Advertisement

Penjaga Joglo Labuhan: Juru Rawat Tanpa Dana Perawatan

Lajeng Padmaratri
Senin, 17 Februari 2020 - 06:27 WIB
Sugeng Pranyoto
Penjaga Joglo Labuhan: Juru Rawat Tanpa Dana Perawatan Juru rawat Joglo Labuhan di Pantai Glagah, Untoro alias Jojon, menunjukkan atap salah satu bangunan di kawasan joglo itu yang tak utuh. - Harian Jogja/Lajeng Padmaratri

Advertisement

Harianjogja.com, KULONPROGO—Merawat Joglo Labuhan milik Pura Pakualaman di Pantai Glagah, Kapanewon Temon, Kulonprogo telah dilakoni Untoro puluhan tahun. Namun, siapa sangka ia harus merogoh kocek pribadinya untuk perawatan bangunan itu.

Pagi itu, Untoro, 60, menyambar sapu sabut kelapa dari rumahnya. Ia kemudian berjalan cepat menuju bangunan joglo yang terletak sebelah barat laut rumahnya. Dengan cekatan, Jojon, sapaan akrab Untoro, menyapu joglo tersebut seperti yang biasa ia lakukan setiap harinya.

Advertisement

Selepas itu, ia beralih ke langgar yang terletak di sebelah joglo. Ia merapikan sejumlah sajadah dan perlengkapan ibadah di sana. Tak lupa, lantai musala juga disapunya.

Bangunan joglo berkaki 16 itu merupakan Joglo Labuhan. Setiap tanggal 10 bulan Sura, lokasi itu jadi sentral upacara adat Hajad Dalem Labuhan Pura Pakualaman. Upacara itu dilakukan Kadipaten Pura Pakualaman sebagai wujud syukur kepada Tuhan sekaligus untuk melestarikan tradisi budaya Jawa.

Pada momen tahunan itu, Jojon akan lebih disibukkan mempersiapkan joglo supaya bersih dan siap digunakan untuk upacara. Sebab, ratusan orang akan datang ke Kulonprogo pada hari itu, berebut gunungan yang sebelumnya dilarung ke laut. Ia tak ingin “rumahnya” itu kemudian dianggap kotor maupun tak tertata.

Sayangnya, hanya di momen itulah ia mendapatkan tip atas jasanya merawat Joglo Labuhan, baik itu dari Pura Pakualaman, Dinas Kebudayaan Kulonprogo, maupun wisatawan. Di luar acara itu, ia merawat Joglo Labuhan dengan uangnya sendiri.

Selama 20 tahun dirinya menghabiskan hidupnya menjadi juru rawat Joglo Labuhan. Ia mengaku tidak pernah mendapatkan biaya perawatan bangunan. Jojon hanya mendapatkan pengganti jasanya saat upacara adat berlangsung. Hal ini ia rasa semakin menyulitkan kesejahteraannya lantaran selama ini pekerjaannya juga serabutan. "Bangunan ini enggak pernah ada biaya perawatan rutin. Misalnya dicat ulang setahun sekali, itu enggak ada," kata pria bernama asli Untoro itu saat ditemui Harian Jogja di kediamannya beberapa waktu lalu.

Di kawasan itu, ada empat bangunan yang terdiri dari bangunan utama yaitu joglo, musala, kamar mandi, dan satu bangunan kosong. Di bangunan kosong itulah selama ini dirinya tinggal sejak mengabdikan diri sebagai juru rawat Joglo Labuhan.

"Saya tinggal di sini kurang lebih sudah 20 tahun ya, bahkan sebelum saya menikah," kata dia.

Kini, ia telah berkeluarga dengan tiga anak yang masih sekolah. Anak tertuanya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. "Saya memang telat menikah jadi anak masih kecil-kecil," ujarnya.

Mantan nelayan ini selama ini menjalani pekerjaan serabutan untuk menghidupi keluarganya. Hasil dari merawat joglo sangat dirasanya tidak bisa digunakan untuk biaya hidup. Bahkan, justru dia lebih banyak tombok untuk merawat joglo.

Meski begitu, Jojon tetap bertahan. Ia berharap ada perhatian dari Dinas Pariwisata Kulonprogo, Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kulonprogo, maupun pihak Paku Alam untuk menganggarkan dana perawatan bangunan ini. Sebab, Joglo Labuhan, musala, kamar mandi, dan satu bangunan kosong yang kini ditempatinya itu tak pernah mendapatkan dana perawatan kecuali ketika dipugar.

"Bangunan Joglo ini sekitar tujuh tahun lalu direnovasi, tapi kemudian ditinggal begitu saja. Seharusnya ada dana perawatan rutin, bisa tiap bulan atau tiap tahun, sehingga enggak pakai uang saya sendiri," katanya.

Jojon mengaku setiap bulan harus membayar biaya listrik bangunan ini dari kantongnya sendiri. Selain itu, beberapa kali ia harus memperbaiki pompa air yang mati, eternit jebol, dan berbagai perawatan lainnya. "Kalau usuk patah, juga perlu manggil orang yang bisa," katanya.

Padahal besaran pemasukannya tak selalu sama setiap bulannya. Ia serabutan bekerja menjaga parkir di salah satu sisi Pantai Glagah dan menarik biaya kebersihan dari masyarakat sekitar yang menggunakan joglo itu untuk kegiatan mereka.

Dikatakannya, joglo itu selain digunakan untuk upacara Labuhan, juga menjadi tempat rehat bagi wisatawan. Selain itu, beberapa kali masyarakat juga menggunakan joglo itu sebagai tempat pertemuan dan acara komunitas.

Beberapa waktu terakhir, begitu mendengar rencana revitalisasi Joglo Labuhan dan pesanggrahan Paku Alam di Temon, ia menaruh harapan besar setelah renovasi akan dilanjutkan perawatan bangunan secara rutin. "Sebab kalau ada laporan wisata di sini gimana-gimana, saya juga ikut malu," kata Jojon.

Ia mengatakan pekan lalu pihak PA diantar Dinas Kebudayaan Kulonprogo datang dan mengukur sejumlah sisi kawasan itu. "Katanya mau dibangun pagar," kata dia.

Jojon mengaku tak masalah dengan rencana revitalisasi tersebut selama ada keberlanjutan penganggaran dana perawatan secara rutin. Namun, di sisi lain, dirinya berharap pembangunan pagar yang melingkari kawasan Joglo Labuhan itu tidak memicu konflik di masyarakat. Sebab, ada potensi pagar tersebut akan dibangun dan menabrak kebun warga di bagian utara dan warung pedagang di bagian selatan.

"Saya harap ada kebijaksanaan Dinas Kebudayaan untuk meminimalisasi konflik. Masyarakat Glagah sudah terlalu sering horeg [ribut]" kata dia.

Seperti diketahui, kawasan Pantai Glagah beberapa tahun terakhir banyak terdampak proyek besar di Kulonprogo, utamanya lantaran pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA). Pembangunan bandara baru ini rupanya memunculkan berbagai pembangunan lain yang rupanya justru menimbulkan konflik di masyarakat, antara lain perataan tambak udang dan penataan pedagang di laguna untuk kawasan sabuk hijau. Kini, rencana revitalisasi Joglo Labuhan itu ia harapkan tak memicu konflik lain.

Kelembagaan Dinas

Kepala Dinas Kebudayaan Kulonprogo Untung Waluya mengakui selama ini belum memberikan dana perawatan rutin kepada juru rawat Joglo Labuhan. Bahkan, status juru rawat itu juga belum tercatat secara administrasi di kelembagaan dinas.

"Kami masih memastikan wewenang bangunan itu ada di bawah Dinpar atau Dinbud, selama ini kami hanya memfasilitasi saat upacara adat," kata Untung.

Meski begitu, ia memastikan setelah Joglo Labuhan direvitalisasi, juru rawat bangunan itu akan diatur di dalam administrasi. Tentunya, dana perawatan akan dianggarkan setelah proses administrasi ini melegalkan status Jojon sebagai juru rawat Joglo Labuhan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Indonesia Gunakan Pengaruh Agar Deeskalasi Terjadi di Timur Tengah

News
| Kamis, 18 April 2024, 17:27 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement