Advertisement

Dosen Unisa Sebut Fenomena Rojali dan Rohana Dilatarbelakangi Beragam Faktor

Catur Dwi Janati
Rabu, 06 Agustus 2025 - 05:57 WIB
Jumali
Dosen Unisa Sebut Fenomena Rojali dan Rohana Dilatarbelakangi Beragam Faktor Ilustrasi. - ANTARA FOTO/Feny Selly

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN—Dosen Psikologi Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Jogjakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo memiliki pandangannya sendiri akan fenomena Rombongan Jarang Beli (Rojali) dan Rombongan Hanya Nanya (Rohana) yang ramai diperbincangkan belakangan.

BACA JUGA: Fenomena Rojali dan Rohana Terjadi Karena Distrubsi Digital

Advertisement

Nita mengatakan ada beberapa faktor yang melatarbelakangi fenomena Rojali dan Rohana. Kebutuhan sosial, aktualisasi, hingga pencitraan diri dinilai menjadi faktor yang melatarbelakangi fenomena ini.

Soal kebutuhan sosial, Nita mengatakan manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Sementara pusat perbelanjaan disebut Nita menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan ini.

Sementara pada faktor aktualisasi diri, Nita mengatakan ada beberapa orang yang mungkin mengunjungi pusat perbelanjaan untuk menunjukkan status sosial. Mereka lanjut Nita juga mungkin ingin merasa menjadi bagian dari kelompok tertentu.

"Ketiga pencitraan diri, sebagian orang mereka berpura-pura tertarik membeli suatu barang demi menciptakan kesan positif di mata orang lain. Kita kan ingin punya kesan positif dan merasa paling besok lagi orangnya sudah lupa atau gak ketemu," jelas Nita dalam rilis yang dibagikan Selasa (5/8/2025).

Nita menambahkan jika terkadang orang ingin memperoleh kesan positif dari orang lain, bahwa seseorang itu punya eksistensi untuk berbelanja meski hanya sekedar lihat dan nanya. "Toh lihat dan nanya hari ini, belum tentu tidak beli seterusnya," ujarnya.

Sementara di sisi lain, ada kalanya karena memang kemampuan ekonomi sedang terbatas, orang tersebut perlu saving money atau ingin membandingkan harga di beberapa tempat. Alhasil kata Nita terkadang ujungnya mereka tidak jadi membeli karena menyeleksi dan meras barang tersebut tidak penting atau tidak diperlukan.

"Daya beli kita itu akan menurun kalau saya mau beli sesuatu penuh dengan berbagai pertimbangan. Ini gak hanya berkesan negatif sebetulnya, tapi juga positif. Sebab saving money ini justru membuat kita lebih berhemat," ungkapnya.

Selain itu, fenomena ini kadang dilakukan karena sekadar mencari hiburan karena penat di rumah. Melakukan kontak sosial dan komunikasi bertemu orang lain dan menanyakan sesuatu disebut Nita mungkin menjadi satu healing tertentu bagi Rojali dan Rohana.

"Jadi sebenarnya bisa juga masuk sebagai satu hiburan bagi kita secara personal," ujarnya.

Nita berpandangan tren Rojali dan Rohana bisa memberikan beberapa pelajaran penting bagi masyarakat, khususnya terkait kematangan dalam bersosialisasi. Kematangan dalam bersosialisasi kata Nita bukan hanya soal perkembangan dan kepribadian orang saja. Akan tetapi matang dan dewasa dalam bersosialisasi juga diperlukan agar langgeng dan komunikasi dengan lainnya didasarkan dengan pemenuhan saling mengerti menerima dan menguntungkan.

"Beberapa hal yang bisa kita ambil sebagai manfaat atau pelajaran tren Rohana dan Rojali, pertama tentang konsumsi dan eksistensi. Fenomena ini menunjukkan bahwa konsumsi dan eksistensi tidak hanya tentang membeli barang, tetapi juga tentang bagaimana menunjukkan diri kita di depan orang lain," tandasnya.

Selain itu pelajaran dari fenomena ini disebut Nita juga menyenggol soal citra sosial. Citra sosial manusia tidak hanya terbentuk dari apa yang dimiliki, tetapi juga dari bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan menunjukkan diri di media sosial.

"Ketiga tentang empati dan pemahaman. Fenomena ini menunjukkan bahwa kita perlu lebih empati dan memahami makna sosial di balik perilaku orang lain, bukan hanya melihat dari sisi ejekan atau sindiran," imbuhnya.

Diakhir, Nita mengajak masyarakat melihat fenomena ini secara lebih bijak dan tidak semata dari sisi ejekan untuk mengikuti latah sosial dan egosentrisme saja. Nita bilang bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dan motivasi yang berbeda-beda, dan perlu lebih empati dan memahami satu sama lain.

"Sebab sebaik-baik umat adalah yang bisa merasakan kalau orang lain sakit. Ya kita memahami bahwa sakit ya dibeginikan, jadi jangan lakukan," ujarnya.

Selain itu Nita menyebut fenomena serupa di masa depan diyakini masih akan ada. Kemunculannya bisa dalam bentuk-bentuk baru. Ia memberi gambaran seperti virus, setelah ada penawarnya seperti vaksin, akan bermetamorfosa.

"Perilaku manusia juga demikian, berkembang dan berkembang sesuai zaman, terutama dengan perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen. Kita perlu terus memantau dan memahami perubahan-perubahan ini untuk dapat beradaptasi dan berkembang secara harmoni saja, biar tetap sehat mental," tukasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Unisayogya.ac.id

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja
8 Baliho Ilegal di Bantul Dibongkar

8 Baliho Ilegal di Bantul Dibongkar

Jogjapolitan | 8 hours ago

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

Hingga Juli 2025, Jumlah Penumpang Kereta Bandara Melonjak 30 Persen

Hingga Juli 2025, Jumlah Penumpang Kereta Bandara Melonjak 30 Persen

News
| Rabu, 06 Agustus 2025, 20:17 WIB

Advertisement

Wisata Sejarah dan Budaya di Jogja, Kunjungi Jantung Tradisi Jawa

Wisata Sejarah dan Budaya di Jogja, Kunjungi Jantung Tradisi Jawa

Wisata
| Sabtu, 02 Agustus 2025, 18:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement