OPINI: Penggerak Roda Ekonomi di Tahun Politik
Advertisement
Angin sakal ekonomi, belum juga mereda. Potensi pertumbuhan ekonomi yang seharusnya terjadi di tahun politik karena dorongan konsumsi, berbenturan dengan eskalasi politik dan ketidakpastian ekonomi yang tengah terjadi saat ini. Akankah setiap musim pemilu, kinerja Produk Domestik Bruto (PDB) nasional selalu dirundung tulah?
Dus, sejak Pemilu 2004—2019, pertumbuhan ekonomi selalu memperlihatkan kinerja melambat dari tahun-tahun sebelumnya. Padahal, idealnya, sepanjang pemilu, sejatinya konsumsi pemerintah dan konsumsi rumah tangga (RT) menderukan mesin ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi melaju di tahun-tahun politik tersebut.
Advertisement
Namun, pada kenyataannya, bak jauh panggang dari api. Dari data kinerja ekonomi yang dipaparkan, grafik pertumbuhan ekonomi selalu melambat sejak Pemilu 2004—2019. Jika kita menengok ke belakang, kontribusi konsumsi RT dan konsumsi pemerintah terhadap PDB, pun selalu mengalami koreksi di tahun politik. Pada Pemilu 2004, kontribusi konsumsi RT ke PDB 61,6% atau melambat dari 2003 sebesar 62,2%.
Pada Pemilu 2009, kontribusi konsumsi RT terhadap PDB 60,7% atau melambat dari 2008 sebesar 61,0%. Pada Pemilu 2014, kontribusi konsumsi RT terhadap PDB adalah 55,5% atau melambat dari 2013 sebesar 55,7% dan pada Pemilu 2019 kontribusi konsumsi RT pada PDB nasional sebesar 51,5% atau mengalami flat dari 2018 sebesar 51,5%.
Kondisi yang sama terjadi pada kontribusi konsumsi pemerintah terhadap PDB. Hal ini menunjukkan ada faktor-faktor politik yang memengaruhi perilaku konsumsi masyarakat, seperti ketidakpastian, eskalasi politik, atau kekhawatiran terkait dengan hasil pemilu dan dampaknya terhadap stabilitas ekonomi dan sosial.
Konsumsi RT merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi RT menyumbang lebih dari separuh PDB Indonesia, yaitu sekitar 56%. Namun, porsi konsumsi RT terhadap PDB terus menurun dari tahun ke tahun, dari 61,6% pada 2004 menjadi 51,5% pada 2019. Salah satu faktor yang diduga berpengaruh adalah adanya siklus politik lima tahunan yang berdampak pada dinamika konsumsi masyarakat.
Faktor politik ini dapat membuat masyarakat lebih hati-hati dalam mengonsumsi atau menunda konsumsi mereka hingga situasi politik lebih kondusif. Hal ini dapat menyebabkan penurunan atau stagnasi konsumsi rumah tangga pada tahun-tahun politik, seperti yang terlihat dari data kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB Indonesia.
Tulah Ketidakpastian
Kurang lebih empat bulan sebelum Pemilu 2024, tulah ketidakpastian ekonomi global masih menghantui. Ketidakpastian global tersebut, targambar dari indeks, ketakutan pasar dari data CBoe VIX (Volatility Index) yang memperlihatkan volatilitas pasar yang masih tinggi. Data VIX pada 28 Oktober 2023, adalah 21,27, naik 2,85% dari sebelumnya menggambarkan pasar saat ini mengalami volatilitas yang cukup tinggi; yang menandakan adanya ketidakpastian atau risiko di masa depan.
Dari dalam negeri, fluktuasi pasar juga terlihat dari arus modal keluar (capital outflow) dan tekanan terhadap saham yang masih terombang-ambing dengan IHSG di bawah 7.000. Kurs rupiah yang bergerak tembus level psikologis baru Rp16.000/US$ adalah impak dari ketidakpastian ekonomi saat ini. Dari krisis geopolitik Rusia-Ukraina dan Israel Palestina yang meluas ke kawasan Timur Tengah, fluktuasi harga minyak mentah dunia (crude price), fluktuasi harga pangan dan kebijakan suku bunga global (policy rate) adalah gambaran kondisi yang mencemaskan.
Jalur transmisi dari momok ketidakpastian tersebut, berdampak pada ekspektasi inflasi dan terkereknya suku bunga kebijakan dalam negeri yang berkonsekuensi pada mahalnya beban pembiayaan usaha ke depan. Instrumen pokok untuk menghadapi berbagai tantangan ekonomi di tahun politik adalah realisasi APBN. Dari sisi belanja misalnya, sekitar 27% belanja negara ada di daerah.
Sementara rasio belanja pusat terhadap APBN adalah 73%. Dengan realisasi belanja daerah yang optimal, maka ekonomi daerah akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional. Momok lambatnya penyerapan realisasi anggaran belanja di daerah, perlu dipecut, melalui regulasi otoritas terkait, agar tidak terulang seperti tahun-tahun sebelumnya. Demikian pun percepatan realisasi belanja Pusat. Melalui instrumen fiskal pula, kita harapkan berbagai kebijakan dalam mendorong konsumsi RT perlu digenjot. Baik dukungan fiskal melalui subsidi bunga kredit konsumsi dan jaringan pengaman sosial.
Sementara dari sisi kebijakan moneter, diarahkan untuk menjaga stabilitas. Inflasi terkendali dalam sasaran 3%±1%, adalah bagian dari upaya menjaga daya beli masyarakat. Kebijakan makroprudensial, yang longgar melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM), diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi intermediasi sektor perbankan untuk mendukung realisasi kredit ke sektor produktif untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi. Stabilitas adalah ajian yang perlu dijaga melalui berbagai instrumen kebijakan ekonomi. Baik moneter maupun fiskal. Dengan optimalisasi peran kebijakan fiskal dan moneter, tulah di tahun politik, bisa dilewati, meskipun harus menerjang aral yang berarti.
Abdul Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Otak Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang Bakal Diringkus Polri
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Prakiraan Cuaca BMKG Jumat 22 November 2024: DIY Hujan Ringan Siang hingga Malam
- Jadwal Pemadaman Jumat 22 November 2024: Giliran Depok dan Pasar Godean
- Jadwal Terbaru KA Bandara YIA Xpress Jumat 22 November 2024
- Jadwal SIM Keliling Bantul di Akhir Pekan Bulan November 2024
- Jadwal Terbaru Kereta Api Prameks Jurusan Jogja-Kutoarjo Jumat 22 November 2024
Advertisement
Advertisement