Advertisement
Jalan Terjal Memulangkan Kembali Manuskrip Kuna
Sri Sultan HB X dalam International Symposium on Javanese Studies and Manuscripts of Kraton Yogyakarta. - Harian Jogja/Gigih M. Hanafi
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Upaya mengembalikan khazanah literatur (manuskrip) kuna yang dilakukan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Waktu, energi, lobi hingga kesabaran dihabiskan banyak untuk menunggu kembali kekayaan budaya milik keraton tersebut.
Adalah Sri Sultan HB X yang bercerita betapa perjuangan mengembalikan manuskrip kuno dari belahan dunia tidak berjalan secara tegak lurus. Sultan harus menapaki jalan penuh kelokan untuk mencapai tujuan.
Advertisement
Selama hampir satu dekade, kegigihan untuk meminta kembali 'pusaka keraton' itu mulai terwujud. "Sebanyak 75 manuskrip akan dikembalikan meskipun dalam bentuk digital. Tidak asli tidak apa-apa, nanti bisa ditulis kembali, kan ada yang bentuk digital?" kata Sultan saat jumpa pers Internasional Symposium on Javanese Studies and Manuscripts of Keraton Yogyakarta di Hotel Royal Ambarukmo, Selasa (5/3).
Perjuangan tersebut, kata Sultan, dilakukan sejak era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden RI (2001-2004). Kala itu, ada kerja sama antara Pemerintah RI dengan Inggris. Melihat ada peluang di bidang pendidikan, Sultan mengusulkan adanya klausul pengembalian naskah-naskah kuno yang dibawa ke tanah Inggris. "Kesepakatan itu menjadi alasan saya mengirim surat ke British Library, menindaklanjuti salah satu perjanjian pemerintah Indonesia-Inggris menyangkut naskah," ujarnya.
BACA JUGA
Tak hanya melalui surat, prosesnya tidak mudah. Perlu waktu, bahkan Pemda DIY bolak-balik mengurusnya. Prosesnya saja setidaknya membutuhkan waktu sekitar lima tahun. Dan hal itu belum sepenuhnya membuahkan hasil. Pengalaman ini pun hanya negosiasi-negosiasi, bertemu melihat naskah mana yang dipilih dan lain sebagainya.
"Negosiasi, bertemu dengan duta besar, melihat naskah mana yang dipilih (untuk digitalisasi) butuh waktu lima tahun. Proses digitalisasi untuk 75 naskah saja butuh waktu satu tahun. Kalau enggak sabar ya sudah," katanya.
Menurut Sultan, naskah-naskah kuno milik kraton tidak hanya berada di British Library. Manuskrip tersebut juga tersebar di beberapa museum bahkan dikuasai oleh individu. Termasuk tersebar juga di Belanda. Dia menyebut ada ribuan manuskrip kraton yang dijarah ketika Inggris menduduki Keraton pada 1812. "Naskah pada masa Hamengku Buwono II menurut sejarawan Prof. Djoko Suryo ketika lebih dari 7.000 naskah yang dibawa ke Inggris," kata Sultan
Sayangnya, kata Sultan, Inggris belum mau menandatangani perjanjian internasional soal pengembalian naskah tersebut. Meski begitu, upaya yang selama ini dicapai menjadi awal yang baik. Momentum tersebut, katanya, harus bisa di isi oleh daerah lain. Pasalnya kekayaan daerah (provinsi) lain yang dibawa oleh Belanda dan Inggris untuk dikembalikan. "Perjanjian yang ada kerjasama kebudayaan dengan negara lain bisa melakukan seperti ini. Kami pun melakukan pendekatan. Dalam perjanjian internasional sepertinya Inggris belum mau tanda tangan. Kokean sing dibalekke [kebanyakan manuskrip yang dikembalikan]," kata Sultan.
Beruntung, kata Sultan, proses digitalisasi manuskrip kuno dibantu oleh yayasan di Belanda. Pasalnya, ada beberapa museum yang lain harus difotokopi (digitalisasi) dengan membayar satu lembarnya 8 poundsterling. "Itu kalau dirupiahkan Rp130.000 perlembar. Kalau lima libur lembar berapa? Yang begini bisa terjadi karena museum milik swasta sehingga perlu membayar saat ingin fotokopi," katanya.
Bagi Sultan, naskah kuna merupakan darah kehidupan sejarah yang dianggap sebagai representasi dari berbagai sumber lokal yang paling otoritatif dan otentik dalam memberikan informasi dan tafsir sejarah pada masa tertentu. Naskah kuna merupakan warisan budaya bangsa, yang kandungan isinya mencerminkan beragam pemikiran, pengetahuan, adat-istiadat dan perilaku masyarakat masa lalu. "Ditemukannya naskah kuna membuktikan bahwa sejak lama bangsa Indonesia sudah memiliki budaya literasi yang kini dikaji melalui pendekatan filologi. Ada pun filologi sendiri adalah ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa yang bisa diketahui melalui penelitian untuk menafsir hakikat suatu tulisan," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Soeharto Dinilai Memenuhi Syarat Diusulkan Pahlawan Nasional
Advertisement
Desa Wisata Adat Osing Kemiren Banyuwangi Masuk Jaringan Terbaik Dunia
Advertisement
Berita Populer
- Jadwal KRL Jogja Solo Hari Ini, Minggu 26 Oktober 2025
- Prakiraan Cuaca di Jogja Hari Ini, Minggu 26 Oktober 2025
- Bayi Perempuan Ditemukan Dalam Kotak Styrofoam di Prambanan Sleman
- Pemkab Bantul Siapkan Pemulihan Pasar Seni Gabusan Pascakebakaran
- Berpolitik dengan Hati, Partai PADI Resmi Serahkan Mandat DPP DIY
Advertisement
Advertisement



