Dugaan Kekerasan Seksual di UNY Terbongkar, Pelakunya Aktivis UKM hingga Lurah di Lokasi KKN
Advertisement
Harianjogja.com, SLEMAN--Kekerasan seksual masih terus terjadi di dunia pendidikan, terutama lingkungan organisasi mahasiswa. Minimnya pemahaman dan upaya sistemik untuk pencegahan kekerasan seksual menjadi akar dari persoalan ini. Harianjogja.com bergabung dalam tim kolaborasi memotret praktik kejahatan seksual tersebut di lingkungan kampus di Jogja.
Tak pernah terbayangkan di benak Maryam (bukan nama sebenarnya) rapat organisasi di rumah salah satu alumni sore itu akan berujung pada kejadian paling traumatis dalam hidupnya. Dijemput oleh R, salah satu senior organisasinya, Maryam tak memiliki pikiran negatif sedikit pun.
Advertisement
Maryam yang tengah menempuh studi di semester ke enam, waktu ia bergabung di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Maryam sempat mengikuti rapat dari siang hingga selesai sekira pukul 17.00 WIB. Sampai sore, rapat menyisakan sedikit anggota dan alumni di tempat itu.
Karena pikirnya sudah tidak ada rapat, Maryam pun meminta R untuk mengantarnya pulang. Namun dengan dalih sungkan terhadap beberapa alumni di situ, R tidak mengabulkan permintaan Maryam. Akhirnya Maryam pun masuk ke dalam rumah tersebut dan mencoba menonton film di laptop, dengan posisi rebahan di sofa.
“Tiba-tiba Mas R masuk, nanya aku sedang nonton apa. Dia nyamperin, posisinya yang semula aku rebahan jadi duduk bersila aja di sofa. Mas R posisinya duduk nyender badan di sofa. Dia ngajak nonton film bareng. Yaudah, kita cari-cari film, dan diputusin nonton Jumanji di Netflix,” ujarnya, Rabu (26/1/2022).
BACA JUGA: Hari Ini DIY Tambah 2.778 Kasus Positif Covid-19, Meninggal Dunia 9 Orang
Lantaran hubungan antar anggota di UKM ini sudah terjalin erat seperti kakak dan adik, ia pun tidak menaruh rasa curiga. Tak lama R keluar ruangan ke teras untuk meminjam power bank pada teman lainnya dan kemudian masuk lagi. Ketika masuk, R menutup gorden jendela dan mematikan lampu.
Maryam mengira, gorden ditutup karena sudah malam dan lampu dimatikan agar lebih fokus menonton film. Namun, ternyata tindakan ini adalah awal mula dari siasat R. Setelah kembali menonton film, Maryam mulai merasakan perilaku aneh dari R.
Bermula dari memegang kepala, R melanjutkan aksinya dengan memegang telinga Maryam. Meski risih, Maryam tidak berani menegur. Dari situ, R semakin berani memegang punggung Maryam sampai pada akhirnya menyentuh bagian sensitif tubuhnya yang lain.
Tak hanya dari luar, R bahkan mulai memasukkan tangannya ke dalam baju Maryam. Meski awalnya tak mampu bergerak karena ketakutan, tenaga Maryam akhirnya terkumpul dan ia pun menepis tangan R. “Dia pun berhenti melakukannya,” ungkapnya.
Seorang alumni masuk ke ruangan. Dengan posisi sudah berhenti menyentuh tubuh Maryam, R tidak dicurigai sedikit pun oleh alumni tersebut karena memang sudah biasa menonton film bersama. Singkat cerita Maryam minta diantar pulang oleh salah satu alumni dan di perjalanan pulang itu lah ia baru menceritakan apa yang dialaminya.
Hari berikutnya, R mencoba mendatangi indekos Maryam dan berusaha minta maaf. Karena masih trauma sehingga Maryam tidak mempersilakannya masuk, permintaan maaf R pun hanya tersampaikan lewat chat Whatsapp.
Beberapa hari kemudian, kalangan internal UKM ramai membicarakan kasus yang dialami Maryam. “Pelaku setahuku udah dikasih sanksi. Dia dicabut hak-haknya sebagai anggota UKM. Tapi, ya itu, tetap saja aku masih sering lihat dia datang pas kita lagi latihan,” ungkapnya.
Pasca kejadian yang menimpanya, dengan dibantu temannya, Maryam sudah pernah mencoba melaporkan kasus tersebut ke BEM UNY. Ia mengakui awalnya BEM UNY memang cukup baik mendampinginya dan mendengarkan ceritanya. Namun sampai saat ini tidak ada progress apapun dari BEM UNY untuk kasus Maryam.
Awal tahun ini, setelah mencuat kasus kekerasan seksual di UNY lainnya yang juga melibatkan organisasi mahasiswa, Maryam memberanikan diri membuat laporan resmi ke rektorat. Ia berharap ada sanksi tegas dari rektorat kepada pelaku. “Aku mau hidup normal lagi setelah setahun dalam trauma. Aku mau ada pendampingan hukum, ada pemulihan mental,” katanya.
Bukan hal yang mudah bagi Maryam membawa kasus ini ke ranah kampus. Beberapa teman satu UKM menganggap Maryam hanya ingin mencoreng nama UKM dengan melaporkan kasus ke rektorat. Mereka meminta Maryam mencabut laporannya.
Korban R ternyata tak berhenti di Maryam. Sampai hari ini setidaknya sudah ada empat orang yang menjadi korbannya. Tiga orang dari anggota lainnya di UKM yang sama, dan satu lagi dari organisasi daerah. “Temen dekat satu UKM [korban lainnya]. Kita juga masih sering bahas kasus ini. Tapi makin kesini, katanya dia makin males mikirin ini,” katanya.
Tunda Kelulusan Pelaku
Rektor UNY, Sumaryanto, membenarkan adanya pelaporan kasus kekerasan seksual oleh Maryam dengan terduga pelaku R. Ia mengakui Satgas Kekerasan Seksual sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbud No. 30/2021 tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tingg memang belum terbentuk di UNY.
Namun untuk penanganan kasus kekerasan seksual menurutnya tidak perlu menunggu adanya satgas. Ia telah menginstruksikan Dekan dan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan di fakultas yang bersangkutan untuk menyelidiki dan menindaklanjuti kasus Maryam.
Meski masih dalam tahap investigasi, ia mengungkapkan telah memberi sanksi akademik kepada terduga pelaku, yakni penundaan kelulusan. Hal ini ia lakukan sesaat setelah laporan dari teman Maryam terkait kasusnya masuk ke rektorat.
“Saya datang ke Pak Dekan, kalau indikasinya jelas benar atas laporan ini, nyatanya banyak benarnya dari yang bersangkutan. Belum yang bersangkutan saya temui, begitu ada laporan tertulis itu saya ke fakultas, indikasinya benar, Bismillah tunda lulusnya,” ujarnya, Rabu (16/2/2022).
Penundaan kelulusan ini benar telah dilakukan. Ketika tim kolaborasi mengakses data yudisium fakultas R pada Januari, tidak ada nama R di dalam daftar tersebut. Sumaryanto pun juga memngkonfirmasi jika R memang semula akan yudisium pada bulan Januari dan wisuda 26 Februari.
“Kalau ditemukan semakin banyak salahnya, ya nanti tidak cukup ditunda kelulusannya. Kalau sanksi paling berat dikeluarkan. Bahkan kalau itu menjurus pidana sudah bukan wewenang kami. Kalau akademik dikeluarkan, kalau pidana ya biarkan urusan pidana, saya gak bisa apa-apa,” ungkapnya.
Kasus Maryam dan satu kasus sebelumnya yang ramai di beritakan pada awal 2022 lalu, terjadi di lingkungan UKM. Terkait hal ini, Sumaryanto membatasi kegiatan UKM jika normal sampai pukul 21.00 WIB, namun jika sedang dalam kondisi penting semisal ada pentas atau semacamnya, diperbolehkan 24 jam di sekretariat.
Menurutnya daripada berisiko pulang larut malam, mahasiswa diperbolehkan menginap di sekretariat asal mengajukan izin dan tidak berbuat hal negatif. Meski demikian ia tidak menyebutkan adanya regulasi khusus terkait kekerasan seksual di UKM.
Di samping itu, untuk memberikan sanksi bagi pelaku kekerasan seksual saat ini juga masih mengacu etika akademik. Pada pelaku yang sudah lulus, pihaknya juga belum menentukan sanksi yang sesuai. Sumaryanto mengaku masih perlu mengonsultasikannya dengan ahli hukum untuk pemberian sanksi bagi alumni.
Berdasarkan laporan yang ia terima, ada setidaknya tiga kasus kekerasan seksual yang terjadi di UNY dalam setahun terakhir. Salah satu kasus tersebut melibatkan lurah di tempat KKN mahasiswa sebagai pelaku, yang telah mendapat sanksi pencopotan dan blacklist lokasi KKN. Namun ia mengakui sejauh ini belum ada mahasiswa yang mendapat sanksi berat berupa drop out.
Perlunya Satgas, Regulasi dan Sosialisasi
Tidak adanya satgas, mekanisme dan regulasi yang spesifik untuk pencegahan kekerasan seksual di kampus cukup mempersulit penanganan. Hal ini diungkapkan Ketua BEM UNY periode 2021, Mutawakkil Hidayatullah. Ia mengatakan kasus Maryam merupakan salah satu kasus kekerasan seksual yang pernah ditanganinya namun sampai saat ini belum selesai diinvestigasi.
“Kendalanya belum ada satgas, sehingga tidak ada mekanisme yang jelas, alur-alur, sanksi. Sedangkan di BEM kami geraknya sepemahaman kami. Karena gak ada panduan yang diatur kampus, jadi ya sebisa kami. Kami jadi sektor paling depan untuk temen yang melaporkan,” katanya, Kamis (10/2/2022).
Menurutnya, untuk dapat menangani kasus kekerasan seksual, dibutuhkan adanya satgas serta alur yang jelas. “Kalau BEM yang gerak kan kampus berarti secara tidak langsung tidak bertanggung jawab pada kekerasan seksual,” ujarnya.
Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi UNY, Sasina Gilar Apriantika, menuturkan meski rektorat saat ini sedang dalam proses pembentukan satgas, tapi di UNY belum ada tindak lanjut konkret untuk menegaskan UNY akan melaksanakan dan melanjutkan Permendikbud tentang Penanganan Kekerasan Seksual tersebut.
“Sehingga sampai sekarang belum ada kelanjutan, terutama di bidang rektorat. Universitas belum ada kelanjutan, disosialisasikan, di-breakdown menjadi peraturan yang lebih jelas. Satgas saya kira di rektorat belum ada,” ungkapnya, Minggu (20/2/2022).
Menurut Permendikbud, satgas harus mencakup mahasiswa, dosen dan tenaga pendidikan. Jika telah dibentuk, semesestinya sudah ada sosialisasi. Jika sudah dibentuk tanpa sosialisasi, seharusnya sudah diumumkan siapa saja yang terlibat dalam satgas tersebut.
Ia mengungkapkan pada 2020 UNY pernah mengeluarkan peraturan rektor terkait kekerasan seksual, tapi tidak sedetail permendikbud. Basis tindaklnajut kekerasan seksual pada regulasi tersebut hanya pada hukum berkaitan etika perilaku atau perkualiahan.
“Yang baru ada kemaren Desember [2021] di Fakultass Ilmu Sosial, sosialisasi kekerasan seksual, mengundang Rifka Annisa dan Rektorat. Tapi waktu itu belum ada info kapan dan upaya yang sudah dilakukan. Secara progres belum banyak bergerak,” katanya.
Menurutnya, ada hal yang mesti dilakukan sebelum pembentukan satgas, yakni sosialisasi tentang kekerasan seksual dan peraturan yang mengakomodir kekerasan seksual di perguruan tinggi. Hal ini perlu dilakukan karena sampai saat ini masih banyak baik mahasiswa, dosen maupun tenaga pendidikan yang belum memahami betul apa itu kekerasan seksual.
“Ada banyak jenis, cat calling [bersiul], melihat dari atas ke bawah, mengirim pesan bernada seksual. Tidak banyak yang menyadari tindakan yang dia lakukan atau diperoleh adalah bentuk kekerasan seksual. Menyentuh bagian tubuh kadang masih dianggap sapaan biasa,” ujarnya.
Sosialisasi ini diperlukan karena orang tidak akan sadar pentingnya satgas dan Permendikbud karena bahkan mereka belum tahu jika perbuatannya mungkin termasuk dalam keekrasan seksual. Setelah itu diteruskan dengan sosialisasi Permendikbud. Hal ini menurutnya perlu menjadi agenda wajib bagi seluruh mahasiswa, dosen dan tenaga pendidikan.
Terkait kekerasan seksual di lingkungan UKM, menurutnya dapat terjadi karena relasi kuasa biasanya antara senior dan junior. Senior punya kuasa lebih untuk bertindak ke junior, kemudian didiamkan, dianggap sebagai bentuk ospek atau training anggota baru. Dalam konteks ini, yang bermasalah bukan hanya orang di situ tapi juga pada sistem.
“Paradigma di dalam UKM ketika ada tindak kekerasan tapi didiamkan begitu saja akan terus berlangsung karena tidak ada upaya. Tidak ada kebijakan atau sanksi untuk pelaku berarti sedang melanggengkan kekerasan seksual. Ketika besok terjadi generasi selanjutnya tidak punya acuan,” ungkapnya.
*Laporan ini hasil liputan kolaborasi Harian Jogja, Pandangan Jogja dan LPM Filosofis UNY
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Bawaslu Bakal Terapkan Teknologi Pengawasan Pemungutan Suara di Pilkada 2024
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Kemiskinan Sleman Turun Tipis, BPS Sebut Daya Beli dan Inflasi Jadi Biang
- Relawan Posko Rakyat 45 Kerahkan Dukungan ke Pasangan Afnan-Singgih
- Hiswana Migas DIY Dorong Pemilik 4 SPBU yang Ditutup agar Lakukan KSO untuk Kelancaran Distribusi BBM
- Difabel Merdeka Dukung Hasto-Wawan di Pilkada Kota Yogyakarta
- KPU Larang Pemanfaatan Lapangan Denggung, 2 Paslon Pilkada Sleman Urung Gelar Kampanye Akbar
Advertisement
Advertisement