Advertisement

Promo November

Meneropong Pengelolaan Sampah di Lokasi Wisata Jogja

Triyo Handoko
Jum'at, 08 Maret 2024 - 00:12 WIB
Galih Eko Kurniawan
Meneropong Pengelolaan Sampah di Lokasi Wisata Jogja Petugas kebersihan menyapu sampah di kawasan Malioboro pada Minggu dini hari (29/10/2023). - Harian Jogja/Triyo Handoko

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Tidak semua tempat wisata di Jogja dikelola sampahnya.

Di ujung sisi utara Jalan Margo Utomo, Kota Jogja penuh dengan wisatawan, beberapa waktu lalu. Mereka berdiri di sekitar miniatur Sumbu Filosofi yang berada tepat di sisi tenggara Tugu Jogja. Sebagian tampak mengantre untuk menyeberang jalan menuju ke Tugu Jogja.

Advertisement

Selain di sekitar Tugu Jogja, para wisatawan dan warga Jogja juga suka mencari angin di sepajang Jalan Margo Utomo. Sayangnya, di sepanjang jalan satu arah dari Tugu Jogja hingga perlintasan kereta api di ujung utara Malioboro itu tidak tersedia banyak tempat sampah. Di sebelah timur laut miniatur Sumbu Filosofi, terdapat tiga tempat sampah dengan warna merah, kuning, dan hijau yang saling berdempetan.

Warna tempat sampah yang berbeda menandakan jenis sampah yang ditampung. Warna hijau untuk sampah organik, tetapi justru lebih banyak berisi sampah plastik. Begitu juga warna kuning untuk sampah anorganik, justru berisi aneka jenis sampah organik, terutama sampah makanan. Sedangkan warna merah untuk menampung sampah beracun, tetapi berisi bungkus rokok.

Eljoint Henri Situmorang tampak mondar-mandir di sekitar Tugu Jogja. Pria yang mengenakan kaus lengan panjang warna oren dengan tulisan UPT Malioboro pada bagian punggung itu adalah Koordinator Lapangan Kebersihan untuk wilayah Jalan Margo Utomo. Ia bersama delapan orang teman kerjanya sudah membersihkan Jalan Margo Utomo sepanjang hampir 1 kilometer itu sejak pukul 14.00 WIB.

“Ada dua tim untuk dua sif. Total ada 17 orang petugas kebersihan di Jalan Margo Utomo ini, semuanya memastikan agar tak ada sampah yang tercecer,” ungkapnya.

Berbekal sapu, kantong sampah, dan perlengkapan lain, para petugas kebersihan ini mengakut semua sampah di salah satu kawasan Sumbu Filosofi itu. Semua sampah yang terkumpul dimasukan ke dalam kantong sampah lalu diangkut ke kantor UPT Malioboro. 

“Semua hasil pembersihan ini, kami campur dulu, lalu setelah diangkut ke UPT Malioboro baru dilakukan pemilahan. Sampah organik dikelola dengan biopori di Teras Malioboro 2, sedangkan sampah anorganik masih dipilah berdasarkan jenisnya dan dirongsokan,” terangnya.

Setiap sif pembersihan sampah di Jalan Margo Utomo rata-rata bisa mengumpulkan 15 kantong sampah. Tetapi jika banyak wisatawan seperti saat liburan panjang, mereka bisa mengumpulkan hingga 25 kantong sampah. 

Di kawasan Malioboro yang jadi “jantung” wisata di Jogja, volume sampah dari wisatawan lebih banyak lagi. Di Malioboro, jumlah petugas kebersihan juga lebih banyak, total ada 30 orang yang dibagi dalam tiga sif. Sekali sif, petugas kebersihan bisa menumpulkan rata-rata 45 kantong sampah. 

Pagi itu, adzan subuh baru berkumandang saat Muhammad Fajar Nugroho sedang menyapu di kawasan Malioboro. Bersama sembilan rekan kerjanya, ia menyisir setiap sudut di kawasan itu untuk memastikan tidak ada sampah yang tertinggal. 

“Wah kalau di Malioboro itu 24 jam petugas kebersihannya, dari jam 04.00-11.00 itu sif pertama, sif kedua 12.00-19.00, masih disambung lagi shift berikutnya jam 20.00 - 02.00 WIB,” rincinya.

Fajar sudah bekerja sejak tiga tahun yang lalu. Tidak boleh ada tumpukan sampah di Malioboro seperti di ruas jalan lainnya di kawasan kota. 

“Harus diambil, entah nanti seperti apa mengelola atau membuangnya,” terangnya.

Berbeda dengan Jalan Margo Utomo yang nihil tempat sampah, di Malioboro ada tempat sampah tiap 10 meter yang berjejer rapi baik di sisi barat dan timur Malioboro. Menurut Fajar, jumlahnya ada sekira 120 unit yang selalu diganti jika ada yang rusak.

Tidak ada pembedaan untuk jenis sampahnya, semuanya berwarna krem. 

Pemilahan Sampah Malioboro

Tak jauh dari Stasiun Kereta Api Lempuyangan, terdapat bangunan seluas 500 meter persegi yang menjadi lokasi pengelolaan sampah asal kawasan Tugu Jogja hingga Alun-alun Utara. Tempat itu adalah Kantor Unit Pengelola Teknis (UPT) Malioboro yang bertanggung jawab memilah sampah dari kawasan utama pariwisata Jogja itu sejak Oktober 2022.

Bagian depan kantor berfungsi sebagai ruang administratif, sedangkan di bagian belakang ada gudang besar yang beralih fungsi jadi tempat pengelola sampah. Semula gudang itu untuk menyimpan alat-alat perlengkapan yang diubah menjadi tempat pengelolaan sampah sejak Oktober 2022. 

“Ada pemilahan, biopori, dan kolam lele untuk menghabiskan sampah organik,” kata Kepala UPT Malioboro, Ekwanto.

Ia menceritakan mulanya hanya pemilahan lalu berkembang hingga pembuatan sampah organik.  Yang anorganik dijual ke rekanan pengepul sedangkan sampah residu yang tidak terolah dikoordinasikan dengan DLH.

UPT Malioboro sudah melebarkan pengelolaan sampahnya hingga ke Teras Malioboro 2 dengan membuat empat biopori berkapasitas lima meter persegi tapi tak bisa diperluas lagi. Ekwanto mengatakan sejauh ini masih bisa menampung sampah yang ada tapi ke depan jika semakin banyak tentu perlu siasat lain.

Tak Dipilah 

Setiap malam, Alun-alun Selatan yang berada di belakang Keraton Yogyakarta itu seperti pasar malam. Ada odong-odong yang gemerlap dan beragam makanan yang disajikan para pedagang.

Pada Mei 2023 lalu saat Jogja mengahadapi darurat sampah karena Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan ditutup, muncul tumpukan sampah di Alun-alun Selatan. Seminggu tak terangkut, paguyuban pengelola Alun-alun Selatan kebingungan. Meski sudah ditutup terpal agar tak terlihat wisatawan, bau tak enak yang menguar tidak bisa disembunyikan. Akibatnya kunjungan wisatawan jadi menurun.

Atmo, 78, salah satu pedagang kaki lima di Alun-alun Selatan memutuskan tak berjualan saat itu. .

Atmo mengatakan sampah di Alun-alun Selatan tetap tidak dipilah. Ia sendiri hanya menghasilkan satu bungkus plastik yang berisi bungkus sachet kopi, sedangkan sampah jagung diambil orang buat pakan ternak. 

Pengurus Kampung Langenastran, Keraton, Supriyanto, 37, juga mengatakan hal sama. Alasannya, sulit karena keterbatasan petugas. Ada petugas kebersihan dari DLH yang tugasnya hanya menyapu.  Kalau lanjut pemilahan, harus bayar orang lain lagi sementara anggaran terbatas dan diprioritaskan untuk membayar jasa pengakutan.

“Yang terpenting itu terangkut kalau sekarang, kalau tidak diangkut sangat mengganggu sekali,” tegasnya.

Supriyanto mengatakan jika sampah tidak bisa diambil setiap hari maka Alun-alun Selatan jadi kotor dan bisa mengurangi jumlah wisatawan. Untuk menghindari risiko ini, paguyuban berinisiatif mencari pengangkutan mandiri dari swasta yang mengambil sampah tiap pagi sekitar pukul 03.00 WIB.

Kepala Bidang Persampahan DLH Jogja, Ahmad Haryoko mengatakan pihaknya mengaku sudah meminta untuk melakukan pemilahan sampah di Alun-alun Selatan.  “Dalam sosilisasi sudah dijelaskan untuk melakukan pemilahan, nanti akan kami koordinasikan lagi,” katanya.

Diberi Pelatihan

Lain lagi dengan kisah dari Kampung Wisata Kali Gajah Wong yang mengelola sampah secara mandiri. Tempat wisata yang menawarkan Bendungan Lapen dan Dermaga Cinta ini bahkan mengelola sampah, mulai dari proses pemilahan, pengelolaan, hingga penjualan hasil olahan sampah.

Tempat pengelolaan sampah yang berbentuk semi permanen dan terbuka di kampung wisata ini berdiri di pinggir Kali Gajah Wong. Akativitas pemilahan sampah hingga pembuatan pupuk organik dilakukan di tepat seluas 20 meter persegi. Persis di sampingnya, ada kebun yang dikelola Kampung Wisata Kali Gajah Wong. 

“Kami tanam berbagai sayuran dengan menggunakan pupuk dari kompos sampah organik,” kata Ketua Kampung Wisata Kali Gajah Wong, Suwarto sambil menunjuk lubang biopori yang digunakan untuk pengomposan.

Tempat pengolahan sampah lainnya menempati gedung sekolah dasar yang tidak dipakai lagi. Di sini, sampah organik digunakan untuk ternak maggot yang bisa dijual dan untuk pakan lele. Warga juga punya kolam lele yang dikelola bersama.

Suwarto bercerita sampah yang diolah tidak hanya dari para wisatawan tetapi juga yang hanyut melalui Kali Gajah Wong. Saat darurat sampah banyak sampah hanyut yang berasal dari Jogja utara yang mengganggu keindahan Kampung Wisata kali Gajah Wong. Setelah dipilah, sampah anorganik yang masih memiliki nilai jual akan ditabung ke Bank Sampah Kelurahan Giwangan. 

“Semua ini kami lakukan secara swadaya sejak 2019. Alhamdulilah sekarang mulai dilirik kampus-kampus, terakhir ada bantuan dari Universitas Sanata Dharma,” tuturnya.

Suwarto mengaku dari Dinas Pariwisata (Dispar) Jogja, pihaknya hanya menerima pelatihan yang sebelumnya sudah pernah mereka dapatkan dan sudah dipraktikkan, jadi tak banyak membantu. Sebenarnya ia berharap Dispar Jogja bisa memberikan fasilitasi lebih bagi tempat wisata yang dikunjungi lebih dari 6.000 wisatawan tiap bulan itu. 

“Kami harap ada fasilitasi berupa alat pengelola sampah yang lebih memadai agar bisa meningkatkan kapasitas kami,” ujarnya.

Sementara itu Kepala Dispar Jogja, Wahyu Hendratmoko mengatakan pihaknya sudah memberikan banyak fasilitas kepada pengelola wisata di wilayahnya. Antara lain fasilitasi pelatihan baik berupa manajerial sampai pengelolaan sampah dan tempat sampah yang bekerja sama dengan DLH.

“Sesuai arahan Penjabat Walikota, kami juga turut menindaklanjuti Gerakan Mbah Dirjo dengan bikin biopori di objek-objek wisata kami,” tandasnya.

Undang-undang- No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah disebutkan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pengelolaan sampah. Tanggung jawab itu lantaran pengelolaan sampah masuk dalam layanan publik yang wajib dipenuhi pemerintah daerah. Tak hanya itu, Peraturan Presiden No. 97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga dipertegas bawha pemerintah wajib memberikan sarana prasarana memedahi untuk pengelolaan sampah. 

Sementara itu, Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM menilai perlu ada manajemen bersama dan terpusat untuk mengelola sampah dari aktivitas pariwisata. "Tanpa manajemen dan standar yang sama maka penyelesaian masalah sampah tidak efektif," kata Kepala PSLH UGM, Purnomo Hadi.

Hadi tak mempermasalahkan dinas mana yang mengelola sampah di tiap tempat wisata Jogja. Mestinya setiap pihak (dinas) terlibat dan ada perlu manajemen bersama agar tercipta kepaduan dalam menyelesaikan masalah sampah di sektor pariwisata.

"Ini kan soal citra, misal ada satu saja tempat wisata yang gagal mengelola sampahnya, taruhannya seluruh wisata yang ada di Jogja, jangan sampai itu terjadi," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

KPK Sebut OTT di Bengkulu Terkait Pungutan Pendanaan Pilkada

News
| Minggu, 24 November 2024, 14:07 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement