Kantin Fakultas Teknik UGM Tanpa Sampah Plastik, Mahasiswa Diberi Tumbler
Advertisement
Harianjogja.com, SLEMAN—Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (FT UGM) menabuh genderang perang terhadap sampah plastik. Bagaimana caranya?
Kantin Smart Green Learning Center (SGLC) FT UGM, terlihat bersih. Di lokasi tersebut, komitmen kantin tanpa bungkus plastik dideklarasikan oleh warga kampus pada Juni lalu.
Advertisement
Ada empat poin dalam deklarasi ini. Pertama, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Kedua, membawa wadah makan atau tumbler untuk membeli pesanan takeaway. Ketiga, mendukung dan menggunakan produk ramah lingkungan. Keempat, meningkatkan kesadaran dan berpartisipasi aktif dalam mengurangi produk kemasan plastik sekali pakai. "Secara prinsip kami sangat peduli pada lingkungan dan warga Fakultas Teknik saat ini kan cukup banyak, ada 9.000 mahasiswa, dosennya ada 400, tenaga kependidikan ada [banyak]. Sekitar di atas 10.000 [total] warganya," kata Dekan Fakultas Teknik UGM, Prof. Selo pada Senin (25/11/2024).
"Sehingga kami melihat, pada saat melihat sampah yang dihasilkan Fakultas Teknik ini ternyata cukup besar sekali, saya lupa volumenya, tapi per bulan itu sekian ton, cukup banyak," ungkapnya.
Dengan semangat zero waste harapannya tak ada lagi sampah yang harus dibuang, melainkan bisa dikelola mandiri. "Jadi tidak boleh ada sampah yang keluar dari Fakultas Teknik, sehingga kebijakan-kebijakan kami bikin, termasuk pengurangan sampah plastik," ungkapnya.
"Jadi kebijakan kantin misalnya, kantin sudah tidak boleh lagi ada komponen plastik, jadi kalau dibungkus harus pakai bungkus [wadah] makanan yang dibawa oleh mahasiswa atau dosen," ungkapnya.
Tak hanya itu, rapat-rapat internal kampus juga dilarang menghasilkan sampah. "Kegiatan-kegiatan rapat yang biasanya juga menghasilkan paling tidak sampah karton, kotak, kardus itu juga sudah tidak boleh lagi. Jadi semua harus dikemas dalam bentuk kayak dulu itu pakai piring, pakai gelas," ungkapnya.
Gerakan itu membuahkan hasil. Kini, sampah terus berkurang. Untuk mendukung langkah ini, kampus bahkan membagikan ribuan tumbler kepada mahasiswa baru sejak dua tahun terakhir. "Jadi botol plastik air minum kemasan itu juga sudah tidak boleh, jadi semua harus isi ulang. Bahkan kami tiap tahun kami bagikan kepada mahasiswa 2.500 tumbler. Iya, untuk mahasiswa baru," jelasnya.
Sarana pendukung pun juga mulai dibangun. Puluhan water fountain yang menyediakan air siap minum dibangun di seluruh penjuru kampus. "Water fountain itu di tempat kami mungkin lebih kalau ada lebih dari 20. Karena di tiap departemen itu minimal ada 4-5 kali delapan departemen. Kemudian di kantor pusat itu ada mungkin 15-an jadi mungkin 50-an ada," ungkapnya.
BACA JUGA: Sindikat Penjual Bayi lewat Media Sosial Diringkus Polres Kulonprogo, Ini Modusnya
Beri Sanksi
Sanksi juga diterapkan kepada warga kampus yang melanggar. FT UGM punya prinsip Tegak SHE (safety health environment). Mahasiswa, dosen maupun tenaga kependidikan yang abai terhadap lingkungan dengan membuang sampah sembarangan akan mendapat tanda khusus dari kampus. "Siapa pun itu, mahasiswa, dosen, tendik, kemudian untuk mahasiswa itu akan kami munculkan di SKPI, [Surat Keterangan Pendamping Ijazah] bahwa mahasiswa ini abai terhadap lingkungan, itu muncul," ujarnya.
Karena sifatnya edukasi, catatan itu dengan mudah bisa dihapus dengan cara mahasiswa yang melanggar atau abai terhadap tiga hal tadi melakukan kampanye. "Jadi ikut aktif mengkampanyekan tentang orang harus peduli pada tiga hal itu, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan," ungkapnya.
FT UGM, kata Selo, juga membangun Tempat Pengolahan Sampah Reuse, Reduce, and Recycle (TPS3R) Grahakara Grafika. Mengusung slogan Kuping, akronim dari Kurangi dan Pilah Sampah untuk Lingkungan yang Lebih Baik Lagi, di tempat inilah sampah dari kampus teknik berakhir.
"Jadi kami di TPS3R itu punya timbangan IOT [Internet of things], jadi sampah yang datang dari unit departemen yang ada di Fakultas Teknik itu datang ke situ itu sudah dalam bentuk dipisah, dipilah, kemudian ditimbang. Nah timbangan itu misalnya sampah plastik, sampah makanan, sampah residu itu berapa kilo, kemudian sudah langsung masuk tercatat di basis data secara wireless," jelas Selo.
Data yang terekap dalam TPS3R selanjutnya jadi bahan evaluasi tiap departemen. Sampah-sampah yang sampai TPS3R selanjutnya dikelola sesuai fungsinya. Sampah plastik, telah dinantikan para pengepul untuk dimanfaatkan ulang. Sedangkan sampah organik, telah ditunggu ikan-ikan yang ada di kolam kampus. "[Sampah] yang berupa makanan tadi ada ke kolam, ke ikan nila, lele. Residu yang lain yang masih belum bisa diapapakan ya kami teruskan ke pembuang sampah akhir di PIAT punyanya UGM," ujarnya.
Berkat program tersebut, TPS3R Grahakara Grafika sering mendapat kunjungan dari beberapa mitra kampus hingga pelajar. Selain itu, sistem timbangan sampah IoT telah dilirik pemerintah. Jika benar diterapkan, pemerintah bisa tahu wilayah mana dengan sampah terbanyak dan daerah penyumbang sampah plastik atau sampah organik terbanyak. Dari sana, kebijakan yang tepat bisa diimplementasikan sesuai hasil pemetaan yang merujuk timbangan sampah IoT tadi.
"Harapan kami zero waste bisa terwujud, tentu kami akan terus berusaha keras untuk mewujudkan itu.”
Mahasiswa Beradaptasi
Salah satu penjaja kuliner di Kantin SGLC FT UGM, Rina, mengaku tak terganggu dengan aturan ini. Kini para pembeli membawa wadah makannya sendiri. Jika kepepet mau tidak mau mereka membeli dengan wadah plastik yang bisa dipakai ulang. "Benar-benar berkurang [plastiknya]," ujarnya.
Malahan kini ia tak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli plastik bening untuk bungkus siomay dan batagor. Sebelumnya dia bisa menghabiskan empat pak plastik bening isi 100 per pak setiap bulan. Pasalnya ada sejumlah pembeli yang suka menyantap makanan ini sambil digenggam sembari jalan. Saat ini jika pembeli meminta kresek untuk dibawa pulang, Rina hanya menyediakan paper bag dengan tambahan biaya Rp2.500 per buahnya.
Mahasiswa Fakultas Teknik UGM, Samuel Brian, menilai kebijakan ini sungguh bagus. Di lingkungan kampus, Samuel nyaris tak pernah melihat ada sampah yang berceceran. "Menurut saya bagus [kebijakannya]," ujarnya.
"Apalagi bawa tumbler dari rumah, jadi yang biasa botol beli dari luar itu jarang," ungkapnya.
Meski awalnya mengaku merasa kesusahan, kini Samuel telah lekat dengan gaya zero waste ini.
"Pasti awalnya susah, tapi kan namannya hal baik harus terbiasa gitu."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Belasan Terdakwa Pungli Rutan KPK Dituntut hingga Enam Tahun Penjara
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Mendag Sebut Satu SPBU yang Curang di Sleman Rugikan Masyarakat Rp1,4 Miliar
- Watsons Resmi Buka Toko Baru di Jogja City Mall
- Ada 160 Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Bantul, Sekda: Yang Tidak Tercatat Lebih Banyak
- Diduga Ngebut, Kawasaki Z250 Tabrak Motor dan Mobil Parkir, Pengendara Luka-luka
- Kunjungi Pasar Prawirotaman, Mendag Pastikan Harga Minyakita Turun Pekan Ini
Advertisement
Advertisement