Advertisement

Promo November

Kampung Ketandan, Berkelindannya Budaya Jawa dan Tionghoa di Jogja

Yosef Leon
Kamis, 13 Oktober 2022 - 17:37 WIB
Budi Cahyana
Kampung Ketandan, Berkelindannya Budaya Jawa dan Tionghoa di Jogja Pintu masuk ke Kampung Ketandan, Jogja, Kamis (13/10/2022). - Harian Jogja/Yosef Leon

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Kampung Ketandan di Malioboro termasuk kawasan penyangga di area Sumbu Filosofi menjadi bukti nyata perpaduan budaya Jogja dan Tionghoa yang melintasi zaman dan bertahan sampai sekarang. Kawasan Pecinan yang hampir sama kondangnya dengan Malioboro itu kini jadi pelengkap kekayaan kultur di Sumbu Filosofi. 

Penamaan Ketandan bermula dari penghuni kawasan tersebut pada era 1800-an. Dulunya kawasan itu dihuni oleh petugas pemungut pajak yang berpangkat Tondo. Mereka bertugas mengutip pajak dari sejumlah orang Tionghoa yang berdagang di kawasan tersebut. Dari sana asal muasal nama Ketandan bertahan sampai saat ini. 

Advertisement

"Berdirinya kampung Ketandan ini hampir berbarengan dengan Puro Pakualaman, usianya sekarang mungkin lebih dari 200 tahun," kata pemerhati budaya Tionghoa, Tjun Daka Prabawa, Kamis (13/10/2022). 

Menurut Tjun, Kampung Ketandan dulunya juga menjadi tempat tinggal Tan Jin Sing, seorang kapiten Tionghoa yang kemudian diberi amanah oleh Hamengku Buwono III sebagai Bupati Jogja dan berubah nama menjadi Raden Tumenggung Secodiningrat. Area Kampung Ketandan dulunya terbentang dari sebelah utara Beringharjo sampai ke perempatan Ketandan ke selatan sampai lokasi yang sekarang menjadi Ramayana. 

"Itu merupakan Ndalem Secodiningrat, termasuk rumah saya yang sekarang saya tempati itu merupakan bekas kandang kuda," kata Tjun. 

Seiring berjalannya waktu, perubahan wajah di kawasan Ketandan pun terjadi. Pada era 1900, tempat itu menjadi lokasi perdagangan bahan pokok dan komoditas jamu. Tjun menilai etnis Tionghoa yang mulai berjualan jamu di kawasan tersebut menjadi bukti perpaduan kultur Tionghoa dan Jawa yang sudah lama terjadi. Ini karena beberapa keturunan Tionghoa yang menempati area Ketandan menikah dengan orang Jawa. 

"Kemudian pada 1950 beralih ke toko emas, di era ini cukup banyak warga Ketandan asli yang hilang dan tinggal beberapa saja. Sekarang tinggal tiga keluarga saja," ungkapnya.

Kesulitan ekonomi menjadi penyebab warga Ketandan yang sempat menempati rumah di kawasan itu menjualnya ke orang lain. Dahulu kesadaran untuk menjaga keaslian bangunan dan arsitektur di Ketandan sangat sulit dipertahankan. Padahal kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Namun, perlahan-lahan dengan sosialisasi yang optimal, masyarakat mulai terbangun kesadarannya untuk menjaga dan merawat. 

"Tantangannya sekarang adalah mengajak generasi muda mengenal kekayaan budaya yang ditinggalkan. Apalagi ke depan rencananya kawasan ini jadi pusat wisata budaya Tionghoa di Jogja. Tentu perlu peran generasi muda agar semangat untuk menjaga bisa terus dilakukan," jelasnya. 

BACA JUGA: Kisah Pelestari Budaya di Sekitar Sumbu Filosofi Jogja

Kepala Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofis (BPKSF) Dwi Agung Hartanto menyebut sejak pertama kali dibangun sampai sekarang, Kampung Ketandan Jogja dikenal sebagai salah satu area penggerak ekonomi di wilayah Jogja. Selain itu kawasan itu juga masuk ke dalam area penyangga kawasan Sumbu Filosofi. 

"Kampung Ketandan Jogja masuk dan jadi zona penyangga The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmark dan keberadaannya sangat penting dalam perkembangan Jogja karena merupakan salah satu penggerak perekonomian di Jogja, sejak awal keberadaan sampai dengan sekarang," kata Agung. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Anies Baswedan Diprediksi Mampu Dongkrak Elektabilitas Pramono Anung-Rano Karno

News
| Kamis, 21 November 2024, 23:37 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement