Advertisement
Petani Garam Tanggul Tirto di Bantul Bertahan dengan Proses Alami
Purnama saat memanen hasil garam di kawasan Pantai Tanggul Tirto. Kiki Luqman
Advertisement
Harianjogja.com, BANTUL—Terik matahari memantul dari hamparan pasir Pantai Tanggul Tirto ketika deretan tenda plastik UV berdiri rapi menaungi kolam-kolam penguapan. Di bawah salah satu tenda itu, Purnama, petani garam setempat, terlihat sabar menunggu endapan kristal putih mulai menebal di tunnel miliknya.
Ia paham benar bahwa proses tersebut bukan sekadar mengubah air laut menjadi garam, melainkan kerja panjang yang menuntut ketekunan. “Prosesnya lama, karena semua masih alami,” ujar Purnama, Kamis (13/11).
Advertisement
Purnama menjelaskan air laut lebih dulu ditampung sekitar sebulan sebelum dialirkan ke tunnel pertama selama dua pekan, lalu ke tunnel berikutnya dengan durasi sama hingga mencapai tunnel pengkristalan keenam. “Biasanya butuh sekitar dua bulan baru bisa panen garam,” katanya.
Seluruh tahapan dilakukan tanpa bahan kimia, menjaga kualitas garam tetap alami. Dengan dua tunnel pengkristalan yang ia miliki, hasil panennya bisa mencapai empat kental. “Satu tunnel dipakai sampai tiga kali proses pengeringan. Setiap pengeringan bisa makan waktu tiga minggu,” jelasnya.
BACA JUGA
Garam produksinya banyak diserap pasar lokal—mulai pedagang kecil, warung kelontong, hingga peternak. “Yang kualitas bagus saya jual Rp3.000 per kilo, yang di bawahnya sekitar Rp2.000 sampai Rp2.500,” ujarnya.
Ia menyebut garam di Tanggul Tirto umumnya dibagi tiga kualitas. “Yang paling bagus warnanya putih dan kristalnya besar-besar. Ada yang lebih lembut, tapi rasanya sama saja,” tuturnya.
Purnama mulai belajar membuat garam pada 2023 dari dua rekannya, Mas Iwan dari Kebumen dan Mas Ari dari Surabaya. “Mas Iwan yang ngajari cara bikin kolam dan proses kristalisasi. Mas Ari bantu modal awal. Katanya nanti kalau hasilnya banyak bisa dijual ke Surabaya,” katanya.
Untuk menjaga suhu tetap tinggi sekaligus melindungi dari debu atau daun kering, seluruh area pengeringan ditutup plastik UV. “Kalau pakai plastik UV, panasnya konstan, jadi prosesnya lebih cepat dan hasilnya lebih bersih,” ungkapnya.
Namun faktor alam tetap menjadi tantangan utama. Cuaca di pesisir selatan Bantul tidak selalu stabil. “Kadang panas, kadang mendung. Kalau panasnya kurang, prosesnya lama. Tapi dengan plastik, penguapan bisa lebih stabil,” jelasnya.
Air laut yang digunakan berasal dari sumur buatan di sekitar tambak, disedot menggunakan pompa dan dialirkan ke kolam penampungan sebelum masuk tahap penguapan. Menurutnya, semakin lama disimpan, kadar garam makin tinggi.
Purnama juga sempat membandingkan kualitas air laut Tanggul Tirto dengan Lamongan, Tuban, dan Madura. “Di sana kadar garamnya tinggi sekali. Mereka bisa panen dalam sepuluh hari. Kalau di sini enggak bisa karena airnya kecampur sungai, dekat Sungai Progo,” ujarnya.
Meski demikian, Purnama tetap optimistis. Ia memanfaatkan lahan Sultan Ground di sekitar pantai untuk produksi garam alami. “Tanah ini kan bisa digunakan asal dimanfaatkan baik. Jadi saya pakai buat usaha garam, sekalian nambah penghasilan keluarga,” katanya.
Dengan dukungan modal dari Mas Ari, usahanya perlahan berkembang. Sebagai petani yang juga menggarap sawah di Tegalang, Purnama melihat usaha garam sebagai peluang baru yang menjanjikan. “Sekali panen bisa sampai 50 kilo, nanti meningkat di panen berikutnya,” ujarnya tersenyum.
Ia berharap lebih banyak warga pesisir ikut menekuni usaha ini. “Kalau banyak yang ikut, pantai ini bisa dikenal sebagai sentra garam alami Bantul. Yang penting sabar dan tekun. Garam itu hasil dari matahari, angin, dan kesabaran,” harapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Perjalanan Hidup Brigjen Hendra Kurniawan dan Kasus Hukumnya
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement




