Advertisement

9 TAHUN GEMPA JOGJA & JATENG : Refleksi, Bencana Harus Dihadapi Bersama

Arief Junianto
Kamis, 28 Mei 2015 - 23:20 WIB
Mediani Dyah Natalia
9 TAHUN GEMPA JOGJA & JATENG : Refleksi, Bencana Harus Dihadapi Bersama Salah satu adegan dalam simulasi dan pelatihan mitigasi bencana yang digelar di sela Refleksi 9 Tahun Gempa Bumi DIY di Lapangan Paseban, Rabu (27/5/2015) sore. (JIBI/arian Jogja - Arief Junianto)

Advertisement

9 Tahun Gempa Jogja & Jateng diperingati dengan refleksi di Bantul.

Harianjogja.com, BANTUL-Sembilan tahun sudah gempa berkekuatan 5,9 skala richter (SR) tertanam di ingatan warga Bantul. Ketika itu, 27 Mei 2006, gempa yang berpusat di Samudera Hindia meluluhlantakkan DIY, termasuk Bantul sebagai wilayah yang terdekat dengan pusat gempa. Tak tanggung-tanggung, 5.737 jiwa melayang, puluhan bahkan ratusan ribu orang mengalami luka-luka, dan tak terhitung lagi berapa unit bangunan serta rumah warga yang rata dengan tanah.

Advertisement

Kini, masyarakat Bantul kembali menata hidupnya. Pembangunan demi pembangunan mereka rintis dari segala sektor, sejak hulu hingga hilir.Meski begitu, kenangan 9 tahun silam itu tak begitu saja mudah hilang. Terlebih bagi Badan Penanggulanan Bencana Daerah (BPBD) Bantul.

Leading sector penanganan bencana di Kabupaten Bantul ini terus bergerak. Mereka terus berupaya meningkatkan kesiagaan dan kesigapan masyarakat. Tentu saja, alasannya adalah lantaran tak mudah menangani bencana yang di suatu waktu terjadi hampir bersamaan di 17 kecamatan se-Bantul.

Itulah sebabnya, sebagai penanganan dini, mereka kemudian membentuk Desa Tangguh Bencana (DTB). Melalui program inilah, BPBD ingin memberikan edukasi kepada warga pentingnya peran warga dalam penanganan bencana.

"Jadi yang berperan penting dalam penanganan bencana itu bukan kami [BPBD Bantul], tapi justru masyarakat itu sendiri. Jadi mari kita hadapi bencana secara bersama-sama," ucap

Kepala BPBD Bantul Dwi Daryanto di sela acara Refleksi 9 Tahun Gempa Bumi DIY, di Lapangan Paseban, Rabu (27/5) sore. Hingga kini, Bantul telah memiliki setidaknya 10 DTB yang tersebar di sejumlah titik. Enam diantaranya berada di Kecamatan Kretek, Sanden, dan Srandakan yang notabene berada di pesisir pantai selatan. Yaitu, Desa Parangtritis, Donotirto, Tirtohargo, Srigading, Gadingsari, dan Poncosari. Keenam titik ini difokuskannya untuk penanganan bencana gempa dan tsunami.

Sedangkan 4 titik lainnya ada di Kecamatan Pleret, Bambanglipuro, Dlingo dan Piyungan, yakni masing-masing di Desa Srimulyo, Wonolelo,
Mulyodadi, dan Mangunan. "Kalau untuk 4 titik ini, fokusnya ada di longsor dan banjir," katanya.

Setiap tahunnya, DTB itu dipastikan akan terus bertambah. Target menyentuh seluruh kecamatan se-Bantul tentu menjadi mimpi BPBD Bantul. Dwi membayangkan, jika seluruh kecamatan memiliki DTB, ia yakin, jika terjadi bencana, jumlah korban jiwa dan luka-luka tentu akan lebih bisa ditekan.
"Karena tak usah menunggu petugas, masyarakat sudah tahu apa yang harus dilakukannya sebelum petugas datang," paparnya.

Tak hanya mengenang sekaligus merayakan kebangkitan masyarakat Bantul, di acara refleksi 9 tahun gempa bumi DIY itu, BPBD juga menggelar berbagai pelatihan mitigasi untuk masyarakat. Mulai dari banjir, longsor, kebakaran, tsunami, bahkan hingga gempa bumi sendiri.

Pelatihan mitigasi yang lebih mirip simulasi itu ditampilkan dalam bentuk yang nyaris riil. Sejumlah properti berbentuk rumah dan bangunan-bangunan pada umumnya membuat masyarakat yang mengikuti simulasi itu terasa seperti benar-benar sedang dalam keadaan darurat bencana.

Deputi Bidang Penanganan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Tri Budiarto yang turut hadir menyampaikan, kelemahan Indonesia hingga kini adalah pada buruknya perilaku dan pengelolaan terhadap kekayaan sumber daya alamnya.

"Perlu diketahui, sumber daya alam dan bencana itu saling berdekatan," tegasnya.

Bagi Tri, gempa bumi besar yang melanda DIY adalah bukti bahwa tanah yang dipijak masyarakat Bantul saat ini adalah tanah yang rawan bencana. Meski begitu, bukan berarti lantas masyarakat harus pasrah dan menyerah. Kesigapan ketika bencana adalah satu-satunya jalan untuk mengurangi resiko serta jumlah korban bencana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Mendampingi Anak untuk Merdeka Belajar

Mendampingi Anak untuk Merdeka Belajar

Jogjapolitan | 5 hours ago

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

PBB Sebut Evakuasi Warga Rafah Butuh Waktu 10 Hari

News
| Rabu, 01 Mei 2024, 21:57 WIB

Advertisement

alt

Peringati Hari Pendidikan Nasional dengan Mengunjungi Museum Dewantara Kirti Griya Tamansiswa di Jogja

Wisata
| Rabu, 01 Mei 2024, 14:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement