Advertisement

91 Persen Difabel Belum Akses Internet, Inklusi Digital Kian Mendesak

Lugas Subarkah
Sabtu, 22 November 2025 - 09:07 WIB
Jumali
91 Persen Difabel Belum Akses Internet, Inklusi Digital Kian Mendesak Sejumlah narasumber termasuk difabel dan transpuan berdiskusi dalam Focus Group Discussion Inklusi Digital di Indonesia yang diselenggarakan oleh Combine Resource Institution (CRI), di Kampoeng Mataraman, Jumat (21/11/2025). - Harian Jogja/Lugas Subarkah

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Minimnya inklusi digital di Indonesia membuat 91% difabel belum dapat mengakses internet, sehingga kesulitan menggunakan layanan publik dan perbankan yang kini serbadigital.

Anggota Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab), Ajiwan, menjelaskan di kalangan difabel, saat ini baru sekitar 9% yang sudah bisa mengakses internet. Artinya, 91% sisanya ini belum terakses internet dan berpotensi tidak bisa mengakses layanan publik secara digital, termasuk berdagang atau mengakses perbankan.

Advertisement

“Namun, keprihatinannya adalah belum semuanya bisa aksesibel seperti itu,” ujarnya dalam Focus Group Discussion (FGD) Inklusi Digital di Indonesia yang diselenggarakan oleh Combine Resource Institution (CRI), di Kampoeng Mataraman, Jumat (21/11/2025).

Ajiwan memaparkan beberapa tantangan utama yang dihadapi difabel dalam mengakses dunia digital. Tantangan pertama adalah masalah koneksi dan infrastruktur, di mana koneksi internet di Indonesia masih sangat terbatas dan minimnya infrastruktur di desa membuat akses internet sulit dijangkau. Tantangan kedua adalah mahalnya perangkat digital.

“Jangankan soal membeli software aksesibel atau membeli perangkat adaptif yang mahal, membeli handphone saja bagi sebagian difabel yang tinggal di desa, mungkin ini sebuah kemewahan. Handphone hari ini yang paling dasar, misalkan harganya Rp1 juta, ini tentu masih menjadi tantangan,” paparnya.

Hambatan ketiga adalah masalah aksesibilitas platform, yang paling sering ditemui bagi difabel low vision. Sebagai contoh, tampilan platform yang latar belakangnya putih, sedangkan tulisannya berwarna biru muda. Kontras yang sangat kurang, ditambah dengan font yang kecil, sangat menyulitkan difabel low vision.

Selain itu, Ajiwan menambahkan, tantangan yang paling urgen adalah verifikasi akun digital. Banyak difabel mengalami kesulitan karena layanan publik dan perbankan kini mengharuskan verifikasi wajah. “Saya sendiri kesulitan di sebuah bank karena handphone saya ini tiba-tiba reset factory, saya harus registrasi ulang akun mobile banking saya. Ternyata tidak bisa masuk lagi karena saya harus memverifikasi wajah,” ungkapnya.

Verifikasi wajah juga diperlukan untuk mengakses berbagai layanan pemerintah seperti Identitas Kependudukan Digital (IKD), JKN Mobile, dan sebagainya. “Kemarin ke-logout, kemudian harus login lagi dengan menggunakan kode captcha. Saya yakin kalau misalkan saya sendiri tentu sangat kesulitan mengakses kode captcha tersebut,” tambarnya.

Sementara itu, Direktur CRI, Ferdhi Fachrudin Putra, menuturkan inklusi digital tidak hanya menyangkut akses terhadap internet dan perangkat digital, tetapi juga kemampuan untuk memahami, memanfaatkan, dan menciptakan nilai melalui teknologi.

Beberapa penelitian menunjukkan variabel seperti pendidikan, pendapatan, dan lokasi sangat memengaruhi peluang partisipasi digital. Misalnya, kelompok berpendidikan rendah, perempuan, dan masyarakat di daerah tertinggal tetap tertinggal dalam literasi dan pemanfaatan digital.

“Aspek yang tidak kalah penting dalam inklusi digital adalah kesetaraan gender. Selain memastikan akses yang setara, penciptaan teknologi digital juga harus memiliki sensitivitas terhadap keragaman gender,” ujar Ferdhi.

Kelompok penyandang disabilitas (difabel) menjadi salah satu kelompok yang paling rentan terhadap kesenjangan digital.

“Hambatan yang dihadapi bersifat multidimensional seperti keterbatasan akses terhadap perangkat adaptif, misalnya screen reader, alat bantu dengar, atau antarmuka alternatif, dan desain platform digital yang belum ramah aksesibilitas,” katanya.

Laporan dari berbagai organisasi masyarakat sipil menunjukkan bahwa banyak layanan publik digital, termasuk sektor pendidikan, kesehatan, dan administrasi pemerintahan, masih tidak sepenuhnya memenuhi standar aksesibilitas. Tanpa intervensi struktural, digitalisasi berisiko memperlebar ketimpangan bagi penyandang disabilitas di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

Gempa M 5,5 Guncang Bangladesh, 5 Tewas dan Ratusan Luka

Gempa M 5,5 Guncang Bangladesh, 5 Tewas dan Ratusan Luka

News
| Sabtu, 22 November 2025, 07:07 WIB

Advertisement

Bromo Tutup saat Wulan Kapitu, Ini Jadwal dan Aksesnya

Bromo Tutup saat Wulan Kapitu, Ini Jadwal dan Aksesnya

Wisata
| Selasa, 18 November 2025, 20:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement