Advertisement

10 Kasus Intoleransi Bertebaran di Jogja Sepanjang 2018

Yogi Anugrah
Jum'at, 21 Desember 2018 - 12:50 WIB
Bhekti Suryani
10 Kasus Intoleransi Bertebaran di Jogja Sepanjang 2018 Ilustrasi toleransi antar umat beragama. - JIBI

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN- Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) DIY mencatat ada 10 kasus intoleransi yang didominasi kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan di DIY pada 2018. 10 kasus ini terdiri dari enam kasus baru dan empat kasus lama yang belum selesai.

Koordinator ANBTI DIY Agnes Dwi Rusjiyati menjelaskan keempat kasus lama yang belum selesai tersebut adalah Pemkab Gunungkidul yang belum menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) bagi permohonan klasis GKJ Wonosari, meskipun mereka sudah menang di Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN), dan beberapa kasus penutupan tempat ibadah di Sleman beberapa tahun lalu yang belum selesai.

Advertisement

Untuk kasus baru pada 2018, ia menjelaskan dimulai sejak Januari saat pembubaran bakti sosial di Pringgolayan, Banguntapan, Bantul lalu penyerangan Gereja St Lidwina di Sleman.

Penyerangan atau penolakan acara sedekah laut di Pantai Baru, Bantul, penyerangan di Pengadilan Negeri Bantul terkait dengan kasus pameran Wiji Tukul, hingga kasus terbaru pemotongan salib nisan warga Katholik di Kotagede, Jogja.

"Kasus-kasus tersebut terjadi karena beberapa faktor," katanya kepada Harianjogja.com, Kamis, (20/12/2018).

Faktor tersebut adalah peran dari negara yang belum berfungsi secara penuh dalam memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan aturan hidup dalam keberagaman.

"Masih banyak kasus yang terjadi karena mayoritas yang merasa memilik hak untuk mengatur minoritas, hal ini terjadi karena kurangnya edukasi kepada masyarakat," ujarnya.

Kesadaran publik belum sepenuhnya baik, menurutnya, merupakan salah satu faktor terjadinya kasus tersebut. Harusnya kata dia masyarakat sipil terus mendorong negara untuk memberikan perhatian terhadap hal ini.

Masyarakat sipil, juga harusnya memperkuat masyarakat lain yang mengalami tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas.

Lalu ada faktor penegakan hukum yang belum berfungsi dengan baik. "Misalnya, adanya tekanan dari kelompok mayoritas yang akhirnya memengaruhi keputusan pengadilan," ujar Agnes.

Kendati demikian, ia mengatakan, kasus intoleransi di DIY sudah mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ia menjelaskan pada 2015, pihaknya menemukan 23 kasus, 2016 sebanyak 9 kasus, 2017 sebanyak 9 kasus dan 2018 sebanyak 10 kasus, namun empat kasus merupakan kasus dari 2017.

"Risetnya Setara Institute yang terakhir juga menempatkan Jogja berada di tengah, yaitu peringkat 41 dari 98 kota di Indonesia," ujarnya.

Hal tersebut, katanya, menunjukkan masih banyak pihak yang berusaha agar Jogja tidak masuk pada zona merah persoalan toleransi.

"Sebagai kota dengan keberagaman, butuh sinergi dari semua pihak agar Jogja tidak masuk dalam zona merah toleransi," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Patahan Pemicu Gempa Membentang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur, BRIN: Di Dekat Kota-Kota Besar

News
| Kamis, 28 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement