Hari Bumi, Pemerintah Didesak Usahakan Energi Alternatif
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA--Dalam rangka memperingati Hari Bumi, sejumlah pegiat lingkungan yang menamakan dirinya Muda-Mudi Membumi, menggelar aksi long march sepanjang Malioboro, dari Abu Bakar Ali sampai Titik 0 Km, Senin (22/4/2019). Selain longmarch, massa aksi juga memunguti sampah dan menggelar sosialisasi sumber energi terbarukan dengan tenaga matahari.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jogja, Halik Sandera, mengatakan aksi ini merespon beberapa isu, terutama penggunaan enerdi batu bara yang masih massif dipakai pemetrintah Indonesia, padahal memiliki dampak negative baik bagi lingkungan maupun kesehatan, terutama infeksi saluran pernapasan (Ispa).
Advertisement
Selain itu, tambang batu bara juga berdampak secara social karena dalam pembangunannya, dipastikan menggusur permukiman, yang otomatis menggusur pula ruang hidup masyarakat. Ditambah lubang-lubang yang dihasilkan dari tambang, yang menurut catatan Jaringan Tambang (Jatam) telah menenggelamkan sebanyak 32 jiwa sepanjang 2011-2019 di Kalimantan Timur.
Halik menjelaskan, energi alternatif sebenarnya sangat memungkinkan jika pemerintah mau memulai. Meski lebih mahal, sudah menjadi tugas pemerintah bisa mensubsidi penggunaannya di masyarakat. Menurutnya, pemerintah berdalih energi alternative mahal karena politik batu bara.
Pemerintah takut untuk lepas dari oligarki tambang batu bara, karena kebanyakan pelaku bisnis batu bara adalah orang-orang dari partai politik dan pejabat-pejabat dalam pemerintahan itu sendiri. Padahal, banyak masyarakat dan peneliti yang telah mengembangkan sumber energi alternative.
Dalam aksi ini, massa aksi membawa gerobak dengan panel surya di atasnya, untuk menghidupi listrik speaker di dalam gerobak. Panel surya dianggap sebagai sumber energi alternatif yang bisa digunakan untuk kebutuhan listrik masyarakat.
Ia melihat, banyak inisiatif di masyarakat yang mau beralih ke energi alternative, hanya terkendala masalah dana. Ia mencontohkan panel surya yang digunakan di atas gerobak aksi, satu set dengan kapasitas 200 watt power berharga Rp7,5 juta. “Masyarakat mau berswadaya mandiri, tapi juga harus ada dukungan regulasi,” kata Halik.
Selain masalah energi, aksi ini juga turut menyoroti pengelolaan sampah yang sejauh ini masih amburadul. Hal ini terbukti dengan sempat ditutupnya Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Piyungan oleh warga, karena dampak penumpukan sampah ke lingkugnan sekitar.
Selain mengimbau pada masyarakat untuk meminimalisir dan mengelola sendiri sampahnya, Halik juga menuntut pemerintah untuk bisa mengontrol produksi sampah. Menurutnya, pemerintah seharusnya bisa mengeluarkan regulasi tegas yang mengharuskan perusahaan yang produknya menghasilkan sampah untuk bertanggungjawab mengelolanya.
Sedangkan untuk masyarakat, penting juga untuk memulai perubahan gaya hidup secara individu dan kolektef. Hal ini bisa dilakukan dengan mengurangi penggunaan plastic dan bahan-bahan yang tidak bisa terurai oleh mikroba, dalam menggunakan air, BBM, listrik dan sabun, yang semua berpengaruh pada kelestarian bumi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, di tahun 2018 telah terjadi 2.175 bencana di Indonesia, dengan rincian 737 banjir, 651 banjir, 557 tanah longsor, 96 kebakaran hutan, 67 banjir dan tanah longsor, 19 kekeringan, 18 gempa bumi, delapan gelombang pasang, dan dua letusan gunung api.
Menurut Walhi, 99,08% dari ribuan bencana di atas merupakan bencana ekologis. Artinya, bencana ini terjadi bukan sekadar karena kehendak alam, tapi juga atas peran manusia yang telah menimbulkan kerusakan alam. Hal ini dipengaruhi oleh cara pandang manusia yang menganggap alam sebagai komoditas.
Ia mendesak pemerintah harus berhenti menjual hak penguasaan dan pengelolaan tanah, air dan ijin pertambangan, karena hal tersebut bukan komoditas. Berbagai elemen kehidupan di bumi harus dijaga bukan hanya untuk memenuhi hajat hidup manusia, tapi demi kelestarian bumi itu sendiri.
Dalam aksi ini, ikut pula komunitas Becak Motor (Bentor). Halik mengatakan, bentor merupakan salah satu komunitas yang ia rangkul, karena saat ini keberadaannya masih cukup rentan. Bentor selama ini masih dipandang negatif karena berbahaya serta tidak ramah lingkungan.
Ia berharap, suatu saat nanti pengemudi bentor bisa beralih menggunakan energi alternative juga, semisal becak dengan aki atau listrik. “Tentu ini butuh dukungan pemerintah juga, untuk menyediakan kebutuhannya, semisal stasiun pengisian energi.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- KPU Sleman Targetkan Distribusi Logistik Pilkada Selesai dalam 2 Hari
- 20 Bidang Tanah Wakaf dan Masjid Kulonprogo Terdampak Tol Jogja-YIA
- Jelang Pilkada 2024, Dinas Kominfo Gunungkidul Tambah Bandwidth Internet di 144 Kalurahan
- Angka Kemiskinan Sleman Turun Tipis Tahun 2024
- Perluasan RSUD Panembahan Senopati Bantul Tinggal Menunggu Izin Gubernur
Advertisement
Advertisement