KBY, Tempat Berkumpulnya Komunitas Pecinta Buku di Jogja
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Kadang, membaca buku saja tidak cukup. Perlu ada teman untuk membicarakan buku yang sama. Pertemuan ini membuat isi buku semakin bermakna.
Dari Mojokerto, Purmadyaksa merantau ke Jogja untuk kuliah di Universitas Islam Indonesia pada 2012. Selama masa-masa merantau, dia bergabung dengan beberapa komunitas buku. Tujuan utamanya untuk mencari teman diskusi berbasis bahan buku. Purma juga senang bertemu dan berkumpul dengan sesama pecinta buku.
Advertisement
Tahun 2018, Purma bergabung dengan Komunitas Klub Buku Yogyakarta (KBY). Kembali ke belakang, tepatnya 12 tahun lalu, KBY terbentuk atas dasar yang sama. KBY bermula dari ruang X (dulu Twitter), saat para pecinta buku saling mention dan diskusi.
Obrolan yang intens membawa mereka untuk bertemu secara luring, terutama yang tinggal di Jogja. Di pertemuan pertama, kebanyakan berasal dari mahasiswa-mahasiswi di Jogja. Ada pula pemilik toko buku dan pekerja di penerbitan. “Mereka bawa buku yang mereka rekomendasikan atau sedang dibaca, masing-masing cerita tentang buku itu. Di awal-awal, kumpulnya sebulan sekali,” kata Purma, yang kini menjadi Ketua KBY, Minggu (27/10/2024).
BACA JUGA : Ruang Melamun Bisa Jadi Rekomendasi Toko Buku Lawas di Jogja
Pertemuan dan interaksi ini kemudian menjadikan grup, salah satunya di WhatsApp. Ada sekitar 200-an orang yang bergabung di grup. Sementara untuk anggota yang datang di diskusi rutin sekitar 10 hingga 30 orang. Setiap agenda sering ada peserta baru, yang kemudian menjadi anggota baru di grup. Anggota termuda yang pernah bergabung di KBY masih sekolah di sekolah lanjutan tingkat atas. Sementara tertua berusia sekitar 40-an tahun.
Banyak Bengongnya
Agenda KBY paling konsisten dari awal hingga hari ini berupa diskusi buku sebulan sekali. Kini namanya Bengong Bersama KBY (BBK). Konsepnya dinamis. Awalnya, semua orang membawa buku masing-masing, yang seringnya berbeda-beda. Sekarang konsepnya diskusi satu buku dengan satu pemantik.
Di akhir BBK, ada pengundian yang mengarah pada lima orang. Penerima undian akan mengajukan buku rekomendasinya. Setelahnya akan ada voting, dengan suara terbanyak akan menjadi buku bahasan, sekaligus pemantiknya.
“Peserta enggak harus baca dulu bukunya. Dinamain bengong, karena kebanyakan yang dateng malah banyak yang belum baca bukunya, lebih banyak bengongnya. Bahkan mereka baru tertarik baca bukunya setelah diskusi,” kata Purma, laki-laki berusia 29 tahun tersebut.
BBK biasanya akan ramai apabila bukunya berasal dari penulis terkenal, contohnya karya Eka Kurniawan. Tema buku yang bertepatan dengan isu yang sedang ramai dibahas juga berpotensi membuat peserta cukup ramai. Salah satu tema buku yang berpapasan dengan isu yang sedang ramai dibahas, misalnya buku Akhir Penjantanan Dunia karya Ester Lianawati, saat sedang ramai membahas feminisme.
Kegiatan luring, namun sifatnya tentatif dari KBY termasuk nonton film bersama. Lantaran belum punya sekretariat, maka setiap agenda KBY berpindah-pindah. Biasanya dari café ke café. Agenda nonton film KBY juga pernah bekerja sama dengan Moviebox Jogja.
Di samping itu, agenda luring tentatif lainnya berupa perpustakaan jalanan. Lokasi perpustakaan jalanan yang pernah KBY lakukan seperti di Kotabaru, Titik Nol KM, Pasar Wiguna, hingga Lembah UGM.
Memenuhi Ruang Maya
BBK, nonton film, hingga perpustakaan jalanan memang tidak sering berlangsung di KBY. Butuh relawan yang perlu menyiapkan. Sementara belum tentu tingkat kesibukan dan keluangan waktu anggota KBY bisa sama.
Kegiatan KBY kemudian bisa terakomodir secara daring, melalui WhatsApp Group (WAG) dan media sosial. Di hari Senin, ada Senin Movie. Agenda itu berupa diskusi film di WAG dengan satu pemantik. Hari berikutnya ada Selasa Sastra, membahas semua hal tentang sastra, misalnya esai, cerpen, dan lainnya.
Berlanjut, di hari Rabu terdapat diskusi buku secara daring, yang mirip dengan BBK. Sementara hari setelahnya ada Kamis Lebih Dekat, agenda perkenalan satu atau dua anggota KBY di WAG. Beberapa orang akan bertanya tentang orang yang ditunjuk. Di Jumat Barokah, ada diskusi yang temanya bebas, biasanya sesuai keahlian masing-masing anggota.
“Ada juga Sabtu Kenangan, isinya diskusi tentang hal-hal yang dulu pernah ramai, tapi sekarang enggak ada. Misalnya SMS yang disingkat-singkat, pernah juga bahas warnet,” katanya.
Dengan berbagai dinamikanya, KBY tetap eksis dari awal berdiri hingga hari ini. Belum pernah kegiatan KBY vakum dalam waktu yang lama. Purma merasa komunitas sejenis ini tetap perlu ada dan terus hidup. “Beberapa orang tertentu pengen punya waktu tersendiri, pengen ketemu orang untuk punya waktu baca buku bersama. Ada yang ingin enggak cuma baca buku, tapi ngobrolin dengan sesama orang yang suka baca buku,” kata Purma.
Perjalanan Para Pecinta Buku
Ekosistem komunitas pecinta buku di Jogja berubah seiring berjalannya waktu. Ada masa, orang-orang berkumpul dan membaca bersama. Mereka tidak berdiskusi, namun fokus dengan bukunya masing-masing. Istilahnya silent reader.
Namun itu tidak bertahan lama, hanya ramai selama beberapa bulan saja. Purma mengatakan trend komunitas kemudian bergeser ke perpustakaan jalanan. Konsep ini cukup ramai di sekitar tahun 2016 hingga 2018.
BACA JUGA : BEDAH BUKU: Warga Harus Berperan Mencetak Generasi Unggul Menuju Indonesia Emas 2045
“Di Jogja seingetku, di tahun itu, di sekitar Tugu Jogja penuh dengan perpustakaan jalanan. Sekarang enggak lihat perkembangannya, tapi masih ada beberapa komunitas yang konsisten dengan perpustakaan jalanannya,” kata Purma.
Trend komunitas buku kembali lagi ke model silent reader. Jenis kegiatan ini semakin naik popularitasnya saat pandemi Covid-19. Banyak influencer yang mempromosikan trend tersebut. “Beberapa kantor juga bikin komunitas baca, dengan konsep baca hening,” katanya.
Transformasi juga termasuk di Klub Buku Yogyakarta (KBY). Tidak hanya dengan berbagai kegiatan rutin dan tentatifnya, KBY cukup sering bekerja sama dengan pihak lain. Kerja sama bisa ke banyak hal, meramaikan acara hingga menjadi panitia festival.
Ke depan, KBY ingin memiliki legalitas hukum sebagai komunitas. “Dari dulu pengen punya badan hukum. Tapi memang praktiknya agak susah, karena relawan hampir setiap kepengurusan gagal regenerasi terus. Kadang ada periode yang enggak jalan [sesuai semestinya],” kata Purma.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Kejagung Periksa 3 Hakim Penerima Suap Kasus Ronald Tannur
Advertisement
Menikmati Keindahan Teluk Triton Kaimana, Tempat Wisata Unggulan di Papua Barat
Advertisement
Berita Populer
- Rekrutmen CPNS Sleman, Hasil SKD Belum Ratusan Peserta Dinyatakan Gugur
- Pemkab Bantul Bakal Awasi Ketat Potensi Pembuangan Sampah dari Kota Jogja
- Viral Fenomena Live di Titik Nol Jogja, Satpol PP DIY Segera Sterilisasi
- Omzet Pedagang Turun 26,7 Persen, Pemkab Bantul Bakal Branding Ulang Lima Pasar
- Seleksi Administrasi PPPK Kulonprogo, 34 Formasi Kosong
Advertisement
Advertisement