Advertisement

Mak Keti, "Rektor Universitas Merapi" Rela Tinggal Sendiri di Bekas Dusun yang Disapu Erupsi

Hery Setiawan (ST18)
Kamis, 16 Juli 2020 - 18:27 WIB
Budi Cahyana
Mak Keti, Mak Keti - Harian Jogja/Hery Setiawan

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN—Erupsi Merapi sepuluh tahun lalu meluluhlantahkan sejumlah perkampungan. Awan panas menyapu kehidupan yang pernah tumbuh di sana. Manusia, hewan ternak, pohon-pohon, dan rumah-rumah tumbang dan terkubur bersama material vulkanik.

Penduduk yang selamat terpaksa tempat tinggal. Mereka kemudian melanjutkan hidup di hunian tetap (huntap) yang dibangun oleh pemerintah. Hampir semuanya direlokasi ke sana. Kecuali, Mak Keti, 75, warga Dusun Pelemsari, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.

Advertisement

BACA JUGA: Gempa Vulkanik 2 Hari Beruntun di Merapi, BNPB Ingatkan Potensi Erupsi

Sebenarnya, Mak Keti sudah disediakan tempat tinggal baru di Huntap Karangkendal, Dusun Balong, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Namun, ia bersikeras tetap bertahan. Praktis, kini Mak Keti tinggal sendiri di bekas dusun yang sekarang sudah rimbun oleh pepohonan. Di sekelilingnya sudah tak ada lagi permukiman.

Lokasi rumahnya tak jauh dari Petilasan Mbah Marijan. Di halaman rumahnya terpasang sebuah papan kayu yang dihiasi dengan tulisan “Universitas Merapi”.

Minggu (12/7/2020), Mak Keti tengah bersantai bersama dua pemuda yang kerap mampir ke rumahnya. Senyumnya mengembang saat ditanya alasan tetap bertahan pasca erupsi Gunung Merapi 2010.

BACA JUGA: Begini Skenario Pengungsian yang Diusulkan Saat Pandemi Apabila Kondisi Merapi Memburuk

Hla kalau di huntap itu bingung mau ngapa-ngapain, Mas. Namanya juga orang tua, penginnya tetep kerja biar sehat terus,” tuturnya dalam Bahasa Jawa halus.

Berkali-kali pemerintah desa setempat dan keluarga mengajaknya turun dan pindah ke huntap. Namun, Mak Keti bergeming. Ia mengaku tak tahan bila harus tinggal di huntap yang menurutnya terlalu sempit.

Sempat Mak Keti memutuskan tinggal di huntap. Tetapi Mak Keti merasakan ada semangat yang hilang dari dirinya. Mak Keti rindu mencari rumput dan memberi pakan ternak. Selang tiga hari, ia minta diantarkan kembali ke rumahnya.

BACA JUGA: Rabu Petang, Warga Dukun Magelang Mendengar Gemuruh dari Merapi

Ketetapan hati Mak Keti sebenarnya sudah tampak sejak lama. Lima bulan setelah erupsi, seorang diri ia bangun rumahnya yang telah menjadi puing. Waktu itu hanya tersisa sebongkah beton yang masih berdiri kokoh. Lalu ia bentangkan terpal dan selembar alas tidur. Jadilah hunian darurat, tempat ia tinggal sementara dan memulai hidupnya seperti semula. Saat ini rumah Mak Keti sudah lebih baik dari sebelumnya. Kendati tidak dicat dan dipasang ubin, tapi rumahnya cukup nyaman untuk ditinggali. Dinding beton dan atap yang terpasang setidaknya mampu melindungi Mak Keti dari panas serta hujan.

Mak Keti adalah sapaannya akrabnya. Ia mengaku punya dua nama: Siyami dan Sudi Wiyono. Mak Keti juga punya empat anak. Seorang di antara mereka adalah sukarelawan yang menjadi korban saat awan panas menerjang dan menewaskan sedikitnya 353 orang pada Selasa, 10 Oktober 2010 silam.

“Enggak takut.” Begitu jawabannya letika ditanya rasanya tinggal sendiri.

BACA JUGA: Cerita Kristiyanto, Warga Sleman yang 52 Hari Berjuang Melawan Covid-19 & Jalan Kaki ke Rumah Begitu Sembuh

Saat siang hari, Mak Keti tetap dikunjungi oleh anaknya. Beberapa tamu juga kerap menyambangi rumahnya. Namun begitu tiba malam, Mak Keti sendirian di rumah. Ia tak gentar karena memang sudah terbiasa tinggal di tempat itu. Toh, selama masih punya kegiatan yang menyehatkan, sama sekali ia tak merasa kesepian.

Apalagi, ia kini punya sumber hiburan anyar. Sebuah televisi terpajang di ruang tengah. Jelang sore, Mak Keti pasti sudah duduk di hadapan layar kaca. Seperti kebanyakan orang sepuh, sinetron menjadi tayangan favoritnya. Saat mengakui itu, tawa Mak Keti langsung pecah.

BACA JUGA: Takut Gunung Merapi Meletus, Alasan PSSI Coret Mandala Krida Jadi Venue Piala Dunia U-20 2021

Gunung Merapi bagi Mak Keti tidak pernah ingkar janji. Ia percaya selama yakin dan prihatin, dirinya akan terus diiringi keselamatan. Sekali pun ada gemuruh maupun asap yang mengepul dari puncak, Mak Keti tak buru-buru menganggapnya sebagai bahaya.

Seperti yang sempat terjadi pada Minggu (21/6/2020) bulan lalu saat Gunung Merapi erupsi. Angin membawa asap ke arah utara. Tercatat, delapan dusun kecamatan di Kabupaten Magelang diguyur hujan abu.

Waktu itu Mak Keti dan beberapa warga lain sedang mencari rumput. Begitu melihat asap dan mendengar suara gemuruh, Mak Keti tak langsung takut kemudian lari. Ia kemudian melihat arah angin yang ternyata menjauhkan asap dari tempatnya berdiri.

“Nah asapnya itu enggak ke selatan, hla saya ya biasa saja. Tapi ada juga yang langsung pergi ninggalin rumputnya,” katanya.

BACA JUGA: Sekolah Tanpa Pagar, Seragam, & Pelajaran Agama

Kendati begitu, Mak Keti sadar ada kalanya ia harus turun. Selain karena ada acara, ia akan turun apabila mendapat pesan dari sosok yang dia yakini sebagai Kiai Sapu Jagat, penjaga Merapi. Katanya, bila ia mendapat dawuh yang mengatakan akan ada bahaya, Mak Keti pasti memilih turun dan mencari tempat aman.

Mak Keti bahkan percaya Kiai Sapu Sagat turut melindungi wilayah lereng Merapi dari pandemi Covid–19. “Nah kalau virus itu jenengan tau siapa yang jagain sini? Merapi,” ujarnya.

Selain sabar dan sederhana, Mak Keti juga dikenal sebagai sosok yang supel. Hal itu membuatnya bisa akrab dengan siapa saja. Terutama para pendaki gunung yang kerap mampir dan menginap di rumahnya.

Salah satunya adalah Fakhry Ainur Rahman. Ia mengaku sudah lama tak mendaki Gunung Merapi. Namun, setiap kali ke Merapi, tak lupa ia sempatkan waktunya untuk mengunjungi Mak Keti.

Fakhry, sapaannya, mengatakan perkenalan dengan Mak Keti terjadi sejak dirinya masih SMA. Kala itu, ia aktif sebagai anggota organisasi pencinta alam. Perjumpaannya waktu itu tak begitu lama. Hanya beberapa hari sebelum akhirnya kembali ke sekolah.

BACA JUGA: Kodir, Pemancing yang Viral karena Sendirian Menyelamatkan Puluhan Siswa SMPN 1 Turi

Sekitar 2017 atau dua tahun selepas perjumpaan pertama, ia kembali berkegiatan di Gunung Merapi. Kebetulan basecamp-nya tak jauh dari rumah Mak Keti. Ia pun kembali berjumpa lagi dengan Mak Keti. Satu hal yang bikin Fakhry heran adalah Mak Keti begitu akrab sekali mengenalnya. Seolah seperti baru berpisah dalam waktu yang singkat. “Itu yang bikin saya speechless. Padahal sudah lama enggak ketemu,” katanya.

Menurutnya, insiden erupsi Merapi 2010 yang merenggut nyawa anaknya membuat Mak Keti seperti tak bisa lepas dari rumah. Mak Keti seperti sangat merindukan sosok anak. Tidak heran, kala dikunjungi oleh anak muda, Mak Keti tampak begitu bahagia. Sebaliknya, Mak Keti sudah dianggap sebagai panutan, terutama bagi kawan-kawan yang kerap berkegiatan di alam bebas.

“Mak Keti bisa dibilang sebagai sosok Ibu. Bahkan, seniorku pernah bilang kalau Mak Keti itu rektornya Universitas Merapi,” kata pemuda yang pernah menjadi Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Madawirna Universitas Negeri Yogyakarta itu.

Fakhry juga mengatakan bahwa Mak Keti memang tak bisa lepas dari rumahnya saat ini. Kendati hanya berjarak 5 km dari puncak Merapi, Mak Keti selalu merasa aman dan nyaman tinggal di sana. Keduanya seperti punya ikatan yang kuat. Bila dipisahkan, satu atau keduanya pasti saling merindukan. Mak Keti sendirinya, katanya sempat sakit-sakitan saat dirinya menetap di huntap untuk sementara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

TWC Targetkan Wisatawan Candi Borobudur & Prambanan Naik 37% Saat Libur Lebaran

News
| Jum'at, 29 Maret 2024, 19:37 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement