Advertisement

Promo November

SAPDA DIY Minta Pelaku Pencabulan Anak Difabel Dihukum Berat

Triyo Handoko
Selasa, 20 September 2022 - 22:47 WIB
Arief Junianto
SAPDA DIY Minta Pelaku Pencabulan Anak Difabel Dihukum Berat Ilustrasi. - Reuters

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA — Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) DIY meminta penegak hukum untuk menghukum pelaku pencabulan anak difabel di Kemantren Tegalrejo, Jogja dihukum lebih berat. 

LSM yang fokus di isu pemberdayaan difabel tersebut juga meminta adanya restitusi atau pemberian ganti rugi untuk pemulihan korban yang dibebankan ke pelaku.

Advertisement

Direktur SAPDA DIY, Nurul Saadah Andriani menjelaskan hukuman berat untuk mencontohkan ke masyarakat bahwa perilaku kekerasan seksual pada anak difabel tidak dapat ditoleransi lagi.

“Sebagai contoh pada masyarakat, terutama pada pelaku-pelaku lain atau yang hendak melakukan kekerasan seksual pada anak difabel agar kapok dan tak mengulangi kejahatannya,” kata Nurul, Selasa (20/9/2022).

BACA JUGA: UPT PPA Jogja: Pelaku Pencabulan Anak Difabel Bisa Ditangkap meski Masih Penyelidikan

Penyandang difabel, jelas Nurul, lebih-lebih masih usia anak rentan mendapat kekerasan seksual oleh orang terdekatnya. “Karena mereka menganggap lebih berkuasa dan tak ada yang mau melaporkan kejahatannya jadi mereka berani bahkan terus mengulangi perbuatannya,” ujarnya.

Hukuman berat tersebut dapat dilakukan dengan menjerat pelaku dengan pasal berlapis. “Bisa di-juncto-kan dengan UU TPKS dan UU Disabilitas, selain UU Perlindungan Anak,” kata Nurul.

Sikap permisif masyarakat terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual pada anak, khususnya difabel juga jadi faktor terus langgengnya kejahatan tersebut.

“Jadi ini harus mendapat perhatian serius, jangan lagi permisif dengan, tindakan-tindakan memaksa mencium, menggendong, membelai anak-anak atas nama kasih sayang,” katanya.

Anggapan memperlakukan anak, khususnya difabel dengan kasih sayang tapi dilakukan dengan memaksa, jelas Nurul, harusnya tidak dinormalisasi.

“Karena meskipun masih anak-anak, mereka bisa memberikan kesepakatan jika memang mereka nyaman diperlakukan begitu, tapi kalau tidak jangan memaksa,” jelasnya.

Nurul juga menyesalkan penanganan dari kepolisian yang terkesan lamban dalam menangani kasus tersebut. Menurutnya, hal ini disebabkan karena saat ini kepolisian belum memiliki sistem yang baik dalam memberikan penanganan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh penyandang disabilitas.

“Mungkin juga dari segi SDM-nya, mereka tidak punya SDM yang cukup atau ahli untuk mengurus kasus yang menimpa anak-anak disabilitas,” kata Nurul.

Sistem layanan terhadap penyandang difabel korban kekerasan seksual, menurut Nurul, mesti mulai dibangun oleh lembaga kepolisian secara komprehensif. Sebab, penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak, terutama penyandang difabel, memang membutuhkan energi tambahan dan biaya yang cukup besar.

“Mulai dari dukungan dari segi skill, perspektif terhadap korban, hingga pembiayaan, karena bisa jadi perlu pembiayaan lebih dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak penyandang disabilitas karena menghadirkan berbagai saksi ahli,” ucap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Otak Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang Bakal Diringkus Polri

News
| Sabtu, 23 November 2024, 02:07 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement