Advertisement
Calon Kepala Desa Harus Sogok Pemilih untuk Menang

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Oktober mendatang, pemilihan kepala desa (pilkades) akan digelar serentak di 30 desa di Bantul. Kontestan butuh duit besar untuk meraih dukungan pemilih. Menurut beberapa kepala desa dan mantan kepala desa, tanpa modal, kemungkinan terpilih sangat kecil. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com, Ujang Hasanudin.
Sumpena sempat syok setelah melihat hasil perolehan suara dalam pilkades serentak Oktober 2016 lalu. Calon kepala desa yang kalah dalam Pilkades Desa Trirenggo, Bantul, ini hanya memperoleh dua ribuan suara.
Advertisement
Jumlah tersebut menempatkan Sumpena di posisi kedua dari lima calon. Padahal namanya sempat dielu-elukan bakal memenangi pemilihan. Namun kekecewaan pengusaha asal Code, Trirenggo, ini tidak berlangsung lama. Ia dapat menerima hasil pilkades tersebut. “Karena niat awal saya mencalonkan tidak untuk mencari penghasilan,” ujar dia.
Awalnya Sumpena tidak ingin njago, tetapi sejumlah kolega dan tokoh masyarakat di dusunnya mendorongnya untuk maju. Ia pun menyanggupi dengan syarat tidak ada bagi-bagi duit. Ia juga sempat berjanji tidak akan mengambil gaji pokok jika terpilih nanti. Bahkan penghasilan tanah pelungguh sebagai tunjangan tambahan akan digunakan untuk kepentingan masyarakat. Ia janji tidak akan mengambil sepeser pun.
“Yang Maha Kuasa belum mengizinkan saya menang. Sepertinya saya memang harus fokus mengembangkan usaha,” ucap Sumpena, saat ditemui di rumahnya di Trirenggo, Senin (25/6).
Sumpena mengklaim tidak ada duit yang dipakai menyogok masyarakat agar memilihnya. Namun ia sudah mengeluarkan uang puluhan juta untuk biaya rapat, konsumsi, dan transportasi para sukarelawan.
Seusai pemilihan dan sudah dinyatakan kalah, Sumpena membagikan uang kepada para pendukungnya. Menurut dia, duit itu adalah ungkapan terima kasih karena pendukungnya sudah rela membantu mengampanyekan hingga memilihnya.
“Sekitar Rp70 juta yang saya berikan sebagai ungkapan terima kasih walau pun kalah. Tetapi sebagian ada yang mengembalikan lagi karena mereka mengaku tulus membantu saya. Akhirnya saya sumbangkan ke pengurus RT karena saya sudah ikhlas mengeluarkan uang itu.”
Mantan aparatur sipil negara (ASN) yang mengundurkan diri karena ingin mengembangkan bisnisnya itu menyadari ada informasi serangan fajar pada malam sebelum pencoblosan dari calon lain. Para pendukungnya juga menyampaikan informasi tersebut dan meminta Sumpena melakukan hal yang sama. Namun ia tidak tergiur meski kantong yang dia miliki cukup tebal. Sumpena sudah bertekad tidak akan memberikan uang, kecuali setelah proses pemungutan suara selesai.
Jor-joran
Berbeda dengan Sumpena, seorang mantan kepala desa di Bantul yang enggan disebut identitasnya lebih jor-joran dalam biaya kampanye. Ia mengaku menghabiskan lebih dari Rp275 juta saat pilkades pada 2004 silam. Dana terebut sebagian besar untuk menyogok pemilih pada detik-detik hari pencoblosan.
Uang tersebut belum termasuk biaya rapat-rapat, kunjungan ke warga, hingga membayar dukun yang turut membantu melancarkan proses pencalonannya hingga terpilih menjadi kepala desa. Ihwal dukun, meski ia setengah yakin untuk memercayainya, ia turuti mantra-mantranya sebagai bentuk penghargaan bagi paranormal yang sudah mau membantunya.
Tidak heran jika ada anggapan seorang calon harus memiliki modal tiga D, yakni duit, dukun, dan dukungan atau sukarelawan. Seorang calon, kata dia, harus memiliki fulus, meski pun tidak untuk menyuap pemilih. Duit mutlak diperlukan sebagai modal kampanye atau yang dia sebut sebagai ongkos politik.
“Kampanye juga butuh konsumsi dan transportasi.”
Ia juga terlibat dalam serangan fajar. Ini adalah istilah umum tentang bagi-bagi uang menjelang hari pemungutan suara, yang biasanya dilakukan pada pagi-pagi buta atau ketika hari masih gelap. Awalnya ia dan timnya menahan diri tidak menyebarkan uang pada malam menjelang pencoblosan. Namun, kandidat lain menyebarkan amplop sehingga dirinya mau tidak mau harus mengimbangi strategi lawan dengan melakukan hal serupa, membagikan uang kepada warga.
Kala itu, tiap orang ia jatah Rp25.000 yang diberikan melalui sukarelawan. Pria bertubuh gempal ini juga menempatkan orang-orang yang cukup berpengaruh di tiap dusun untuk mengamankan lumbung suara.
Duit ratusan juta rupiah yang dia keluarkan demi memenangi pilkades berasal dari tabungan pribadi, sumbangan dari orang tua, serta saweran dari para kolega di komunitas-komunitas yang dia ikuti. Sebagai bentuk terima kasih kepada para anggota tim suksesnya, ia memberikan proyek-proyek kegiatan yang ada di desa selama menjabat 10 tahun lamanya. Biaya besar yang dia gelontorkan tidak kembali.
Pendapatan yang diperoleh selama menjabat kepala desa hanya bagi hasil sewa tanah pelungguh seluas 2,7 hektare yang menjadi jatah kepala desa. Tanah pelungguh itu ia sewakan Rp10 juta per tahun. Selain itu ia mendapat tunjangan dari Pemerintah Kabupaten Bantul Rp300.000 per bulan.
Saat itu belum ada gaji pokok seperti sekarang. Meski merugi, dia puas karena baginya jabatan kepala desa merupakan jabatan yang cukup prestisius. “Tidak dapat untung, tidak balik modal, tetapi saya bangga pernah menjadi kepala desa.”
Menurut dia, praktik politik uang masih jamak terjadi di hampir setiap pilkades di Bantul. Ia bahkan membuat tim survei yang mengeluarkan analisis tentang praktik kotor yang terjadi hampir di 75% pilkades.
“Sulit untuk menghilangkan money politics karena tidak ada aturan yang tegas.”
Banyak kandidat yang menyiasati definisi politik uang. Ia berpendapat dalam aturan pemilu maupun pilkades, larangan memberikan uang berlaku saat kampanye, masa tenang, dan saat pencoblosan. Artinya, kata dia, ada celah untuk memberikan uang pada malam sebelum pemungutan suara.
Mahalnya ongkos menduduki kursi kepala desa juga diakui salah satu kepala desa yang saat ini masih menjabat. Kepala desa di wilayah Bantul selatan ini juga enggan disebutkan identitasnya. Ia mengaku menghabiskan Rp300 juta lebih saat kampanye pada 2016 lalu.
Uang tersebut untuk konsumsi, biaya saksi, bimbingan teknis, dan transportasi sukarelawan. Ia mengklaim tidak ada bagi-bagi duit ke pemilih. “Adanya biaya politik,” kata dia.
Meski tidak membagikan uang kepada pemilih, ia harus menyediakan ratusan parsel untuk para pendukungnya setiap Lebaran sebagai bentuk terima kasih.
Saat ditemui di kantornya sebelum Lebaran lalu, kepala desa ini tengah menyiapkan bingkisan. “Sukarelawan tidak mau menerima uang, makanya saya harus menyiapkan bingkisan setiap tahun,” ujar kepala desa yang sudah menjabat dua periode ini.
Ia meyakini modal politik yang dikeluarkan akan kembali. Ia sudah dikenal masyarakat dan itu bisa menjadi modal baginya untuk mengincar kedudukan politik lain, misalnya anggota DPRD. Selain itu, penghasilan tetap Rp2,5 juta per bulan, serta jatah tanah pelungguh seluas enam hektare baginya sudah cukup. Tanah pelungguh ia sewakan Rp8 juta per tahun per hektare.
Menghalangi Partisipasi
Mahalnya biaya menjadi kepala desa kadang menghalangi partisipasi. Apalagi, pilkades serentak tahun ini berdekatan dengan Pemilu Legislatif 2019 dan Pemilihan Presiden 2019. Selain itu, calon kepala desa diperbolehkan berasal dari luar desa, bahkan dari luar Bantul, sehingga kedekatan dengan masyarakat desa tak terlalu diutamakan.
Sejumlah kepala dusun di Bantul tidak tertarik untuk menjadi kontestan dalam pilkades serentak tahun ini karena penghasilan sebagai kepala desa tidak seberapa tetapi uang yang dikeluarkan sangat banyak. Pendapatan dalam satu kali masa jabatan selama enam tahun tidak akan menutupi modal kampanye yang sudah dikeluarkan.
Sulistiyo Atmojo, Ketua Paguyuban Kepala Dusun Bantul mengatakan sebagian masyarakat masih butuh pendidikan politik dalam memilih calon. Ia khawatir kepala desa di Bantul akan diisi orang-orang berduit tetapi miskin kepedulian kepada masyarakat.
Arie Sujito, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang aktif di lembaga pemberdayaan masyarakat desa punya pendapat lain. Menurut dia, politik uang di tingkat desa tak akan muncul manakala semua kandidat punya komitmen untuk bertarung secara adil.
“Kalau semua calon enggak pakai duit, rakyat tidak akan minta,” kata dia.
Politik uang biasanya dilakukan oleh kandidat kepala desa yang tidak mau bekerja keras mendekati warga.
“Politik uang merupakan musuh bersama dalam proses pemilu yang harus dicegah.”
Ia mendorong generasi muda di Bantul untuk memerangi politik uang dan ikut memajukan desa masing-masing dengan menjadi kepala desa tanpa harus menyiapkan uang dan menyogok pemilih.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement

Jembatan Kaca Tinjomoyo Resmi Dibuka, Ini Harga Tiketnya
Advertisement
Berita Populer
- Tinjau Translok Imogiri Bantul, Wamen Tranmigrasi: Mereka Nyaman dan Bahagia
- Apindo DIY Sebut Perlunya Bantuan Subsidi Upah hingga Akhir Tahun
- Mutasi Pejabat Kulonprogo, Kepala Dislautkan dan Dispertapa Tukar Guling
- Pilihan Lurah Serentak di Gunungkidul Digelar 2026
- Jembatan Pandansimo Akan Dibuka Penuh 10 Oktober 2025
Advertisement
Advertisement