Advertisement
Epidemiolog UGM: Sampah Tak Tertangani Picu Lonjakan Leptospirosis

Advertisement
Harianjogja.com, SLEMAN—Kasus Leptospirosis di Kota Jogja dan sekitarnya beberapa waktu lalu dilaporkan meningkat signifikan meski musim hujan telah berakhir. Kebersihan lingkungan termasuk kurang terkelolanya sampah menjadi faktor penyebabnya.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Bayu Satria Wiratama, menjelasskan kendati belum ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), penanganannya perlu dilakukan setara dengan KLB. Status KLB bukan hanya soal diumumkan atau tidak, yang penting Dinas Kesehatan sudah melakukan penanganan sebagaimana mestinya.
Advertisement
BACA JUGA: Kasus Leptospirosis di Kota Jogja Meningkat Tajam
Tren peningkatan kasus biasanya terjadi saat musim hujan atau setelah banjir akibat kontak dengan air tercemar bakteri Leptospira. “Meski begitu, ada sesuatu yang berubah karena pada tahun ini lonjakan kasus justru muncul di musim kemarau,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Selasa (19/8/2025).
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang menular melalui kontak dengan air atau tanah terkontaminasi urin tikus. Bakteri ini dapat masuk melalui kulit yang terluka, bahkan luka kecil yang tidak terlihat.
Bayu menduga bahwa kondisi tersebut berkaitan dengan penanganan sampah yang belum terkelola dengan baik di Kota Jogja dan sekitarnya. Menurutnya, penumpukan sampah dapat menjadi sumber makanan dan tempat berkembang biak tikus sebagai hewan pembawa bakteri Leptospira.
Maka sampah yang belum terkelola dengan baik akan menjadi sumber penyakit termasuk leptospirosis. “Kasus bisa naik meski tidak ada hujan atau banjir, karena faktor lingkungan juga sangat berpengaruh,” jelasnya.
Lebih lanjut, Bayu menekankan bahwa pengendalian Leptospirosis tidak cukup hanya dari sektor kesehatan, tetapi memerlukan kerja sama lintas sektor seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Perdagangan yang menaungi pasar, Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPKP) serta partisipasi aktif masyarakat.
Ia mengajak warga untuk menjaga kebersihan lingkungan, mengelola sampah rumah tangga dengan baik, menutup makanan dan air minum agar tidak terkontaminasi, serta menggunakan alas kaki saat beraktivitas di luar ruangan, terutama di area lembab.
“Dengan pemahaman bahwa musim bukan lagi satu-satunya faktor risiko, penting bagi masyarakat untuk memperkuat langkah preventif secara konsisten sepanjang tahun,” kata dia.
Gejala penyakit ini sering menyerupai demam berdarah atau chikungunya sehingga rawan terlambat terdiagnosis. “Kalau demam tidak turun dalam satu-dua hari, apalagi ada riwayat aktivitas di lingkungan berisiko, segera periksa ke fasilitas kesehatan,” imbaunya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Presiden Diagendakan Beri pembekalan ke 165 Kepala Sekolah Rakyat
Advertisement

Sagon Wiyoro, Produsen Sagon Legendaris Berusia 70 Tahun
Advertisement
Berita Populer
- Libur HUT ke-80 RI Tak Mendongkrak Kunjungan Wisatawan ke Bantul
- Pemkot Jogja Lirik Kerja Sama Penerbangan YIA-Jeddah dengan Maskapai China
- Inspiratif! Pemuda di Jogja Ciptakan Aplikasi Kasir Laundry, Bisa Melacak Baju Hilang
- Jalankan Arahan Zulhas, PAN DIY Gulirkan Bantuan Pangan
- Jadwal KRL Jogja-Solo Selasa 19 Agustus 2025: Stasiun Tugu, Lempuyangan, Delanggu hingga Palur
Advertisement
Advertisement