Advertisement

Malioboro Tanpa Deru Mesin Lebih Hidup dan Rapi

Ariq Fajar Hidayat
Rabu, 08 Oktober 2025 - 09:47 WIB
Ujang Hasanudin
Malioboro Tanpa Deru Mesin Lebih Hidup dan Rapi Foto 1: Suasana Jalan Malioboro saat penerapan full pedestrian pada Selasa (7/10/2025). - Harian Jogja - Ariq Fajar HidayatFoto

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA - Jalan Malioboro yang biasanya riuh oleh suara klakson dan deru mesin, pada Selasa (7/10/2025) kawasan ini berubah wajah. Tidak ada kendaraan bermotor yang melintas. Tidak ada antrean kendaraan yang kerap mengular dari ujung utara hingga Titik Nol. Semua berganti dengan derap langkah kaki, suara tawa wisatawan, serta alunan musik jalanan yang mengalun bebas di udara.

Penerapan Malioboro full pedestrian selama 24 jam penuh ini merupakan momen spesial dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-269 Kota Jogja. Seluruh ruas jalan Malioboro hingga kawasan Titik Nol ditutup mulai pukul 00.00 hingga 24.00 WIB. Hanya beberapa kendaraan tertentu yang masih diizinkan melintas, seperti becak, andong, Trans Jogja, ambulans, dan mobil pemadam kebakaran.

Advertisement

Pemandangan ini kontras dengan perayaan tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, ulang tahun Jogja selalu dihiasi hingar-bingar Wayang Jogja Night Carnival (WJNC) yang megah. Namun tahun ini, suasana dibuat lebih tenang, memberi ruang bagi warga dan wisatawan untuk merasakan Malioboro tanpa gangguan kendaraan.

Pantauan Harianjogja.com sekitar pukul 15.00 hingga 17.00 WIB, kawasan Malioboro dipenuhi wisatawan yang memanfaatkan momen langka tersebut. Banyak yang berhenti di tengah jalan untuk berfoto, mengabadikan suasana unik yang jarang terjadi. Latar belakang gedung kolonial, lampu jalan khas Malioboro, dan trotoar rapi menjadi spot favorit untuk swafoto.

Iit Nurwidia, wisatawan asal Wonosobo, mengaku terkesan dengan pengalaman barunya. “Sebelumnya saya beberapa kali ke Malioboro, tapi sekarang benar-benar beda. Kalau biasanya ke Malioboro itu harus siap berdesakan dan suara kendaraan nggak pernah berhenti, sekarang benar-benar beda,” ujarnya saat ditemui di depan Malioboro Mall, Selasa (7/10/2025).

Ia bersama teman-temannya terlihat asyik berpose di tengah jalan. “Enak banget buat jalan bareng teman-teman, foto-foto, dan menikmati suasana kota. Ternyata suasananya jauh lebih nyaman dan adem. Jalan kaki jadi lebih santai, dan kita bisa menikmati setiap sudut tanpa terganggu lalu lintas,” lanjutnya.

Iit menilai kebijakan CFD ini sebagai langkah positif. “Menurut saya ini ide bagus dan harus lebih sering dilakukan. Malioboro terasa lebih hidup dan rapi, pedagangnya juga terlihat lebih tertata. Suasananya mirip kawasan wisata luar negeri yang ramah pejalan kaki,” ungkapnya.

Kesan serupa juga disampaikan Claire, wisatawan asal Prancis. Ia datang ke Malioboro beberapa hari sebelumnya saat kendaraan masih lalu-lalang. Kali ini, ia merasakan pengalaman yang benar-benar berbeda.

“Saya sangat terkesan melihat bagaimana Malioboro bisa berubah total saat tidak ada kendaraan. Suasananya terasa lebih hangat dan terbuka, seperti ruang publik besar yang bisa dinikmati semua orang,” ucap Claire.

Pertunjukan budaya memperingati Boyongan Kedaton di kawasan Titik Nol Jogja, Selasa (7/10/2025). - Harian Jogja/ Ariq Fajar Hidayat

Claire bercerita bahwa berjalan kaki di Malioboro tanpa deru mesin kendaraan adalah pengalaman luar biasa. “Saya bisa mendengar musik jalanan, suara orang tertawa, dan aroma makanan khas yang lebih terasa. Ini benar-benar berbeda. Menurut saya, konsep seperti ini sangat bagus untuk pariwisata,” katanya.

Di ujung selatan jalan, tepatnya di kawasan Simpang Titik Nol, suasana semakin semarak. Di tengah Jalan Margo Mulya yang masih steril dari kendaraan, digelar acara sederhana memperingati “Boyongan Kedaton”, peristiwa perpindahan pusat pemerintahan dari Ambarketawang ke lokasi Kraton Yogyakarta saat ini, yang terjadi pada 7 Oktober 1756.

Ketua Sekber Keistimewaan DIY, Widihasto Wasana Putra, menjelaskan bahwa momen boyongan ini memiliki makna sejarah yang kuat. Peristiwa perpindahan Kraton oleh Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I tersebut menjadi dasar penetapan tanggal lahir Kota Jogja.

Nilai perjuangan Mangkubumi sebagai pendiri Yogyakarta dipandang relevan untuk konteks masa kini, terutama dalam menjaga keutuhan bangsa, memperkuat demokrasi yang damai, dan menciptakan rasa aman di tengah masyarakat.

“Peristiwa itu mau kita maknai ulang situasi bangsa hari ini, nilai-nilai perjuangan Mangkubumi sebagai pendiri Yogyakarta coba kita hidupkan untuk konteks tuntutan zaman saat ini bagaimana kita menjaga keutuhan NKRI, bagaimana kita tetap membangun demokrasi dengan damai menghindari anarkisme,” jelas Widihasto.

Acara peringatan boyongan itu diwarnai penampilan kesenian yang beragam. Ada pertunjukan biola oleh anak-anak, tarian Madura, hadroh dari mahasiswa, hingga orasi dan doa lintas agama. Penonton yang memadati kawasan Titik Nol menyambutnya dengan antusias.

Puncak acara menampilkan Tari Lawung Jajar, tarian klasik Kraton Jogja ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Tarian ini menggambarkan para prajurit kerajaan yang sedang berlatih dan mempersiapkan diri berperang dengan tombak berujung tumpul atau lawung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

Indonesia Kembali Ekspor Ayam Hidup ke Singapura

Indonesia Kembali Ekspor Ayam Hidup ke Singapura

News
| Rabu, 08 Oktober 2025, 11:07 WIB

Advertisement

Jembatan Kaca Tinjomoyo Resmi Dibuka, Ini Harga Tiketnya

Jembatan Kaca Tinjomoyo Resmi Dibuka, Ini Harga Tiketnya

Wisata
| Minggu, 05 Oktober 2025, 20:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement