Advertisement

Petani Bantul Ungkap Penyebab Mahal Bawang Merah

Kiki Luqman
Senin, 15 Desember 2025 - 08:57 WIB
Sunartono
Petani Bantul Ungkap Penyebab Mahal Bawang Merah Ilustrasi panen bawang merah. / Antara

Advertisement

Harianjogja.com, BANTUL—Angin pantai Parangtritis bertiup pelan pada Minggu (14/12/2025), menyusuri lahan-lahan pertanian di wilayah Kretek, Bantul, yang kini tampak lengang.

Tak ada lagi hamparan hijau daun bawang merah seperti beberapa bulan lalu. Musim telah berganti, dan bersama itu, harga bawang merah di pasaran ikut melonjak. Di pasar tradisional, komoditas dapur ini dijual dengan harga yang tak lagi ramah bagi sebagian konsumen.

Advertisement

“Kalau yang bagus bisa Rp40 ribu, tapi jarang. Rata-rata di Rp30 ribu sampai Rp35 ribu,” kata Bambang Junaedi, petani bawang merah yang sudah lama menekuni pertanian di kawasan Parangtritis.

Menurut Bambang, mahalnya harga bawang merah saat ini bukan disebabkan oleh permainan harga. Penyebab utamanya sederhana, tetapi berdampak besar, yakni tidak adanya produksi massal. Desember bukan musim tanam bawang merah, sehingga pasokan di lapangan sangat terbatas.

“Enggak musim ini soalnya. Enggak ada produksi yang masal,” ujarnya.

Puncak produksi bawang merah di wilayah Kretek terjadi pada pertengahan tahun. Bulan Juli menjadi waktu tanam utama bagi hampir seluruh petani. Dari tanam Juli itu, panen raya biasanya berlangsung pada September hingga Oktober, bahkan bisa berlanjut sampai awal November. Pada masa itu, harga bawang merah justru jatuh karena pasokan melimpah.

“September tua sampai November itu biasanya murah. Harganya mentok di Rp12 ribu sampai Rp20 ribu,” kata Bambang.

Setelah masa panen berakhir, kondisi berbalik. Produksi menurun drastis, stok menipis, dan harga mulai naik. Menurut Bambang, situasi harga tinggi seperti sekarang lazim terjadi setiap tahun dan biasanya bertahan hingga Januari.

“Biasanya sampai Januari masih mahal mas,” ujarnya.

Mahalnya harga bawang merah tidak serta-merta membuat barang sulit dijual. Justru karena pasokan terbatas, bawang merah tetap dicari.

“Tetap laku, karena tidak ada barang. Mahalnya itu karena tidak ada barang,” katanya.

Ia bahkan menyebut para pedagang cenderung lebih senang ketika harga tinggi karena barang sangat terbatas. Namun, kondisi ini menjadi dilema karena konsumen ikut terbebani.

Di sisi lain, ada satu hal yang selalu menghantui petani bawang merah setiap tahun, yakni kebijakan impor. Bambang mengatakan, masuknya bawang impor hampir selalu membuat harga bawang lokal jatuh.

“Nanti hancurnya itu ketika impor. Kalau impor itu harganya sudah hancur,” ujarnya.

Menurutnya, masyarakat sering kali hanya melihat bawang impor dari sisi harga yang lebih murah dan kualitas yang tampak bagus. Padahal, biaya produksi dan kondisi pertanian di negara asalnya jarang diketahui secara utuh.

“Masyarakat pengertiannya cuma, kok bisa semurah itu, barangnya bagus. Tapi biaya produksinya bagaimana, itu jarang dibahas,” katanya.

Bagi Bambang, kebijakan impor memang kerap diambil untuk menjaga harga tetap terjangkau. Namun, petani lokal menjadi pihak yang paling terdampak ketika harga anjlok secara tiba-tiba.

Di wilayah Kretek, bawang merah sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Bambang menyebut hampir seluruh warga menggantungkan hidup dari tanaman ini.

“Hampir bisa dikatakan 100 persen masyarakat Kretek itu petani bawang merah,” ujarnya.

Setiap bulan Juli, hampir seluruh lahan ditanami bawang merah. Di wilayah Parangtritis, luas sawah mencapai sekitar 165 hektare, dan pada puncak musim tanam, seluruh lahan tersebut dipenuhi bawang merah.

Namun, kondisi berubah ketika musim hujan tiba. Curah hujan tinggi membuat lahan Kretek tidak lagi cocok untuk bawang merah. Air menggenang dan petani beralih menanam padi atau tanaman lain.

“Kalau di Kretek itu sudah tidak ada bawang merah karena tergenang air, yang nanam itu cuma daerah yang agak tinggi,” ujarnya.

Bambang menyebut kondisi sekarang sebagai masa menghabiskan stok. Harapan untuk kembali menanam bawang merah biasanya muncul sekitar bulan Maret, itu pun tergantung cuaca.

“Nanti di bulan Maret, kalau kemarau maju, sudah ada yang nanam lagi,” katanya.

Namun luas tanam pada periode itu sangat kecil, hanya sekitar 10 persen dari total lahan. Artinya, pasokan bawang merah masih akan terbatas hingga panen besar berikutnya.

Bagi Bambang, bertani bawang merah adalah pekerjaan yang penuh risiko. Saat panen raya, harga jatuh. Saat harga tinggi, barang justru tidak ada. Siklus ini terus berulang setiap tahun.

Meski begitu, ia dan petani lain tetap bertahan. Bawang merah bukan sekadar komoditas, melainkan sumber penghidupan dan penanda musim. Di tengah ketidakpastian cuaca dan kebijakan, harapan petani tetap sama, yakni harga yang adil dan keberpihakan pada mereka yang menanam sejak awal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

Menteri LH Temukan Hulu Sungai Aceh Terdegradasi Parah

Menteri LH Temukan Hulu Sungai Aceh Terdegradasi Parah

News
| Senin, 15 Desember 2025, 11:07 WIB

Advertisement

Panduan Akomodasi Ramah Muslim di Singapura

Panduan Akomodasi Ramah Muslim di Singapura

Wisata
| Jum'at, 12 Desember 2025, 14:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement