlah orang terbatas, sehingga ada kemungkinan efek lain muncul ketika diberikan kepada lebih banyak orang.
BACA JUGA : Selter OTG di Jogja Gunakan Aplikasi, Pelayanan Bisa
"Jadi meskipun sudah beredar luas tetap ada semacam monitoring ketat untuk melihat apakah ketika digunakan dalam skala luas itu ada efek samping yang pada fase-fase sebelumnya tidak teramati. Misalnya bisa saja efek samping yang sangat jarang dalam penelitian 1:100.000 orang tidak muncul efek, tapi setelah diuji ke lebih dari itu baru mulai muncul," terangnya.
Riris juga menjelaskan setiap tahap dalam uji klinis obat maupun vaksin itu tidak selalu berjalan lancar. Ada kemungkinan pengujian gagal di tahap pertama, dua ataupun tiga. Jika sudah gagal, maka uji klinis tidak bisa berlanjut ke tahap berikutnya.
"Di setiap tahap itu bisa berhenti lho. Misalnya tahap pertama ternyata tidak nampak Imunogenisitasnya, yasudah berhenti, kalau tahap kedua kemudian ditemukan bahwa ada yang tidak aman ya akan berhenti juga," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Erick Thohir Jalankan Perintah Presiden Ketemu FIFA: Doakan Saya Demi Bangsa & Rakyat Indonesia
Advertisement

Deretan Negara di Eropa yang Bisa Dikunjungi Bagi Pelancong Berduit Cekak
Advertisement
Berita Populer
- Dua RTHP di Kota Jogja Siap Diintegrasikan dengan Pengolahan Sampah Organik
- Polisi Periksa Kejiwaan Pelaku Mutilasi Sleman
- Tersangka Pelecehan Atlet Gulat di Bantul Resmi Ditahan
- Mahasiswanya Ditemukan Meninggal karena TBC di Indekos, UMY Lakukan Skrining
- Terjerat Kasus Investasi Bodong, Guru di Gunungkidul Dipecat
Advertisement