Advertisement

Catur Sagatra 2023, Sudah saatnya Dinasti Mataram Gumregah

Media Digital
Minggu, 16 Juli 2023 - 21:47 WIB
Maya Herawati
Catur Sagatra 2023, Sudah saatnya Dinasti Mataram Gumregah Gelar Budaya Pagelaran Catur Sagatra bertajuk Wayang Wong Lakon Sumantri Ngenger di Kagungan Dalem Bangsal Sewatama, Pura Pakualaman, Sabtu (15/7 - 2023) malam.

Advertisement

JOGJA—Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY menyelenggarakan Gelar Budaya Pagelaran Catur Sagatra bertajuk Wayang Wong lakon Sumantri Ngenger di Kagungan Dalem Bangsal Sewatama, Pura Pakualaman, Sabtu (15/7) malam.

Pagelaran Catur Sagatra tersebut merupakan anjangsana tahunan empat Dinasti Mataram Islam sebagai bentuk silaturahmi dan pelesatrian budaya masing-masing. Wakil Gubernur DIY, Sri Paduka Paku Alam X, yang membacakan sambutan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X, menyampaikan apabila dimaknai secara mendalam, Catur Sagatra merupakan konsep kosmologi Jawa yang bertumpu pada aspek mikro dan makro kosmos. Meski masing-masing memiliki fungsi dan peran tersendiri, menurutnya tetap dalam konteks satu keutuhan Gatra yang sama.

Advertisement

“Dengan pengertian kesatutubuhan tersebut dapat dipetik makna, bahwa sudah saatnya keempat Dinasti Mataram untuk gumregah, melakukan Renaisans Catur Sagotrah secara berkelanjutan demi manunggalnya ikatan kekerabatan Trah Agung Mataram,” katanya.

Catur Sagatra 2023 dihadiri pula oleh GKBRAA Paku Alam, KGPAA Mangkunegara X, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram, GRAj Ancillasura Marina Sudjiwo, KPH Notonegoro, KPH Indrokusumo, putra/putri sentana dalem, anggota Forkopimda, dan Kepala OPD di lingkup Pemda DIY.

Menurutnya, makna tersebut seiring pula dengan pergelaran tari yang menggambarkan ikatan kultural tersebut. “Harapannya bisa bermuara pada ikatan kekerabatan ini, seiring gareget: lungguh, sengguh, tangguh; sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh; dan hanebu sauyun,” katanya.

Menurutnya, gareget tersebut selayaknya diikuti keterpaduan sinergis budaya-budaya unggul, yang dimiliki Trah Paku Buwono dalam olah seni tari, Trah Hamengku Buwono dalam olah kepemimpinan, Trah Pakualam dalam olah pawiyatan, dan Trah Mangkunegaran dalam olah kapujanggan yang sejatinya merupakan wujud gerakan Renaisans Mataram. “Besar pula harapan bahwa budaya-budaya unggul itu dapat disegarkan maknanya seiring perubahan zaman, tanpa meninggalkan makna sejatinya. Nilai-nilai inilah yang selanjutnya diaktualisasi kepada masyarakat, sebagai panduan moral dan perekat kohesi sosial, sekaligus menjadi sumbangsih nyata Catur Sagatra untuk Indonesia,” katanya.

Pentas Tarik Klasik

Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, menyampaikan gelar budaya Catur Sagatra merupakan pentas tari klasik ragam seni gaya Surakarta, Ngayogyakarta, Pura Pakualaman, dan Pura Mangkunegaran. “Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menggali sejarah masa silam betapa adiluhungnya peradaban Mataram dan merupakan wahana berbagai estetika tari dan juga sebagai upaya meresapi ajaran etika dan kehidupan.

Menurutnya, dimensi etika itu diperlukan sebagai kaidah penuntun bagi bangsa dan negara. Kegiatan ini, menurut Dian, perlu diapresiasi dan diberi ruang untuk menuju rekonsiliasi budaya manggulanya kembali Trah Mataram.

BACA JUGA: Keren! Warna-Warni Layang-Layang Hiasi Langit Parangkusumo

Menurut Dian seni tari klasik bersifat luwes dan lentur tetapi magis filosofis, memiliki nilai keadiluhungan, sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh untuk tari gaya Jogja, dan lungguh, sengguh, tangguh untuk tari gaya Surakarta.

“Sekilas pagelaran ini berbeda dengan Pagelaran Catur Sagatra tahun sebelumnya yang masing-masing istana menampilkan tarian masing-masing dengan karakternya masing-masing secara terpisah. Untuk pertama kalinya pada tahun ini mementaskan satu pertunjukan Wayang Wong dengan lakon Sumantri Ngenger yang digarap secara kolaborasi dengan menampilkan ragam tari dan karawitan berkarakter masing-masing istana,” katanya.

Dian menyampaikan rangkaian Catur Sagatra 2023 menggunakan Dana Keistimewaan (Danais) yang diawali dengan berbagai tahap kegiatan mulai dari ziarah Makam Sultan Agung di Imogiri, Training Camp, dan puncak acara berupa pagelaran Wayang Wong dengan lakon Sumantri Ngenger di Pura Pakualaman dengan melibatkan 200 pelaku seni gabungan dari masing-masing istana. “Kegiatan ini ditujukan untuk mengingatkan kembali betapa adiluhungnya etika dan estetika persembahan kesenian klasik Mataraman dan menyatunya kembali Catur Sagatra keluarga besar Trah Agung Mataram serta terjaganya silaturahmi budaya antar Trah Mataram,” katanya.

Dititipi Senjata

Wayang Wong dengan lakon Sumantri Ngenger yang menceritakan mengenai Sumantri, Putra Begawan Suwandagni dari Pertapaan Jatisrono yang berparas tampan dan mempunyai kesaktian tiada tara. Sumantri memiliki saudara Raden Sukrasana dengan wujud raksasa yang menyeramkan. Suatu hari, Sumantri diminta ayahnya mengabdi kepada Negara Maespati dan dia juga dititipi senjata cakra untuk dikembalikan kepada Raden Arjuna. Sukrasana ingin ikut Sumantri ke Maespati, tetapi tidak diizinkan.

Di Maespati, Sumantri langsung mengutarakan niatnya untuk mengabdi. Raden Arjuna menerimanya dengan syarat, Sumantri harus memenangkan sayembara yang diadakan Dewi Citrawati dari Negara Magada. Sumantri akhirnya menyetujui syarat tersebut. Lantas, Sumantri dengan menggunakan senjata cakra yang dibawanya berhasil memenangkan sayembara tersebut dan memperistri Dewi Citrawati.

BACA JUGA: Lima Remaja Ditangkap, Diduga Menganiaya Pemotor yang Merokok

Kemenangannya tersebut membuatnya menjadi sombong. Kemudian, Sumantri pun menantang Raden Arjuna untuk berkelahi melawannya. Raden Arjuna menerima tantangan tersebut kemudian terjadilah pertempuran. Dalam pertempuran tersebut, Sumantri mengeluarkan cakra yang dibawanya. Saat itu, Raden Arjuna yang menyadari cakra tersebut miliknya pun lantas marah. Raden Arjuna kemudian menjelma menjadi raksasa dan mengalahkan Sumantri.

Kemudian, Sumantri diminta untuk memindahkan Taman Sriwedari dari Negara Maespati. Akhirnya dengan bantuan saudaranya, Sukrasana, Taman Sriwedari berhasil dipindah dan Sumantri diterima menjadi patih di Maespati.

Rupa Sukrasana yang menyeramkan membuat Sumantri malu mengajaknya ke Maespati. Kemudian, Sukrasana akhirnya tinggal di Taman Sriwedari.

Dewi Citrawati yang melihat wujud raksasa Sukrasana pun ketakutan. Dia lantas melapor kepada Raden Arjuna. Kemudian, Raden Arjuna pun menyuruh Sumantri membunuh Sukrasana. Sumantri yang mengetahui bahwa raksasa yang dimaksud adalah saudaranya, lantas mengusir Sukrasana. Sukrasana yang tidak mau pergi pun menabrakkan diri pada senjata Sumantri. Sukrasana rela mati demi derajat, pangkat, kesaktian, dan kebahagiaan Sumantri.

Pementasan tersebut dapat disaksikan masyarakat melalui Youtube Humas Jogja dan Tasteofjogja. (BC)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Gempa Magnitudo 5,3 Guncang Kabupaten Sarmi Papua

News
| Sabtu, 08 Februari 2025, 03:07 WIB

Advertisement

alt

Liburan ke Garut, Ini Lima Tempat Wisata Alam Tersembunyi yang Layak Dinikmati

Wisata
| Senin, 27 Januari 2025, 21:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement