Pelaku Brandu Diancam Sanksi, Sosiolog: Kasus Antraks, Pemkab Gunungkidul Perlu Introspeksi
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Solusi Bupati Gunungkidul untuk memberantas antraks dengan memberikan hukuman bagi pelaku brandu dinilai terlalu militeristik. Kepemimpinan militeristik dengan solusi sanksi tidak akan menyelesaikan masalah.
Dosen Departemen Sosiologi UGM AB. Widyanta menegaskan tradisi brandu memang harus diakhiri, tetapi bukan dengan ancaman sanksi. “Ada akar masalah yang tidak tertangani jika cara menyelesaikan masalahnya hanya dengan sanksi, solusi sanksi hanya akan memindahkan masalah satu ke tempat lain, hanya berpindah-pindah,” ujar dia, Senin (10/7/2023).
Advertisement
Widyanta menjelaskan tradisi brandu yang masih eksis berarti tidak ada sosialisasi yang sifatnya mentransfer pengetahuan dan nilai. “Sosialisasi yang dilakukan itu perlu dipertanyakan, Pemkab Gunungkidul perlu introspeksi. Apakah sosialisasinya benar-benar tepat sasaran, saya kira hanya hit and run yang penting dilakukan tanpa memastikan adanya transfer nilai,” jelasnya.
Dosen kelahiran Paliyan, Gunungkidul ini menyebut sosialisasi yang tepat sasaran dapat membawa nilai baru dalam masyarakat untuk menghentikan tradisi lama yang menyebabkan masalah. “Pengetahuan saja tidak cukup, pengetahuan itu harus menumbuh yang artinya membawa nilai yang dapat diterapkan dan diyakini masyarakat. Sehingga kalau memang sosialisasinya sudah tepat sasaran sudah tidak ada brandu lagi,” terangnya.
BACA JUGA: Brandu Penyebab Persebaran Antraks, Bupati Sunaryanta Ingin Ada Sanksi Pidana
Selain sosialisasi, Widyanta yang tumbuh di pedesaan Gunungkidul ini menilai Pemkab perlu memiliki skema penanganan ternak yang mati secara adil dan berempati dengan jaring pengaman sosial. “Saya tahu biaya memelihara sapi di Gunungkidul itu tinggi, apalagi kalau kemarau para peternak itu beli pakan harganya untuk satu ekor sapi bisa Rp20 ribu perhari. Sapi ini bagi masyarakat Gunungkidul investasi mereka,” katanya.
Skema penanganan hewan ternak yang berempati dan adil, jelas Widyanta, akan mengakhiri tradisi brandu. “Saya contohkan, peternak yang sapinya mati bisa diberikan pedet [anak sapi] jika diberikan ini membebani anggaran ada solusinya yaitu digaduhke [dipinjamkan], jelas skemanya bisa sangat banyak dan beragam,” ujarnya.
Kekurangan anggaran, lanjut Widyanta, bukan alasan Pemkab Gunungkidul yang dapat diterima. “Banyak orang Gunungkidul itu pintar, yang merantau banyak yang berhasil. Mereka juga bisa ditarik CSR, masalahnya Pemkab ini pendekatan kebijakannya militeristik-teknokratis sekali,” ucapnya.
Pendekatan kebijakan yang militeristik, menurut Widyanta, sudah tidak dapat diterima di masyarakat yang demokratis. “Masalah antraks ini masalah bersama, coba gali aspirasi dari bawah juga, jangan selamanya top down,” tuturnya.
Masalah antraks perlu ditangani secara holistik untuk menemukan akar masalahnya, lanjut Widyanta, sehingga Pemkab Gunungkidul perlu mendengar dari berbagai pihak. “Coba Pemkab ini mengkaji secara holistik banyak akademisi di Gunungkidul yang bisa membantu, asal bisa mendengarkan juga. Jangan dikit-dikit menghukum, itu gaya yang milteritik sekali,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- KPU Sleman Targetkan Distribusi Logistik Pilkada Selesai dalam 2 Hari
- 20 Bidang Tanah Wakaf dan Masjid Kulonprogo Terdampak Tol Jogja-YIA
- Jelang Pilkada 2024, Dinas Kominfo Gunungkidul Tambah Bandwidth Internet di 144 Kalurahan
- Angka Kemiskinan Sleman Turun Tipis Tahun 2024
- Perluasan RSUD Panembahan Senopati Bantul Tinggal Menunggu Izin Gubernur
Advertisement
Advertisement