Advertisement
Tak Sekadar Pakaian, Batik Bisa Jadi Alat Perlawanan

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Batik menjadi media seni Fitri DK untuk mengamplifikasi suara warga pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, dalam menghadapi rencana pembangunan pabrik semen dan menjaga ibu bumi tetap lestari. Fitri DK menggelar pameran terbarunya berjudul Nyawiji Ibu Bumi, di Cemeti Institute, Suryodinignratan, Mantrijeron, Kota Jogja.
Belasan petani perempuan dari Pati, Jawa Tengah atau yang kerap disebut Sedulur Kendeng mengenakan kebaya petani yang didominasi warna hitam memenuhi ruang depan Cemeti Institute sore itu, Kamis (7/8/2025) sore. Mereka membawa beberapa tampah berisi sayur dan buah hasil bumi seperti kacang panjang, pare, timun, pisang dan sebagainya. Ada pula beberapa kendi berisi air segar.
Advertisement
Uba rampe itu ditenteng masuk ke ruang pameran, secara perlahan sambil menyanyikan lagu tradisional yang kerap dinyanyikan petani di daerahnya. Di dalam mereka membentuk lingkaran dan membagikan air serta uba rampe lainnya kepada pengunjung.
Di ruang pameran tersebut disajikan sejumlah karya Fitri DK yang terdiri dari batik dan cukil kayu. Semua karya menggambarkan perjuangan warga Kendeng menghadapi rencana pembangunan pabrik semen.
BACA JUGA: Hasil Brentford vs Monchengladbach: Skor 2-2, Kevin Diks Main Penuh
Kain batik yang digunakan seluruhnya berwarna hitam, dengan garis-garis gambar didominasi warna putih disertai beberapa warna lainnya. Salah satu karya memperlihatkan seorang petani perempuan mengenakan caping sedang duduk di kursi dengan kaki dicor dalam kotak. Kotak tersebut bertuliskan ‘Tolak pabrik semen’ dan ‘Kendeng lestari’.
Awal perjumpaan Fitri dengan petani Kendeng dimulai sudah sejak 2009 silam. Waktu itu, Fitri yang tergabung dalam kelompok seniman Taring Padi mendengar adanya sembilan petani di Kendeng yang dikriminalisasi atas aksi penolakan pendirian pabrik Semen Gresik di Pati. Taring Padi merespon hal ini dengan membuat poster cukil kayu dukungan terhadap para petani.
“Saat itu petani menang dan pabrik Semen Gresik batal berdiri di Pati. Namun kemudian Semen Gresik berubah nama menjadi Semen Indonesia dan memindahkan rencana pendiriannya ke Rembang. Semenjak peristiwa itu, saya berusaha selalu menjalin komunikasi dengan sedulur Kendeng melalui Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng,” ujarnya di sela-sela pembukaan kegiatan Wicara Seniman pameran Nyawiji Ibu Bumi.
Di tahun-tahun berikutnya Fitri berupaya untuk mendokumentasikan kegiatan para petani Kendeng dalam karya-karya cukil kayu, batik, gerabah dan instalasi. Salah satunya yakni saat sembilan petani yang disebut Kartini Kendeng menggelar aksi cor kaki dengan semen di depan istana negara.
Selain saat aksi, Fitri juga mendokumentasikan berbagai kegiatan lainnya dalam karya seninya, seperti lamporan, kupatan, temon banyu beras, upacara rakyat dan lainnya. “Menurutku sangat penting untuk mendokumentasikannya sebagai uapaya edukasi, belajar bersama, membangun solidaritas dan membuka ruang dialog,” paparnya.
Ia menggunakan batik sebagai media seninya karena memang mencari media yang dekat dengan keseharian petani Kendeng. Para petani tersebut biasa menggunakan batik untuk kegiatan sehari- hari mulai dari upacara rakyat hingga ke sawah.
“Saya pikir yang dilakukan dulur Kendeng dengan membuat batik, keseharian juga pakai batik baik untuk seremonial maupun ke sawah sehari-hari, maka penting untuk membawa batik tidak hanya sebagai pakaian tapi juga alat perlawanan dan penyebaran informasi,” ungkapnya.
Maka ia membuat batik untuk menghadirkan kedekatan emosional dengan petani Kendeng. Sedangkan metode cukil kayu juga menjadi salah satu ciri khasnya dan kelompok Taring Padi karena sifatnya yang mudah digandakan. “Untuk dicetak dan diperbayak agar lebih banyak orang tahu, dan bersolidaritas,” kata dia.
Kemudian tema Nyawiji Ibu Bumi dipilih karena memiliki makna menyatukan diri dengan Ibu Bumi. Dengan semangat ini, maka apapun yang dikerjakan harus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup, tidak menyakiti dan merusak bumi.
“Kalimat ini awalnya saya baca dari salah satu tembang pangkur dulur Kendeng pada 2021, yang kemudian saya pakai sebagai judul salah satu karya batik. Kalimat ini masih saya simpan sampai sekarang sebagai semangat dalam laku kehidupan yang saya jalani,” kata dia.
BACA JUGA: Preview, Prediksi Dewa United vs Malut United yang Disiarkan Live Petang Ini
Direktur Cemeti Institute, Dito Yuwono, menuturkan melalui karya-karya Fitri, kita diajak melihat bahwa seni bisa menjadi resonansi perjuangan rakyat. Karyanya bukan hanya estetika, tapi bagian dari strategi gerakan, media untuk membuka percakapan, membangun empati dan membentuk jaringan solidaritas lintas wilayah.
“Nyawiji Ibu Bumi adalah ajakan untuk berhenti sejenak, mendengar cerita atas gunung yang dijaga, air yang dirawat, tanah yang dicintai, dari perempuan-perempuan yang memilih berdiri teguh untuk masa depan anak-cucu mereka. Sebuah pameran yang lahir dari persahabatan, keberanian dan cinta pada bumi,” katanya.
Bayang-bayang
Petani Kendeng, Gunarti, menceritakan kisah petani Kendeng dimulai pada 2006 silam, menghadang rencana pembangunan pabrik Semen Gresik yang berhasil dipukul mundur pada 2009. Terus menghadapi bayang-bayang pabrik semen, pabrik semen yang mengatasnamakan BUMN pun akhirnya didirikan di Rembang dan kini sudah beroperasi selama lima tahun.
“Untuk Pati memang sampai saat ini dulur-dulur masih bisa mempertahankan lahan yang terancam oleh Indocement. Tapi sampai sekarang perusahaan masih berniat untuk melanjutkan keinginannya mendirikan pabrik Indocement di Tambakromo, Pati,” terangnya.
Keberadaan pabrik semen dikhawatirkan semakin memperparah kerusakan alam yang saat ini sudah terjadi. Beberapa yang sudah terjadi yakni gundulnya hutan, kekurangan air saat musim kemarau, banjir berkepanjangan dan ada beberapa petani yang sampai tiga tahun tidak bisa menanam akibat lahannya masih banjir.
BACA JUGA: Jadwal Pemadaman Listrik Hari Ini: Sleman dan Kota Jogja Kena Giliran
Selain ancaman pabrik semen, petani juga menghadapi maraknya tambang illegal. Berdasarkan penelusuran, di Kecamatan Sukolilo dan Kayen terdapat 17 pertambangan galian C. sebanyak empat pertambangan berizin dan 13 sisanya illegal. “Tambang illegal itu sudah beroperasi bertahun-tahun dan baru April 2025 kemaren bisa kami hentikan,” ujarnya.
Petani Kendeng berupaya mempertahankan dan menjaga kelestarian bumi dengan cara menanam dan menghijaukan kembali pegunungan Kendeng. “Kita hanya bertuugas untuk menjaga, merawat, menanam, menggunakan secukupnya dan setelah itu memberikan tugas ke generasi berikutnya,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement

Satu Lagi Kuliner Legendaris di Jogja, Ayam Goreng Tojoyo Buka di Malioboro
Advertisement
Berita Populer
- Warga Plumbon Bantul Tak Tahu Ada Markas Judi Online di Lingkungannya
- Hingga Awal Agustus 58 Anak di Bantul Minta Dispensasi Nikah
- Anak 8 Tahun di Kulonprogo Diperkosa Bapak Angkat, Pelaku Membantah
- Badan Kesbangpol Jogja dan 20 Ormas Bakal Bersih-Bersih Malioboro
- Viral Penumpang Trans Jogja Diturunkan Sebelum Tujuan, Ini Kata Dishub DIY
Advertisement
Advertisement