Advertisement

Kisah Peracik Nama dari Sleman, Merangkai Kata dalam Hamparan Doa

Arief Junianto
Minggu, 31 Maret 2024 - 18:07 WIB
Abdul Hamied Razak
Kisah Peracik Nama dari Sleman, Merangkai Kata dalam Hamparan Doa Owner Astunamisae, Yosef Kelik. - Harian Jogja/Arief Junianto

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN—Bak doa dan harapan, sebaris nama diciptakan sedemikian rupa lewat perenungan dan pertimbangan yang tak sederhana. Lewat brand Astunamisae, Yosef Kelik, si peracik nama dari Sleman pun mengamininya. 

History of Java, sebuah buku karangan Thomas Stamford Raffles setebal 479 halaman seperti menjadi bahan awal perbincangan kami siang itu, Rabu (6/3/2024).

Advertisement

Tak cuma buku itu, sejumlah buku tebal lain juga terlihat berserak di meja. Salah satu yang menyita perhatian adalah Tosan Aji karya Prasida Wibawa. “Ini semua ‘senjata’ saya, Mas. Ini semua penting dalam pekerjaan saya,” kata pria bernama lengkap Yosef Kelik itu.

Kelik, begitu biasa ia disapa, mungkin salah satu dari sekian banyak orang yang menganggap sebuah nama memiliki peran penting dalam perkembangan manusia, baik secara makhluk individu, maupun makhluk sosial. “Ya seperti yang kita tahu, nama adalah doa.”

Alih-alih berpijak pada ungkapan “Apalah arti sebuah nama” yang merupakan potongan dialog dalam teks Romeo and Juliet karya Shakespeare, Kelik lebih memilih berpegang pada ajaran agama, bahwa nama yang disematkan kepada seorang anak, bak doa yang dilantunkan orang tua kepada Sang Pencipta.

BACA JUGA: Bertemu Ganesh Baraiya, Dokter Termungil di Dunia yang Sempat Alami Diskriminasi

Itulah sebabnya, Kelik berhati-hati betul dalam menjalankan pekerjaannya sebagai seorang peracik nama. Nama yang ia racik, bukan saja harus indah dan nyaman dilafalkan, tetapi juga memiliki makna baik yang bisa menjadi doa serta harapan.

Sudah lima tahun terakhir, Kelik menekuni pekerjaan sebagai seorang peracik nama. Sebuah pekerjaan yang tak biasa.

Di tengah kesibukannya sebagai karyawan Museum Ullen Sentalu, semakin hari semakin banyak pula orderan meracik nama yang ia terima.

Ide untuk menjadi meracik nama, awalnya ia dapatkan justru di masa akhir kuliahnya di Fisipol UGM, pada 2007 silam. Ketika itu, dia yang menggilai sejarah, khususnya sejarah Nusantara, mendapatkan permintaan usulan nama dari seorang kawan yang tengah bereuforia menyambut kelahiran buah hati.

Permintaan itu pun ia kerjakan laiknya hobi belaka. Kegemaran dan ketertarikannya akan sejarah memang tanpa sadar menjadikan benaknya sebagai “bank data” akan istilah, nama tokoh, hingga nama peristiwa bersejarah yang terdengar unik dan tak biasa. “Eh, ternyata nama yang saya usulkan dipakai. Dari situ saya semakin senang,” ucap Kelik.

Setelah dia menikah, barulah tercetus untuk menjajal kebiasaan itu menjadi sebuah bisnis. Teteapi, alih-alih langsung membuka usaha komersial, Kelik dan istrinya, Tika, memilih untuk “cek ombak” dengan menggulirkan jasa peracikan nama secara cuma-cuma melalui akun media sosial Twitter (sekarang X).

“Ternyata pasar cukup menjanjikan. Saat itu, dalam sehari bisa 3-5 orang yang tanya usulan nama ke kami. Dari situlah kami sepakat untuk menjadikannya bisnis. Nama pun kami sepakati, Astunamisae, silakan cek saja Instagram kami dengan nama akun yang sama.”

Kegemarannya akan sejarah, seni, dan budaya ditambah dengan latar pendidikan ilmu politiknya, tak pelak memang memperkaya Kelik dalam meracik nama. Tak hanya indah dan bagus ketika dilafalkan, Kelik juga mempertimbang aspek-aspek lain dari istilah atau nama yang ia pakai itu, misalnya konteks sosial yang terjadi ketika nama dan istilah itu banyak dipakai.

“Mungkin karena latar belakang saya [Fisipol], saya banyak mempertimbangkan aspek-aspek kontekstualitas dalam menyiapkan nama. Dengan begitu, saya bisa memastikan nama yang saya racik tidak memiliki makna konotatif, negatif, atau merujuk pada hal-hal yang buruk,” kata Kelik.

Dari hasil membaca, Kelik memang terus mendapatkan asupan referensi istilah yang bisa ia pakai sebagai bahan meracik nama.

Ayah satu anak itu pun kemudian menyebut beberapa nama tokoh nasional yang menginspirasinya dalam meracik nama. Salah satunya adalah seniman Djaduk Ferianto yang menamai kelima anaknya dengan nama yang unik tetapi indah saat dilafalkan dan memiliki makna yang sangat positif jika digabungkan antarkatanya.

Nama kelima anak Djaduk yang memesona Kelik itu masing-masing adalah Gusti Arirang, Kandida Rani Nyaribunyi, Gallus Presiden Dewagana, Eugenia Rajane Tetabuhan, dan Karola Ratu Hening.

“Nama-nama itu bukan saja indah, tetapi maknanya, menurut saya, sangat positif. Ibarat doa, ungkapan dan harapan yang terkandung di dalamnya sangat maksimal,” ucap Kelik.

Setelah lulus kuliah, ketertarikan Kelik akan peracikan nama kian menjadi. Terlebih setelah dia membaca sebuah buku yang salah satu babnya mengulas tentang tren sebuah penggunaan nama di Amerika Serikat.

“Dari situ saya jadi tahu bahwa pemberian nama itu juga terpengaruh oleh tren, kondisi sosial dan politik, serta tingkatan kelas yang ada di masyarakat. Misalnya, nama apa dipakai oleh siapa dan tidak bisa dipakai oleh orang sembarangan,” katanya.

“Ternyata ini mirip sekali dengan di Jawa. Nama yang dipakai oleh kalangan ningrat dan bangsawan, dilarang dipakai oleh masyarakat kelas bawah.”

Namun, seiring dengan bergulirnya zaman dan waktu, penggunaan nama-nama itu pun bergeser. Adanya proliferasi gagasan, pergeseran tren, sampai adanya saltik (typo) menyebabkan nama-nama yang semula sangat saklek itu menjadi lebih cair dan menyebar.

Menurut dia, kecenderungan ini juga terjadi di Nusantara. Kelas dan kasta yang semula sangat membuat nama menjadi hal “sakral" dan mengikat, kini menjadi lebih terbuka, meski di beberapa daerah, misalnya Bali, masih memegang teguh tradisi penamaaan itu sesuai kasta tersebut.

Masyarakat Bali sampai kini memang masih menyematkan nama sesuai dengan kasta mereka. Sebut saja misalnya Ida Bagus dan Ida Ayu untuk kalangan Brahmana; Anak Agung, Cokorda, dan Gusti untuk kalangan Ksatria; Dewa, Desak, dan Ngakan untuk kalangan Waisya; serta Nyoman, Wayan, dan Made untuk kalangan Sudra. 

Berhati-hati

Lebih dari lima tahun menjadi peracik nama, dengan telah melayani ratusan permintaan konsumen, bukan jadi alasan bagi Kelik untuk jemawa. Bagi dia, membaca tetap harus ia lakukan guna memperkaya referensi diksi.

Tak hanya diksi yang semakin kaya, penambahan referensi itu juga membuatnya semakin banyak tahu mana nama yang harus dipakai dan mana yang kudu dihindari.

BACA JUGA: Daftar 60 Nama Bayi Laki-Laki yang Keren dan Bermakna

Dia mencontohkan, nama Anusapati. Secara leksikal, Anusapati merupakan nama raja kedua dari Kerajaan Tumapel yang dipercaya kemudian dikenal sebagai Singhasari.

Meski memiliki makna dan filosofi yang positif, nyatanya Kelik berusaha menghindari nama ini. “Jangan sampai nama ini [Anusapati] akan bikin repot pemiliknya. Karena bisa jadi, nama itu rawan dipelesetkan menjadi Anus. Kasihan kan pemilik namanya, jadi bahan perundungan. Itu yang saya khawatirkan.” 

Etika

Kini, Kelik kian sadar bahwa prinsip kehati-hatian dalam merekomendasikan nama adalah yang utama.

Itulah sebabnya, kini dia memberlakukan masa tunggu bagi kliennya selama maksimal 5-7 hari untuk paket Reguler seharga antara Rp65.000-Rp205.000 tergantung jumlah usulan nama yang diminta.

Secara keseluruhan, Kelik membagi klaster orderannya menjadi empat kelompok. Keempatnya masing-masing adalah Reguler, Faster, Blitz , dan RJM atau racik jenama merek. “Untuk masa peracikan, paling lama tujuh hari. Paling cepat ada di klaster Blitz, cuma 1-2 hari,” kata Kelik.

Sementara cara kerjanya, kata Kelik, cukup sederhana. Dia akan mengajukan sejumlah daftar pertanyaan kepada pemesan nama. Selain soal nama-nama yang sengaja dihindari oleh si pemesan, daftar itu kurang lebih juga berisikan pertanyaan tentang gagasan dan harapan apa saja yang diinginkan si pemesan untuk anak mereka.

Dalam menjalankan bisnisnya, Kelik memberlakukan sejumlah aturan dan etika. Selain kepastian ide dan gagasan si pemesan ihwal harapan dan doa terhadap anaknya, Kelik juga memberikan garansi nama itu tak dipakai untuk orang lain. “Saya pastikan tidak memublikasikan nama yang sudah disepakati oleh pemesan. Jadi kami jamin nama itu orisinal,” tegas Kelik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

PKB dan PPP Kerja Sama Hadapi Pilkada Serentak 2024

News
| Selasa, 30 April 2024, 00:17 WIB

Advertisement

alt

Komitmen Bersama Menjaga dan Merawat Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Kamis, 25 April 2024, 22:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement