Advertisement
Kasus Leptopspirosis di Gunungkidul Melonjak 2 Kali Lipat Sejak 2021

Advertisement
Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Dinas Kesehatan (Dinkes) Gunungkidul mencatat tren kenaikan kasus leptospirosis di Bumi Handayani sejak tahun 2021. Kenaikan tersebut tergolong drastis, dua kali lipat tiap tahunnya.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Gunungkidul, Sidiq Hery Sukoco mengatakan tahun 2021 ada sebanyak 17 kasus dengan empat kematian, lalu 2022 ada 34 kasus dengan lima kematian, dan 2023 ada 84 kasus dengan empat kematian.
Advertisement
Hery menjelaskan kenaikan kasus leptospirosis selama tiga tahun terakhir terjadi karena semakin baiknya upaya penemuan kasus awal sehingga pengobatan bisa dilakukan secara dini dan resiko kematian menjadi rendah. Selain itu, lingkungan dan perubahan iklim juga menjadi salah satu faktornya.
Dia mengaku musim tanam dan panen padi saat ini memunculkan kerawanan terkait leptospirosis. Per Selasa (20/2/2024) saja sudah 3 kasus dengan 0 kematian. Di Gunungkidul, lokus leptospirosis pernah terjadi di wilayah Puskesmas Nglipar II; Patuk I; Gedangsari I dan II; Semin I dan II; Saptosari, Paliyan, Playen I dan II, dan Ngawen II.
Lebih jauh, dia menerangkan apabila ada warga yang terkena leptospirosis maka Dinkes Gunungkidul akan memberikan pengobatan sesuai standar operasional prosedur (SOP) melalui dokter terlatih di tiap fasilitas layanan kesehatan.
Dinkes juga menyediakan reagen untuk deteksi dini kasus leptospirosis yang didistribusikan ke seluruh puskesmas dan rumah sakit. Tidak hanya itu, Dinkes membentuk puskesmas sentinel leptospirosis agar meningkatkan awareness tenaga kesehatan (nakes) terhadap diagnosis leptospirosis.
Terakhir, Dinkes juga melakukan survei vektor faktor resiko leptospirosis pada vektor dan lingkungan serta bekerja sama dengan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) untuk mengetahui cemaran bakteri leptospira.
Terkait dengan bantuan alat pelindung diri (APD) untuk petani, Dinkes mengaku belum ada bantuan APD. Meski begitu, Dinkes terus melakukan edukasi pencegahan pada orang dengan potensi resiko tinggi. Hery meminta juga agar petani ketika ke sawah menunggu matahari terbit untuk mengurangi kontak risiko bakteri Leptospira.
Petani juga perlu memperhatikan luka di tubuh yang dapat menjadi pintu masuk infeksi bakteri leptospira. Sebab itu, luka perlu ditutup dengan rapat dan tepat. “Sosialisasi edukasi yang telah, sedang, dan akan kami lakukan adalah penyuluhan langsung ke masyarakat melalui pertemuan posyandu [pos pelayanan terpadu]/posbindu [pos binaan terpadu], pertemuan kader, dan lainnya,” kata Hery dihubungi, Rabu (21/2/2024).
BACA JUGA: Musim Hujan, Kasus Leptospirosis Ditemukan di Jogja, Ini Lokasinya
Selain juga melalui media sosial dan cetak seperti flyer, Dinkes melakukan pencegahan dan penanganan leptospirosis melalui satuan tugas one health kapanewon yang telah dibentuk.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Gunungkidul, Rismiyadi mengatakan pihaknya telah memiliki agenda gerakan pengendalian tikus di beberapa lokasi di Gunungkidul sesuai kebutuhan. “Tahun ini ada lagi. Kami menyesuaikan dengan kondisi lapangan. Tapi secara regular atau periodik kelompok tani bersama petugas lapang rutin melakukan pengamatan terhadap liang tikus,” kata Rismiyadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Waspada Penipuan Bermodus Arisan, Korban Merugi hingga Rp5 Miliar
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Belasan Ribu Siswa di Gunungkidul Akan Mengikuti Tes Pengganti Ujian Nasional Tahun Ini
- Sekda Ingatkan Warga Hentikan Brandu, Pastikan Vaksin Cukupi Kebutuhan
- Antisipasi TPPO, Disnaker Sleman Minta Warga Tak Tergiur Gaji Besar Kerja di Luar Negeri dengan Kemudahan Persyaratan
- Sebelum Pasang Popok Kuda, Pemkot Jogja Tertibkan Dulu Parkir Andong di Malioboro
- Calon PPPK Guru di Sleman Meninggal Ditabrak Truk, Disdik Sleman Akan Beri Santunan
Advertisement