Advertisement
Difabel Masih Terkendala Akses Fasilitas Umum

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA — Kelompok masyarakat penyandang disabilitas (difabel) kerap kali terkendala saat mengakses fasilitas umum (fasum). Hal itu menjadi bukti belum sempurnanya implementasi Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Pendiri Difabike dan juga aktivis difabel, Triyono, 38, mengungkapkan sejumlah fasum belum sepenuhnya inklusif. Sebagai contoh, sejumlah tangga pada halte bus berbahan besi yang masih sulit diakses oleh masyarakat difabel. Seharusnya semua fasum menyajikan akses yang setara, tak pandang kondisi fisik maupun mental penggunanya.
Advertisement
Hal itu, kata Triyono, sebenernya sudah tertuang dalam regulasi. Salah satunya dapat diwujudkan dengan penambahan karet pada tangga di halte bus. Namun, pandangan Triyono menyebut, pemerintah belum sepenuhnya memperhatikan kondisi itu. Sebaliknya, pembangunan fasum justru lebih banyak ditujukan kepada masyarakat non-difabel yang secara kuantitas dapat dianggap sebagai kelompok mayoritas.
Selain itu, Triyono juga mengeluhkan masih kuatnya pemahaman bahwa difabel tak dapat hidup sebagaimana non-difabel. Padahal, masyarakat difabel punya kemampuan dan potensi sendiri. Mereka punya kapasitas untuk bisa hidup layak seperti mayoritas masyarakat. Beberapa di antaranya, bahkan telah membuktikan, difabel bukanlah penghalang untuk dapat mencapai kesuksesan.
“Negara hadir di perut mereka [masyarakat difabel] itu mungkin gak lebih dari 10%,” ujar Triyono saat ditemui Harian Jogja usai acara peringatan Hari Disabilitas Internasional di kantor Difabike, Kamis, (3/12/2020).
“Difabel jadi kurang berkembang karena status di masyarakat. Statusnya dianggap sebagai kelompok masyarakat yang punya masalah sosial. Saya saja yang punya uang dianggap miskin dan tidak mampu. Akhirnya saya sulit ke mana-mana," lanjut dia.
Maka demikian, bersamaan dengan edukasi kepada masyarakat, kelompok difabel juga harus dipenuhi hak pendidikannya. Paling tidak, kata Triyono, seorang difabel memiliki pengetahuan dan menjaring relasi sebagai modal untuk hidup mandiri.
Terpisah, Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana tak menampik bahwa implementasi Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 belum optimal. Secara teknis, penyertaan fasum yang ramah difabel sebenarnya tak membutuhkan anggaran besar, bahkan dapat pula menjadi gratis. Pendek kata, upaya pembangunan fasum yang inklusif sangat mungkin bisa diupayakan.
“Perda tersebut memang belum sepenuhnya terimplementasi karena masih minimnya kesadaran di tingkat perangkat daerah hingga desa,” kata pria yang kerap disapa Huda itu kepada Harian Jogja, Kamis, (3/12/2020). Maka diperlukan semacam panduan teknis untuk dapat menerapkan Perda itu secara lebih komprehensif.
Huda juga mencatat, Perda itu juga belum menyasar masyarakat pengidap cerebral palsy atau kondisi kelainan sistem gerak tubuh, otot dan postur yang disebabkan karena hambatan perkembangan otak. Akibatnya, kata Huda, mereka mengalami kesulitan mobilitas ketika mengakses fasilitas publik, terutama instansi pendidikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Danantara Bidik Industri Media dan Hiburan untuk Tambah Penerimaan Negara
Advertisement

Kampung Wisata Bisa Jadi Referensi Kunjungan Saat Liburan Sekolah
Advertisement
Berita Populer
- Bantul Targetkan Bangun 120 Kilometer Jalan Desa Setiap Tahun
- Gunungkidul Raup Rp214 Juta dalam 2 Hari Kunjungan Wisatawan, Destinasi Pantai Tetap Jadi Favorit
- Catat! Ini Jalur Trans Jogja, Melewati Tempat Wisata, Rumah Sakit dan Kampus
- Di Kulonprogo, Ditemukan Banyak Calon Penerima BSU Rekeningnya Tidak Aktif
- Top Ten News Harianjogja.com Senin 30 Juni 2025: Kunjungan Wisatawan, Impor Sapi hingga Muhammadiyah Bencana Buka Bank Syariah
Advertisement
Advertisement