Advertisement

Hari HAM Sedunia, Buruh DIY Soroti Krisis Kerja Layak

Ariq Fajar Hidayat
Rabu, 10 Desember 2025 - 13:57 WIB
Abdul Hamied Razak
Hari HAM Sedunia, Buruh DIY Soroti Krisis Kerja Layak Buruh yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja Jawa Barat melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Kamis (28/8/2025). Aksi buruh yang dilakukan serentak di berbagai daerah di Indonesia tersebut untuk menuntut pemerintah bisa menghapus sistem outsourcing, menolak upah murah, membentuk satgas PHK, mensahkan rancangan undang-undang ketenagakerjaan tanpa omnibus law, juga memberantas korupsi hingga tuntas. Antara - Novrian Arbi

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA — Momentum Hari HAM Sedunia pada Rabu (10/12/2025) diperingati Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY dengan sorotan tajam terhadap memburuknya kondisi ketenagakerjaan. MPBI DIY menilai semakin banyak warga yang berhenti mencari pekerjaan karena tidak melihat harapan atas kerja layak.

Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, menyebut lonjakan pekerja yang menyerah mencari kerja sebagai sinyal memburuknya pemenuhan hak dasar untuk memperoleh pekerjaan yang manusiawi—sekaligus bentuk kegagalan negara memenuhi mandat konstitusi dalam penghormatan hak asasi.

Advertisement

Mengacu data Sakernas 2024–2025, jumlah penduduk yang tidak bekerja sekaligus tidak lagi mencari kerja pada Februari 2025 mencapai 1,87 juta orang, naik sekitar 11% dibanding setahun sebelumnya.

MPBI DIY menilai kenaikan ini menunjukkan semakin banyak warga yang keluar dari pasar kerja karena peluang yang tersedia dianggap tidak manusiawi: didominasi pekerjaan tidak tetap, berupah rendah, tanpa jaminan sosial, dan minim perlindungan.

“Bertambahnya pekerja putus asa ini memperlihatkan betapa lapangan kerja yang ada tidak memberi kepastian. Orang dipaksa menerima kerja murah atau memilih mundur sama sekali,” ujar Irsad.

Ia menambahkan ketidakpastian penetapan UMP dan UMK 2026—yang kembali bertumpu pada perhitungan administratif alih-alih kebutuhan hidup riil—turut memperburuk situasi. Menurutnya, kebijakan pengupahan saat ini menjauh dari prinsip HAM karena tidak menempatkan kelayakan sebagai ukuran utama.

“Upah minimum yang disahkan belum mencerminkan kebutuhan hidup layak, terutama bila melihat kenaikan biaya pangan, pemukiman, dan kebutuhan dasar lainnya. Situasi ini juga berdampak pada kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan,” imbuhnya.

MPBI DIY mencatat persoalan upah dan ketidakpastian kerja paling berat dirasakan pekerja informal, termasuk pekerja rumah tangga dan pekerja platform seperti pengemudi ojek daring. Tanpa status hukum yang jelas, kelompok ini hidup dalam ketidakpastian soal pendapatan maupun jaminan sosial.

“Jutaan pekerja masih dibiarkan berada dalam wilayah abu-abu hukum. Ini bentuk nyata pengabaian negara atas hak-hak dasar buruh,” katanya.

Memanfaatkan momentum Hari HAM, MPBI DIY mengajukan sejumlah tuntutan. Di antaranya, mengembalikan konsep upah layak sebagai standar pemenuhan kebutuhan hidup—bukan sekadar angka minimum hasil formula.

MPBI juga meminta kebijakan pengupahan 2026 menggunakan pendekatan HAM dan KHL riil, perlindungan serta kebijakan afirmatif bagi pekerja perempuan, serta pengakuan hukum bagi pekerja informal, PRT, hingga pekerja platform.

“Kerja yang manusiawi dan upah yang layak adalah hak asasi, bukan hadiah dari dinamika pasar,” tegas Irsad.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

Imbas Viral, Kementan Klarifikasi Harga Beras Bantuan Sumatera

Imbas Viral, Kementan Klarifikasi Harga Beras Bantuan Sumatera

News
| Rabu, 10 Desember 2025, 14:17 WIB

Advertisement

Pantai Lovina, Surga Wisata Lumba-lumba di Bali Utara

Pantai Lovina, Surga Wisata Lumba-lumba di Bali Utara

Wisata
| Rabu, 10 Desember 2025, 12:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement