Advertisement

Pantas Kemiskinan di DIY Sulit Diatasi. Satu dari 100 Orang Kaya Masih Terima Bantuan untuk Fakir Miskin

I Ketut Sawitra Mustika
Kamis, 19 April 2018 - 11:25 WIB
Budi Cahyana
Pantas Kemiskinan di DIY Sulit Diatasi. Satu dari 100 Orang Kaya Masih Terima Bantuan untuk Fakir Miskin Ilustrasi penduduk miskin. - JIBI/Bisnis Indonesia/Dok.

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Kemiskinan di DIY sukar dikurangi karena program penanggulangannya tidak tepat sasaran. Banyak warga miskin tidak mendapat bantuan, dan sebaliknya, tak sedikit orang kaya yang menerima uluran tangan pemerintah.

Akurasi menjadi problem mendasar dalam menyelesaikan kefakiran di provinsi ini. Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY Tavip Agus Rayanto mengatakan angka inclusion error dan exclusion error masih tinggi. Keduanya adalah konsep tentang penerima manfaat bantuan pemerintah. Inclusion error berarti warga yang masuk dalam kategori sejahtera secara ekonomi malah terdaftar mendapat bantuan. Adapun exclusion error bermakna sebaliknya: warga yang tidak mampu justru tidak menerima bantuan.

Advertisement

Tavip mengatakan inclusion error dan exclusion error harus jadi perhatian bersama.

“Karena jangan sampai mereka yang berhak mendapat bantuan tidak mendapatkan hak, tapi yang tidak berhak malah menerima bantuan. Hal itu tidak boleh terjadi lagi,” ucap dia saat Rapat Koordinasi Pengendalian Pembangunan Daerah DIY Triwulan 1 Tahun 2018, di Hotel Grand Inna Malioboro, Jogja, Rabu (18/4/2018).

Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DIY 2017-2022 yang sudah selesai dibahas, pemerintah menargetkan penurunan angka kemiskinan mencapai 7%. Pada September 2017, kemiskinan berada di angka 12,36% atau sekitar 466.330 orang dan lima tahun lagi, persentase kemiskinan kalau bisa tinggal 5%.

Target tersebut tergolong muluk-muluk karena pengentasan kemiskinan belum berada di trek yang benar.

“Masih dijumpai program yang belum seluruhnya tepat sasaran, baik basis data terpadu maupun penerima manfaat. Itu harus jadi perhatian bersama,” kata Tavip.

Selain itu, persentase penduduk miskin sejak 2011 selalu berada di kisaran 14-16%, tak pernah di bawah 10%.

Keluhan Tavip diafirmasi Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga paling kompeten dalam mengukur kemiskinan dan angka-angka dalam kehidupan bermasyarakat lainnya. Kepala BPS DIY JB Priyono, mengutip data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2016, mengatakan dari 10% masyarakat DIY dengan tingkat kesejahteraan paling rendah, sekitar 4,6% tidak mendapat kartu perlindungan sosial. Di sisi lain, 0,1% dari 10% kelompok masyarakat paling kaya malah mendapatkan bantuan jaminan sosial.

“Jadi, dari 10 rumah tangga termiskin, antara empat sampai lima rumah tangga tidak dapat bantuan. Tetapi dari setiap 100 rumah tangga terkaya di DIY, satu rumah tangga dapat bantuan,” kata dia melalui sambungan telepon kepada Harian Jogja.

Kekeliruan itu disebabkan carut marutnya penentuan rumah tangga sasaran. Menurut Priyono, dasar hukum, prosedur operasi standar, dan penentuan rumah tangga sasaran sudah tersedia.

“Tetapi faktanya raskin [beras untuk masyarakat miskin yang sekarang berubah nama menjadi rastra, akronim dari beras sejahtera] saja dibagi rata,” ujar Priyono.

Menurut dia, kekeliruan itu bukan lantaran sistem, melainkan karena aparat pemerintah tidak mematuhi standar pengukuran.

“Orang dinas juga sudah tahu kalau memang salah, tetapi yang sudah telanjur dapat enggan melepas, karena sudah keenakan. Harusnya melalui musyawarah desa, kesalahann seperti ini dibetulkan.”

 

Susah Dientaskan

Menurut Tavip, pengentasan kemiskinan memerlukan double track strategy atau strategi di dua sisi. Taktik ini terdiri dari perbaikan mekanisme dan sistem pendataan serta intervensi yang tepat sasaran. Semua pemangku kepentingan, kata dia, tidak boleh lagi menunggu data terkumpul dengan sempurna baru kemudian membuat kebijakan.

“Jika itu masih dilakukan, program tidak akan jalan, karena datanya tidak pernah bagus.”

Masyarakat yang berada di desil satu dan dua harus menjadi fokus perhatian. Mereka yang masuk pada desil satu dan dua ini adalah masyarakat yang indeks kedalaman miskinnya masuk kategori tinggi.

Indeks kedalaman kemiskinan merupakan kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Pada September 2017, garis kemiskinan di DIY sebesar Rp396.271 per kapita per bulan. Artinya, orang yang saban bulan menghabiskan uang di bawah standar tersebut tergolong sebagai penduduk miskin. Semakin tinggi indeks, semakin sedikit rata-rata pengeluaran penduduk papa dari garis kemiskinan.

Penanganan yang cocok untuk kaum rudin di desil satu dan dua adalah jaminan sosial karena potensi mereka agak sulit diangkat. Sementara, masyarakat miskin pada desil dua dan tiga harus diberi program pemberdayaan ekonomi produktif.

Tavip juga menyebut kemiskinan di Kota Jogja dan Sleman sudah mulai menyentuh hardcore poverty, yang artinya lebih banyak penduduk papa yang tidak bisa dientaskan. Di dua daerah itu, model pemberdayaan sudah tidak efektif lagi. Model intervensi yang tepat adalah jaminan sosial.

“Tiga kabupaten yang belum menyentuh hardcore poverty dapat memakai program pengentasan kemiskinan yang mengedepankan pendekatan modal sosial yang memberikan efek ekonomi langsung. Contoh nyata adalah objek wisata berbasis komunitas setempat,” kata Tavip.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Gelar Rapat Internal, Jokowi Siapkan Langkah Terkait Perang Iran-Israel

News
| Selasa, 16 April 2024, 12:47 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement