FKY di Kulonprogo Resmi Ditutup, Relasi Antarmanusia dengan Alam Jadi Poin Utama
Advertisement
Harianjogja.com, KULONPROGO—Pameran bertajuk Nget-Ngetan di Gedung Kesenian Wates (GKW) resmi ditutup pada Jumat (13/10/2023).
Pameran yang menjadi bagian dari rangkaian pagelaran Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) di Kabupaten Kulonprogo tersebut ditutup dengan penampilan kolaborasi tiga seniman tari yaitu Fitri Setyaningsih, Kinanti Sekar Rahina, dan Fredy Hendra lewat karya berjudul Dialog Horisontal.
Advertisement
Kurator Pameran, Karen Hardini, mengatakan pameran Nget-Ngetan yang telah digelar selama enam belas hari menjadi rangkaian terakhir FKY di Kulonprogo. Tajuk Nget-Ngetan merupakan terjemahan ketahanan pangan dengan lima aspek penyusun yaitu alam, sumber daya manusia, proses, hasil, dan distribusi.
"Pameran ini berangkat dari ketahanan pangan yang menjadi isu global yang kami coba kulik lagi dengan melihat perkembangan seni rupa dari perspektif kuliner. Bukan mempresentasikan kuliner itu sendiri tetapi metode di dalamnya," kata Karen ditemui di Gedung Kesenian Wates, Jumat (13/10/2023).
Karen mengaku pameran yang ditutup dengan penampilan tiga seniman tari tersebut menjadi penutup yang tepat. Pasalnya, konsep performance yang diusung berangkat dari semangat yang sama mengenai ketahanan pangan dan bentuk turunannya. Pangan juga memiliki kaitan dengan organ tubuh. Keterkaitan ini dapat dilihat dalam karya seni milik Wisnu Ajitama berjudul Lumbung Lambung di bagian fasad.
Lumbung merupakan bangunan penyimpan padi-padian yang telah dirontokkan. Mekanisme yang terjadi dalam lambung yaitu menyerap, mengolah, dan mendistribusikan apa yang disimpan dalam lumbung.
Menurut Karen, pameran tersebut tidak hanya menampilkan karya lukis tetapi juga karya yang sifatnya partisipatoris. Dengan begitu warga sekitar atau pengunjung dapat menjalin interaksi dengan karya tersebut. Akhirnya, karya seni tidak memiliki jarak dengan masyarakat.
Sampai hari terakhir, pameran Nget-Ngetan dihadiri hampir 3.000 pengunjung baik dari dalam maupun luar Kulonprogo. Menurut Karen, angka kunjungan tersebut dipandang cukup dengan situasi FKY digelar di Wates. "Kami tidak menggunakan perspektif kota yang ketika pameran digelar dapat dihadiri 1.000 orang per hari. Ketika kita mencoba membawa ke Wates, artinya audiens dan pengalaman orang sekitar berbeda," katanya.
Karen mengaku bangga karena pameran tersebut dihadiri warga sekitar. Bahkan orang tua atau simbah-simbah juga menyempatkan menengok pameran. Hal inilah yang menurut Karen penting. Pameran bukan merupakan ruang eksklusif.
BACA JUGA: Makna Kembul Mumbul di FKY 2023
Sementara itu, Fitri Setyaningsih, mengatakan performance yang mereka bawakan berangkat dari sumber daya alam (SDM) yang ada di Kulonprogo seperti ikan di laut selatan dan hasil pertanian palawija. Meski begitu, Fitri juga membawa makanan ringan atau snack ke panggung. Dia mencoba merespons snack tersebut dan menyeimbangkan dengan hasil alam.
"Antara hasil tanah, air, dan [makanan] kemasan yang dikemas oleh manusia sendiri itu kami seimbangkan. Jadi awalnya riset dulu seperti membaca lingkungan dengan keberadaan material. Kami tidak menari banget karena kami membuat instalasi performance dan kostum yang dirajut sendiri juga," kata Fitri.
Di lain pihak, Kinanti Sekar Rahina, mencoba melihat performance yang dia lakukan dari hasil akhirnya bahwa panitia FKY dan para seniman juga pihak lain dapat duduk bersama untuk makan. Hal ini menjadi implementasi judul utama FKY yaitu Kembul Mumbul.
Inti dari kembulan adalah rasa saling berbagi kenikmatan untuk mengucap syukur terhadap berbagai usaha dan berkat yang telah dirasakan dari peristiwa sehari-hari. "Kami jadi ingat kembali masa ketika masih kecil. Masing-masing orang punya kenangan tersendiri mengenai makan bersama dan duduk di tikar," kata Sekar.
Sedangkan Fredy Hendra membaca performance tersebut lebih kepada aktivitas rumah tangga seorang perempuan. Menurut dia, perempuan masih menjadi pihak yang memegang peran dominan dalam pekerjaan dapur. "Meski laki-laki juga berperan," kata Fredy.
Salah satu peserta pameran, Angga Sukma Permana, mengusung karya berjudul Alat Pembangun Peradaban. Judul dan bentuk visual karyanya berangkat dari pengalaman risetnya di Kawasan Cagar Budaya Eks Pengepul Nila Bulurejo. Di sana dia menemukan lumpang, talam, dan ani-ani yang kerap dipakai di sektor pertanian tradisional.
"Saya membuat lumpang dari tumpukan cangkul. Cangkul itu alat primer dalam pertanian. Lalu, kenapa saya membuat orang-orangan sawah, itu ibaratnya tubuh sosial petani," kata Angga.
Angga mengatakan, orang-orangan sawah merupakan representasi buruh tani. Buruh tani inilah yang kerap menjaga sawah dari gangguan seperti burung. Apabila buruh tani tidak menjaga sawah dengan baik, padi akan habis dimakan burung. "Saya melihat bahwa orang-orangan sawah ini yang telah menyelamatkan sektor pertanian," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Supriyani, Guru Honorer yang Dituduh Memukul Anak Polisi Divonis Bebas
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Pemkot jogja Optimalkan Lahan Sempit untuk Genjot Produksi Ikan Lele
- Pilkada 2024, Dua TPS di Gunungkidul Berada di Kawasan Rawan Bencana
- Srawung Kali Jadi Wujud Kepedulian Mahasiswa pada Kondisi Darurat Sampah
- Bawaslu Sleman Gelar Apel Siaga Jelang Masa Tenang dan Pemungutan Suara Pilkada
- Pilkada Kulonprogo, 8 TPS Rentan Intimidasi, 61 Terkendala Internet
Advertisement
Advertisement