Advertisement

Apakah Kemiskinan Berkarib dengan Kabahagiaan? Begini Gambaran Kesejahteraan Warga DIY

Sirojul Khafid & Sugeng Pranyoto
Sabtu, 28 Januari 2023 - 10:27 WIB
Budi Cahyana
Apakah Kemiskinan Berkarib dengan Kabahagiaan? Begini Gambaran Kesejahteraan Warga DIY Ilustrasi menabung dan kemiskinan - Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Angka kemiskinan di DIY paling tinggi di Pulau Jawa. Namun tingkat kebahagiaan masyarakat DIY tergolong tinggi di Indonesia, meski bukan yang tertinggi di Jawa. Apakah keduanya berhubungan? Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Sirojul Khafid.

Ini bukan yang pertama kalinya. Provinsi DIY tidak jarang masuk dalam peringkat teratas kemiskinan di Indonesia. Predikat ini setidaknya masih ada hingga September 2022. Badan Pusat Statistik (BPS) menempatkan DIY sebagai provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa. Kemiskinan di DIY mencapai 11,49%. Persentase ity di atas Jawa Tengah (10,98%) dan Jawa Timur (10,49%). Sementara rata-rata presentase kemiskinan nasional 9,57%. Secara nasional, DIY masuk posisi ke-12 sebagai wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi.

Advertisement

Statistisi Utama BPS DIY, Sentot Bangun Widoyono, mengatakan jumlah penduduk miskin di DIY pada September 2022 tercatat sebanyak 463.630 orang. Angka ini naik 8.900 orang dibandingkan Maret 2022. Dibandingkan dengan September 2021, warga miskin di DIY turun 10.900 orang.

BPS DIY juga mencatat ketimpangan angka kemiskinan di wilayah perkotaan dan pedesaan di DIY. Persentase penduduk miskin di perdesaan lebih banyak dibandingkan di perkotaan. Disparitas kemiskinan perkotaan dan perdesaan sebesar 3,36 persen.

"Masyarakat miskin di perkotaan 10,64 persen dan di pedesaan 14 persen. Ini juga menjadi poin seperti apa pemerintah di dalam mengentaskan kemiskinan," kata Sentot.

BACA JUGA: Kemiskinan DIY Tertinggi di Jawa, Sultan: Ukurannya Tidak Adil

Bank Indonesia punya cara pandang lain. Menurut Direktur Bank Indonesia Kantor Perwakilan Jogja, Budiharto Setyawan, kemiskinan di DIY merupakan dampak pola konsumsi masyarakat yang cenderung sederhana. Adapula faktor metode pengukuran yang belum sepenuhnya bisa menggambarkan paritas daya beli.

Dia mengatakan masyarakat DIY lebih senang menabung daripada berbelanja. Pendapat ini berdasarkan tingkat simpanan di bank yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan kredit alias utang. Sementara konsumsi menjadi salah satu indikator kekayaan atau kemiskinan pada perhitungan BPS.

"Sementara itu, kesenjangan pendapatan yang didekati dengan pengeluaran penduduk lokal dengan penduduk pendatang sangat tinggi. Kesenjangan pengeluaran ini didominasi oleh produk tersier," katanya.

Mayoritas penduduk yang berasal dari luar DIY membelanjakan uang, terutama pada produk makanan jadi, sewa rumah, maupun produk gaya hidup seperti perawatan kecantikan dan kesehatan. "Kesenjangan pengeluaran ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan di DIY menjadi tinggi," kata Budiharto.

Di luar relevansi perhitungan dari BPS, anggaplah kemiskinan di DIY tinggi. Keadaan ini biasanya ‘dihibur’ dengan predikat DIY sebagai wilayah yang tingkat kebahagiaannya juga tinggi. Istilah yang sering muncul, "Gapapa miskin yang penting bahagia." Tentu itu pernyataan yang masih sangat terbuka untuk didebat. Yang pasti, indikator kemiskinan dan kebahagian berbeda.

Dalam menghitung indeks kebahagiaan, beberapa variabel yang dihitung berupa Kepuasan Hidup (Life Satisfaction), Perasaan (Affect), dan Makna Hidup (Eudaimonia).

BACA JUGA: Jakal Nomor 1, Ini 10 Jalan Provinsi DIY Paling Padat

Pada akhir Juli 2022 lalu, BPS DIY menerbitkan survei mengenai indeks kebahagiaan warga di Bumi Mataram.  Berdasarkan survei 2021, DIY tidak lagi menjadi wilayah yang warganya paling bahagia di Pulau Jawa. Malahan, indeks kebahagiaan di DIY lebih rendah dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Indeks kebahagiaan di DIY tercatat 71,70 atau menempati urutan ketiga dari total enam provinsi di Jawa. Angka yang diraih DIY lebih rendah dibandingkan Jawa Tengah sebesar 71,73, dan Jawa Timur (72,08) sebagai provinsi yang warganya paling bahagia. Indeks kebahagiaan di DIY mencapai angka tertinggi pada 2014 dan 2017. Bahkan pada 2017, indeks kebahagiaan DIY mencapai 72,93.

Pengamat Ekonomi UKDW, Murti Lestari, mengatakan beberapa alasan penduduk DIY cenderung bahagia lantaran telah tercipta harmonisasi dan kerukunan. Secara langsung maupun tidak, itu berpengaruh pada kebahagiaan.

Murti menekankan apabila perhitungan tingkat kemiskinan dan kebahagiaan memiliki indikator yang berbeda, dan tidak selalu berhubungan. "Antara pengeluaran dan kebahagiaan berbeda terminologi. Orang bisa saja bahagia meskipun tidak punya uang, itu bisa berumur panjang. Jadi dimensi sosialnya lebih kental," katanya.

BACA JUGA: Kisah Warga Pasar Kepek Bantul Merawat Bocah yang Pergi dari Rumah Selama 25 Tahun karena Takut Disunat

Dari sisi konsumsi, Fadhilah Nur Amini, 28, tergolong biasa saja. Semasa sekolah dan kuliah dan uangnya masih sisa, tidak jarang dia membeli barang, makanan, atau hiburan untuk diri sendiri. Kadang kala menonton film di bioskop dan hiburan lainnya.

Kala bersekolah, persentase menabung baru sekitar 10-20 persen. Sementara saat sudah bekerja, komposisi tabungan bisa 50 persen dari pendapatan. Hal ini memungkinkan lantaran dia masih tinggal bersama orang tua. Biaya pokok masih ditanggung orang tua.

“Saat ini hiburan dan selfrewards tetap masih ada, biasanya uangnya buat naik gunung, ikut event, dan lainnya. Kadang makan mahal sebulan sekali, atau beberapa bulan sekali,” kata perempuan yang tinggal di Murtigading, Sanden, Bantul ini, Kamis (26/1/2023).

Pola konsumsi yang sama dialami Zulfikar Sarwo Aji. Semasa sekolah dan kuliah belum ada prioritas menabung di benaknya. Bahkan uang bulanan yang dia dapatkan seringkali ludes. Barulah saat bekerja persentase menabung mendapat perhatian, meskipun jumlahnya tidak tetap.

“Beda sama waktu sekolah, sekarang sudah jarang main ke Kota Jogja atau sekitarnya. Sudah jarang mencari hiburan,” kata pria 29 tahun yang tinggal di Gamplong, Sleman.

Zulfikar pernah berada dalam posisi punya banyak uang, cukup, atau sedikit. Sejauh pengalamannya, adanya uang cukup berdampak pada tingkat kebahagiaan. “Adanya uang bikin semakin bahagia, 80 persen uang berpengaruh pada kebahagiaan,” kata Zulfikar.

Begitu juga Fadhilah, dia berkata, “Secara pibadi, uang memengaruhi tingkat kebahagiaan. Enggak ada uang, enggak bisa ngapain-ngapain. Tapi di sisi lain, aku juga bisa melakukan hal-hal tanpa mengeluarkan uang, semisal ngumpul sama teman di rumah.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Konsumsi Sabu, Artis Rio Reifan Ditetapkan Tersangka

News
| Senin, 29 April 2024, 15:47 WIB

Advertisement

alt

Komitmen Bersama Menjaga dan Merawat Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Kamis, 25 April 2024, 22:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement