Advertisement

Ponpes Sunan Kalijaga Gesikan Gelar Halaqah Kebangsaan, Agama Berperan Ciptakan Harmonisasi Sosial

Media Digital
Kamis, 30 Januari 2025 - 18:57 WIB
Arief Junianto
Ponpes Sunan Kalijaga Gesikan Gelar Halaqah Kebangsaan, Agama Berperan Ciptakan Harmonisasi Sosial Suasana Halaqah Kebangsaan yang digelar oleh Ponpes Sunan Kalijaga pada Kamis (30/1/2025) di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalikaga. - Catur Dwi Janati

Advertisement

SLEMAN—Pondok Pesantren (Ponpes) Sunan Kalijaga Gesikan, Bantul menggelar Halaqah Kebangsaan bersama sejumlah ulama dan tokoh masyarakat. Tantangan-tantangan sosial terkini dinilai bisa diatasi dengan kolaborasi antar agama. 

Halaqah Kebangsaan ini dihadiri sejumlah tokoh, meliputi Ketua Tanfudziah PWNU DIY, KH. Ahmad Zuhdi Muhdlor, Sekretaris LPPA PP. Aisiyah, Prof. Alimatul Qibthiyah, Pengasuh PP. Sunan Kalijaga Gesikan, Beny Susanto, Romo Kevikepan DIY, Romo AR Yudhono Suondo Pr dan moderator Gugun El-Ghulayani yang juga dosen FSH UIN Sunan Kalijaga.

Advertisement

Dalam Halaqah Kebangsaan ini, Ketua Tanfudziah PWNU DIY, KH. Ahmad Zuhdi Muhdlor membahas bagaimana peran tokoh agama dalam menciptakan kondisi harmonis di tengah-tengah masyarakat.

Sebelum mengarah ke sana, Zuhdi menilai bila terlebih dahulu perlu diidentifikasi permasalahan-permasalahan yang ada di masa sekarang. Sehingga apa yang dikakukan bisa disesuaikan dengan tantangan yang ada. "Sebagaimana kami ketahui, kami ini sekarang berada di era digitalisasi. Semua telah bertransformasi ke era digital," kata Zuhdi di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Kamis (30/1/2025).

Salah satu bahan pemikiran yang perlu dicari solusinya kata Zuhdi ialah terjadinya disrupsi sosial sebagai dampak perkembangan iptek di era digitalisasi. Banyak aspek sosial berubah kata Zuhdi, termasuk hubungan antarmanusia dengan manusia, anak dengan orang tua dan sebagainya. "Karena membawa dampak yang luar biasa terhadap hubungan antar manusia, maka ini juga harus menjadi bagian dari yang kami pikirkan," ujar dia. 

Zuhdi melanjutkan jika tokoh agama saat ini ditantang menjadikan agama sebagai bagian dari etika sosial. Bagi Zuhdi tantangan tersebut tidak mudah dilakukan karena bertentangan dengan ambisi pribadi maupun persepsi berbeda-beda terhadap orang lain. 

Tak hanya di ranah digital, persoalan ekologi juga menjadi tantangan umat beragama ke depan. Bagaimana kontribusi umat beragama dalam menjadikan ajaran agama sebagai etika sosial. "Lihat [masalah] sampah, sangat memprihatinkan," ujarnya.

BACA JUGA: Sunan Kalijaga Gesikan Ajak Masyarakat Tetap Produktif saat Pandemi Covid-19

Melihat tantangan-tantangan yang ada, menurut Zuhdi tidak bisa di atasi satu agama saja, melainkan kolaborasi seluruh pihak. Zuhdi menekankan kolaborasi karena ini merupakan kekuatan yang Indonesia miliki. "Maka ke depan, kuncinya untuk mengatasi persoalan-persoalan ini adalah kolaborasi. Semua kekuatan harus berkolaborasi untuk mengatasi persoalan dan krisis yang ada," tegasnya. 

"Kami jadikan agama bukan hanya sebagai ajaran formal, lembaga-lembaga formal tapi spirit kualitas agama harus menjiwai semuanya dalam kolaborasi," kata dia.

Isu Perempuan

Sementara itu, Sekretaris LPPA PP. Aisiyah, Prof. Alimatul Qibthiyah menyoroti sooal jalannya hukum dan HAM dari perspektif sosial keagamaan yang berhubungan dengan isu perempuan.

Alimatul yang juga Komisioner Komnas Perempuan mencatat ada 421 kebijakan diskriminasi atas nama otonomi daerah di 2016. Dengan penanganan secara bersama-sama, akhir 2023 dikenali masih ada 305 kebijakan diskriminasi. "Termasuk di dalamnya, penggunaan busana atas penafsiran tertentu berdasarkan agama mayoritas," tegasnya. 

Dalam perspektif HAM, jika satu dua orang berbeda tafsir, negara tetap harus hadir melindunginya. Sementara sekolah-sekolah negeri yang notebene milik negara dan ada banyak agama dan tafsir di situ. "Sekolah-sekolah negeri yang notebene itu milik negara, yang itu ada banyak agama di situ dan juga ada banyak tafsir di situ walaupun sama-sama Islam, itu kemudian pakai jilbab atau tidak pakai jilbab itu mengurangi nilai agama misalnya. Bagi Komnas Perempuan itu menjadi concern, itu masuk kategori kebijakan yang diskriminasi," kata dia. 

Alimatul menegaskan tidak boleh memaksakan tafsir mayoritas itu untuk dipaksakan kepada tafsir semua umat beragama, apalagi agama lain. "Harmonisasi kebijakan diskriminasi saat ini telah diadopsi menjadi indikator pembangunan 2025-2029, sehingga penting pemerintah yang baru ini memastikan kolaborasi antara kementerian dan lembaga untuk 305 kebijakan dilakukan harmonisasi.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Lima Sandera Warga Thailand Dibebaskan di Gaza

News
| Kamis, 30 Januari 2025, 23:47 WIB

Advertisement

alt

Hindari Macet dengan Liburan Staycation, Ini Tipsnya

Wisata
| Senin, 27 Januari 2025, 18:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement