Advertisement

Fakta-fakta Hilangnya Sawah di Negara Agraris dan Menurunnya Jumlah Petani

Sirojul Khafid
Sabtu, 18 Januari 2025 - 09:47 WIB
Sunartono
Fakta-fakta Hilangnya Sawah di Negara Agraris dan Menurunnya Jumlah Petani Wisatawan membajak sawah di Desa Wisata Candran, Bantul - Ist/Dinas Pariwisata Bantul

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat pergeseran fungsi lahan pertanian menjadi area perumahan dan permukiman terus meningkat setiap tahunnya. Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, mengatakan setidaknya ada sekitar 100.000 hektare hingga 150.000 hektare lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi area perumahan setiap tahunnya.

“Saat ini setiap tahun alih fungsi lahan dari sawah menjadi industri, maupun perumahan 100.000 sampai 150.000 hektare setiap tahun. Padahal Bapak Presiden [Prabowo Subianto] juga bilang [menargetkan] swasembada pangan,” katanya beberapa waktu lalu.

Advertisement

Nusron menyebut kementeriannya segera meneken regulasi untuk menangani permasalahan tersebut. Hal itu dilakukan guna tetap sejalan dengan target yang ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Dia menjelaskan, nantinya pemerintah bakal menetapkan sistem agregat cetak sawah apabila terdapat area sawah atau lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi perumahan ataupun kawasan industri.

“Nah, nanti alih sawah boleh. Tapi harus mengganti membuat sawah baru. Ya kan nanti ada hitung-hitungannya. Kalau sawahnya teknis, [harus buka] sekian kali. Kalau sawahnya lagi, sekian kali,” ujarnya.

BACA JUGA : Panen Bawang Merah di Bantul Bisa Mencapai 20 Ton Perhektare

Pemerintah berupaya merealisasikan target swasembada pangan, salah satunya dengan Kementerian Pertanian (Kementan) yang mengalokasikan anggaran senilai Rp23,61 triliun untuk mendukung swasembada beras untuk tahun anggaran 2025. Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, menjelaskan alokasi anggaran itu untuk menindaklanjuti arahan dari Presiden Prabowo Subianto yang meminta agar swasembada beras bisa dilakukan dalam waktu singkat. 

“Menindaklanjuti arahan Presiden RI, Bapak Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan dan memerintahkan Kementerian Pertanian agar swasembada pangan beras dapat diwujudkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, maka kami mengusulkan reprioritasi pemanfaatan anggaran 2025 sebagai berikut,” kata Amran.

Amran mengatakan nantinya kegiatan untuk mendukung swasembada beras senilai Rp23,61 triliun akan dilakukan untuk berbagai kegiatan. Adapun, pada 2025 Kementerian Pertanian menargetkan bakal menggarap cetak sawah seluas 225.000 hektare.

“Kegiatan oplah 851.000 hektare, cetak sawah 225.000 hektare, pompanisasi tadah hujan 500.000 hektare, potensi tanam Kementerian PU 300.000 hektare, padi gogo PATB 300.000 hektare,” katanya.

Jumlah Petani Menurun

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional /Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengungkapkan  jumlah petani di Indonesia terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Perencana Ahli Madya di Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas, Zulfriandi, menyampaikan terdapat sejumlah alasan mengapa semakin sedikit masyarakat yang menggeluti bidang pertanian.

Salah satunya, upah harian yang cukup rendah yakni sekitar Rp55.503 per hari. “Perbandingan untuk upah hariannya, memang pertanian itu paling bawah, makanya banyak alasan kenapa anak muda itu tergantikan untuk menggeluti bidang petani ini,” kata Zul, beberapa waktu lalu.

Alasan lainnya, tidak adanya pengembangan karier, penuh risiko, penghasilan yang rendah, tidak dihargai, hingga tidak menjanjikan. Berdasarkan data World Bank (Bank Dunia) yang dipaparkan Zul, proporsi tenaga kerja nasional untuk sektor pertanian dalam tren penurunan sejak 1976 dan berlanjut hingga 2019. Bank Dunia mencatat, proporsi tenaga kerja di sektor ini hanya sekitar 28,64% di 2019.

BACA JUGA : Sudah Mulai Panen, Harga Gabah Kulonprogo Turun

Proporsi tenaga kerja nasional untuk sektor jasa dan industri mengalami peningkatan. Sektor jasa misalnya, terus mengalami peningkatan yang signifikan bahkan proporsinya mencapai 48,91% di 2019. Demikian halnya sektor industri meski kenaikannya tak signifikan seperti sektor jasa. Bank Dunia melaporkan, proporsi tenaga kerja di sektor industri pada 2019 sebesar 22,45%. Secara teoritikal, Zul menyebut bahwa kontribusi sektor pertanian menurun seiring majunya suatu negara, sedangkan jasa dan industri akan semakin meningkat.

Kendati begitu, menurunnya jumlah petani tidak sejalan dengan kebutuhan pangan yang terus meningkat. Oleh karena itu, Zul menyebut bahwa perlu adanya intervensi dari pemerintah agar jumlah petani di Indonesia tidak semakin menurun.

“Kalau seandainya pemerintah tidak melakukan intervensi dalam hal ini, untuk petani muda ini, itu [jumlahnya] akan terjun bebas,” ungkapnya.

Adapun, salah satu intervensi dari pemerintah adalah mendorong regenerasi petani. Zul menyebut, negara dalam hal ini perlu menumbuhkan semangat generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian. Selain itu, pola pikir terhadap pertanian perlu diubah, tidak hanya sekedar penyambung hidup tetapi sebagai usaha yang menjanjikan. “Jadi ini adalah suatu peluang usaha, ini yang kita juga perlu tumbuhkan di mata anak muda,” katanya.

Tidak berhenti di situ, Zul menyebut bahwa pemanfaatan agrotech perlu dimasifkan untuk meningkatkan produktivitas, di tengah menurunnya jumlah petani di Tanah Air. “Karena memang nanti sasarannya anak-anak muda, kita harapkan akrab dengan teknologi, penggunaan IoT dan sebagainya. Ini adalah rencana pemerintah ke depan,” katanya.

Regenerasi Petani 

Pada tahun 2022, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) memberikan penghargaan kepada Indonesia atas pencapaian tersebut.

Menurut pengamat pertanian, agroklimatologi dan perubahan iklim, Bayu Dwi Apri Nugroho, pemberian penghargaan tersebut menjadikan tugas berat menanti petani-petani di Indonesia. Petani perlu mempertahankan bahkan meningkatkan prestasi tersebut di tengah berbagai permasalahan yang mengelilingi petani saat ini.

Beberapa permasalahan yang terlihat di antaranya menyangkut alih fungsi lahan yang sedemikian cepat, harga panen yang fluktuatif, perubahan iklim yang berakibat pada cuaca yang dinamis dan unpredictable, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain.

“Semua tentunya akan berpengaruh pada biaya produksi yang dikeluarkan petani. Tetapi dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi, ada satu masalah yang mungkin tidak hanya dialami Indonesia, namun juga hampir di seluruh dunia yaitu menyangkut soal regenerasi petani,” kata Bayu, yang juga dosen di UGM Jogja, Rabu (10/1/2025).

BACA JUGA : Kondisi Pertanian DIY Triwulan II 2024, Begini Ulasan Pakar

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah petani pada tahun 2019 mencapai 33,4 juta orang. Dari jumlah tersebut, petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya 8% atau setara dengan 2,7 juta orang, dan sekitar 30,4 juta orang atau 91% berusia di atas 40 tahun dengan mayoritas usia mendekati 50-60 tahun.

Kondisi ini diperparah dengan penurunan jumlah regenerasi petani muda. Dalam data yang sama periode 2017 ke 2018, penurunan jumlah petani muda mencapai 415.789 orang. Penurunan ini menjadi perhatian Presiden Jokowi dan meminta anak-anak muda terjun ke dunia pertanian.

Pentingnya regenerasi petani ini, menurut presiden, akan menjaga ketahanan pangan di Indonesia. Bahkan, dengan regenerasi petani maka pertanian dinilai bakal kembali berjaya karena dengan pola pikir maju di sektor pertanian oleh anak muda maka hasil-hasil pertanian dinilai akan sangat menjanjikan.

Terkait pola pikir maju, menurut Bayu, maka salah satu cara yang harus dilakukan untuk menarik minat anak-anak muda ke dunia pertanian adalah dengan pengenalan teknologi di bidang pertanian kepada anak-anak muda. Tidak hanya kepada anak-anak muda yang berasal dari anggota keluarga petani tetapi juga anak-anak muda yang notabene bukan dari keluarga petani.

Bahkan dalam pandangannya, jika perlu soal pertanian dan teknologi pertanian sudah diperkenalkan mulai tingkat sekolah dasar. Diharapkan dengan cara seperti ini image terkait pertanian konvensional dan tidak modern bisa dihilangkan.

“Sebagai contoh penggunaan drone, kalau selama ini penggunaan drone hanya digunakan untuk foto-foto atau mendokumentasikan suatu kegiatan. Kenyataan drone juga bisa digunakan untuk memantau kondisi tanaman bahkan bisa digunakan untuk penyemprotan pupuk, pestisida di lahan-lahan sawah,” katanya.

Belum lagi kehadiran aplikasi-aplikasi pertanian yang baru di smartphone. Hal ini menunjukkan melalui smartphone para generasi muda bisa dengan mudah memantau harga produk pertanian, chat atau saling berkomentar terkait pertanian hingga memantau kondisi lahan secara realtime.

Sehingga smartphone tidak hanya dipergunakan untuk media sosial whatsapp, instagram, facebook dan lain-lain, namun mampu menjadi bagian dari solusi. Tidak hanya sensor dan drone, menurut Bayu, fitur-fitur lain dalam aplikasi pertanian yang mendukung pertanian cerdas sangat diperlukan.

“Misalnya, chatbot dan voice command sebagai wahana komunikasi petani yang ingin bertanya tentang pertanian. Lalu, penggunaan robot untuk otomatisasi dalam penanaman dan pemanenan. Meskipun biaya untuk hal ini terlalu besar, tetapi ke depan pemanfaatan robot merupakan bagian dalam suatu pertanian cerdas,” kata Bayu.

Bayu meyakini pemanfaatan inovasi dan teknologi-teknologi di dunia pertanian sangat membantu menaikkan minat anak-anak muda ke dunia pertanian meskipun belum signifikan. Karenanya hal lain yang mungkin harus selalu dilakukan adalah mengenalkan pertanian termasuk pemanfaatan-pemanfaatan teknologinya sedini mungkin.

Ia berpandangan melalui pendidikan sebagai salah satu cara efektif yaitu dengan memasukkan materi pertanian dan teknologi pertanian ke dalam kurikulum atau materi pembelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Meski begitu cara ini masih mengharapkan support dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yaitu sebanyak mungkin bangunan agrotourism dan agroedutechnopark di daerah-daerah.

Pembangunan agrotourism dan agroedutechnopark memiliki manfaat yang besar. Selain sebagai taman rekreasi bagi masyarakat dapat juga dimanfaatkan untuk mengenalkan pertanian beserta teknologi di dalamnya. “Siswa-siswa SD, SMP dan SMA dijadwalkan untuk kunjungan ke agrotourism atau agroedutechnopark tersebut secara terprogram dan terjadwal,” katanya.

BACA JUGA : Kabar Gembira! Mulai Ada Panen, Harga Gabah di DIY Berangsur Turun

Dengan berkunjung di agrotourism atau agroedutechnopark masyarakat khususnya anak-anak muda menjadi paham dan mengerti persoalan pertanian dan berbagai teknologi yang dipergunakan. Hal ini penting untuk ditawarkan karena tidak sedikit dari masyarakat masih memiliki pandangan jika pertanian identik dengan petani tua, konvensional, kotor-kotor dan tidak menguntungkan.

“Saya kira dengan pengenalan pertanian dan teknologinya sedini mungkin di tingkat SD, SMP dan SMA, ada harapan di masa depan Indonesia bisa terbebas dari bayang-bayang impor. Bahkan, jika mungkin sebagai negara pengekspor pangan yang tentunya akan meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia,” kata Bayu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

11 Lokasi Lahan Disiapkan untuk Mendukung Dapur MBG

News
| Sabtu, 18 Januari 2025, 12:37 WIB

Advertisement

alt

Bali Masuk 20 Besar Destinasi Wisata Terbaik di Asia Tahun 2025

Wisata
| Selasa, 07 Januari 2025, 22:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement