Advertisement

Curhat Gelandangan di Jogja, Hidup Seperti di Penjara dan Dicampur dengan Orang Gila

I Ketut Sawitra Mustika
Rabu, 18 April 2018 - 06:50 WIB
Bhekti Suryani
Curhat Gelandangan di Jogja, Hidup Seperti di Penjara dan Dicampur dengan Orang Gila Ilustrasi pengemis jalanan - JIBI/Bisnis.com

Advertisement

Harianjogja.com,JOGJA- Gelandangan dan pengemis yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Arus Bawah (Forkomaba) menilai rumah perlindungan yang disediakan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY tak ubahnya seperti penjara.

Mereka merasa diperlakukan tak manusiawi dan tidak diberikan keterampilan sedikitpun.Kuasa Hukum Forkomaba Marihot Sihombing mengatakan, rumah perlindungan sosial atau camp assessment tidak berfungsi seperti tujuan awal. Para gelandangan dan pengemis diperlakukan tidak manusiawi. Mereka diperlakukan seperti layaknya penjahat.

Advertisement

“Mereka tidak merasa suka cita saat keluar dari camp. Semua merasa seperti dipenjara. Tidak ada bedanya dengan lembaga pemasyarakatan. Semua miris. Tempat tidur tidak layak. Sabun dibagi empat. Tidak ada keterampilan bagi mereka,” ujarnya usai gelar perkara penanganan gelandangan dan pengemis di kantor Lembaga Ombudsman (LO) DIY, Selasa (17/4/2018).

Petugas di camp assessment, sambungnya, tak memberikan pelatihan keterampilan sama sekali bagi gelandangan dan pengemis, sehingga saat keluar tidak tahu harus melakukan apa. Para petugas tersebut seharusnya memahami, gelandangan dan pengemis adalah manusia yang juga punya masa depan. Apalagi camp assessment memang didirikan untuk membina dan melatih para kaum marginal ini.

Hal ini terus terjadi, kata Marihot, karena lemahnya pengawasan. Dengan tidak adanya pengawasan, maka camp assessment tidak akan berjalan seperti yang dicita-citakan. “Kami kemarin sudah rapat. Kami ingin menawarkan solusi bahwa perlu adanya pengawasan di camp. Pengawasan ini harus dari unsur masyarakat, yakni Forkomaba. Karena camp ini kan subjeknya adalah gelandangan dan pengemis, jadi pengawasan juga harus dari sana,” jelasnya.

Koordinator Forkomaba Priyanto mengungkapkan, di camp assessment Karangangayar, Mergangsan, dirinya mengalami kejadian kurang menyengangkan. Saat pertama kali terjaring razia, ia dikarantina selama tiga hari dan mengklaim tidak boleh keluar sama sekali. Petugas juga memberi makan dengan cara dilempar, sehingga lantai jadi kotor.

“Bahkan kami dikumpulkan sama orang-orang gila di situ. Baru kemudian dipindahkan ke [camp assessment] Sewon. Kalau yang di Sewon itu kita memang boleh main di halaman, tapi kita tidak bisa keluar,” ungkap Priyanto.

Wakil Ketua Bidang Aparatur Pemerintah Daerah LO DIY Suki Ratnasari menerangkan, pelatihan yang diterima di gelandangan dan pengemis di camp assessment hanya mengenai perubahan paradigma, tapi bukan pelatihan keterampilan. Padahal mereka berharap dapat suatu kemampuan setelah keluar dari camp assessment. Jika Pemda DIY memang melaksanakan pelatihan yang sesusai, menurutnya, hal ini tidak akan terus berulang.

LO DIY, sambungnya, menawarkan solusi berupa forum bersama yang terdiri dari Forkomaba, dinas sosial dan satpol PP. Jika dibiarkan terus, permasalahan ini akan terus berlarut-larut. LO DIY hampir setiap tahun menerima keluhan yang sama dari gelandangan dan pengemis.

“Kalau masing-masing bersikukuh dengan kebenaran semua dan tidak ada perbaikan ya akan sangat sulit terjadi pembenahan. Usul kami ya adakan forum. Itu efektif mengatasi kasus-kasus lain. Misalnya soal perempuan dan anak serta kekerasan terhadap difabel,” terangnya.

Kasi Rehabilitasi Sosial, Tuna Sosial dan Korban Napza Dinas Sosial DIY Baried Wibawa menjelaskan, saat pertama kali gelandangan dan pengemis terjaring razia, mereka memang ditempatkan di ruang penerimaan sebelum dimasukkan ke camp assessment. Tapi ia menyatakan, karantina tidak berlangsung selama tiga hari penuh dan tidak ada pengurungan. Gelandangan dan pengemis diberikan keleluasan keluar masuk.

“Sehingga kalau dikatakan penahanan ya tidak. Di camp itu bukan penahanan, tapi adalah suatu langkah dalam rangka rehabilitasi sosial awal. Tapi mereka memang diharuskan berada di camp itu, untuk melakukan kegiatan-kegitan, termasuk juga rehabilitas awal. Di sana ada bimbingan sosial dan sebagainya. Tapi tidak ada istilahnya penahanan,” ujar Baried.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Selama Libur Lebaran 2024, AirAsia Angkut 310 Ribu Penumpang

News
| Rabu, 17 April 2024, 00:17 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement