Media Massa Sekarang, Negosiasi Bisnis di Ruang Redaksi, Penerabasan Pagar Api Kian Lumrah
Advertisement
Harianjogja.com, SLEMAN—Fenomena perubahan sistem bisnis media massa dalam beberapa dekade terakhir semakin memperlihatkan keterlibatan perusahaan di dalam ruang redaksi dan sebaliknya. Akibatnya, pagar api sebagai pembatas produk jurnalistik dan advertorial kian kabur.
Hal ini ditangkap oleh Nanang Krisdinanto dalam bukunya berjudul Runtuh dari Dalam: Serangan Komersialisasi terhadap Pagar Api Jurnalistik di Indonesia, terbitan Marjin Kiri, 2024. Dalam buku ini, Nanang menyoroti bagaimana komersialisasi media berlangsung begitu masif hari ini.
Advertisement
“Bisnis media memang hidup di Indonesia, tetapi yang saya khawatirkan jurnalismenya telah mati, atau terancam mati. Tidak hanya disumbang kekuatan ekonomi politik di luar, tetapi juga dari dalam, oleh jurnalis sendiri yang mengalami perubahan signifikan dalam memandang jurnalisme,” ujarnya dalam Diskusi dan Bedah Buku Runtuh Dari Dalam di Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB) UII, Senin (4/11/2024).
Diskusi dan bedah buku ini diinisiasi oleh Sekolah Jurnalis SK Trimurti, badan semi otonom Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, bekerja sama dengan prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII.
Pengajar Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang juga eks wartawan Surabaya Post ini menjelaskan terdapat dua pilar etika jurnalistik yang kerap dilanggar dalam isu ini. “Pertama karya jurnalistik berkualitas harus memisahkan fakta dan opini. Kedua, pemisahan redaksi dan bisnis. Maka disebut pagar api karena tidak boleh dilompati,” katanya.
Dalam buku tersebut, dia melihat komersialisasi media yang diwujudkan dalam penerabasan pagar api jurnalistik dilakukan sistematis oleh jurnalis dengan beragam bentuknya. Menurutnya, fenomena ini cukup meresahkan karena jurnalisme memiliki cita-cita sosial terkait dengan kepentingan publik.
Buku ini bercerita ihwal empat hal besar dengan menyertakan contoh nyata praktek penerabasan pagar api yang dampaknya signifikan pada produk jurnalistik. Pertama, meluasnya keterlibatan jurnalis untuk melobi dan mencari iklan, yang sudah terjadi sejak tahun 90-an. “Sekarang dalam momentum Pilkada, di ruang redaksi sudah berlangsung negosiasi bisnis. Hal ini wajar dalam bisnis media, kalau yang melakukan bidang bisnis. Tetapi dalam penelitian saya, jurnalis menjadi ujung tombak praktik ini, karena punya kekuatan menekan pemerintah atau narasumber,” katanya.
Kedua, penggunaan advertorial yang menyamarkan pesan iklan menjadi seolah-olah berita biasa. “Kompas dan Tempo delapan tahun lalu masih disiplin mencantumkan advertorial, tetapi semakin ke sini semakin tidak ingin menampakkan [tanda advertorial],” kata dia.
Ketiga, penjualan berita atau halaman. Menurutnya, saat ini bukan lagi iklan yang dijual media, tetapi produk peliputan. “Ini dijalankan oleh jurnalis. Keempat, pengukuran kinerja jurnalis dengan indikator iklan yang didapat. Ada media yang mewajibkan, ada yang hanya sebagai sunnah,” ujarnya.
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Jogja, Nugroho Nurcahyo menuturkan media lokal di Jogja dalam kondisi saat ini tidak bisa berharap pada iklan dari sektor privat. Maka kebanyakan media lokal bergantung pada iklan dari pemerintah daerah atau APBD. “Kalau ke pemerintah masih mungkin. Pagar api biasanya dijaga dengan membedakan font, tata letak, walau tidak mengatakan iklan secara langsung. Di Harian Jogja brand konten [berita iklan] tidak muncul namanya penulisnya,” katanya.
Dia melihat praktik semacam ini bisa terjadi karena format bisnis media pasca reformasi dibatasi pada tiga bentuk, yakni Perseroan Terbatas (PT), Yayasan dan koperasi. Dengan sebagian besar format bisnis media adalah PT, maka tidak heran jika yang menjadi orientasinya adalah profit.
Dalam kondisi tersebut, jurnalis juga tidak bisa berbuat banyak di hadapan perusahaan. “Rata-rata ppsisi tawar jurnalis di bisnis medua tidak terlalu besar. Sebenarnya kami bisa melawan, mengompromikan kepentingan bisnis dan advertorial, tetapi ketika terlalu keras kami akan kesulitan secara ketenagakerjaan,” ujar dia.
BACA JUGA: Generasi Muda Papua Diminta Sampaikan Kabar Inspiratif Lewat Jurnalisme Warga
Guru Besar Kajian Media dan Jurnalisme UII, Masduki mengatakan buku ini memotret dilema para profesional jurnalis dan redaktur. Dia menjelaskan media bukanlah political goods dan economic goods. “Media adalah public goods, yakni memenuhi kebutuhan publik untuk pintar, cerdas, sehingga mengonsumsinya,” katanya.
Dengan runtuhnya pagar api, jurnalis hari ini bisa merangkap sebagai sales pemasaran dan buzzer, dengan tetap memegang status sebagai jurnalis. “Dalam pendekatan liberal itu wajar. Karena kembali kepada individu jurnalis, apakah happy menjadi jurnalis cum marketing atau bisa melakukan perlawanan,” ujarnya.
Ada banyak cara untuk jurnalis melakukan perlawan dalam situasi ini. Jurnalis bisa keluar membuat media alternatif yang memberlakukan sistem bisnis tidak seperti media mainstream, seperti yang saat ini banyak ditemui misalnya Project Multatuli, Konde, Magdaline dan sebagainya. “Bisa juga cara lebih halus, dengan resistensi terbatas. Misalnya dia tetap kerja di media mainstream, tapi menjaga kewarasan dengan membuat tulisan di media alternatif atau membuat forum diskusi seperti ini. Dengan fenomena ini saya kira kita masih optimis, banyak jurnalis yang waras Insyaallah 'pagar api' bisa kita jaga walau dengan berdarah-darah,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Seniman Keluhkan Mahalnya Sewa Panggung Seni, Fadhli Zon Bilang Begini
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Lakukan Pemetaan, Bawaslu Sebut Ada Ratusan TPS Rawan selama Pilkada Gunungkidul
- Hadapi Potensi Bencana Hidrometeorologi, Sekolah Diminta Waspada
- Biro PIWP2 Setda DIY Terus Dorong Percepatan Layanan Sanitasi Berkelanjutan
- Hadapi PSBS Biak di Lanjutan Liga 1, Ricky Cawor: Atmosfer Positif sedang Lingkupi PSS
- Program Makan Bergizi Gratis Butuh Kolaborasi Lintas Sektoral
Advertisement
Advertisement