Advertisement
Pekerja Migran di Jogja Desak Negara Penuhi Perlindungan dan Hak
Direktur Beranda Migran, Hanindya Cristy, dalam Rembug Migran: Desak Negara Memenuhi Pelindungan serta Hak Pekerja Migran dan Purna Migran, di Bakmi Jawa Mas Kuntet, Banguntapan, Minggu (21/12 - 2025). Harian Jogja/Lugas Subarkah
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Pekerja migran dan organisasi masyarakat sipil di Jogja mendesak negara memperkuat perlindungan serta pemenuhan hak pekerja migran di tengah meningkatnya risiko perdagangan orang, eksploitasi, dan minimnya jaminan perlindungan negara.
Peran pemerintah dinilai masih minim dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja migran, di tengah meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), terbatasnya lapangan pekerjaan layak, serta memburuknya situasi kesejahteraan masyarakat, migrasi internasional menjadi salah satu jalan terpaksa yang harus ditempuh banyak rakyat Indonesia.
Advertisement
Sayangnya, pekerja migran dan purna migran menghadapi risiko berlapis, mulai dari migrasi paksa, praktik forced scamming, forced criminality, kekerasan fisik, psikologis, dan seksual, serta terus meningkatnya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), terutama yang berkaitan dengan forced scam dan judi daring.
Direktur Beranda Migran, Hanindya Cristy, menjelaskan kebijakan dan program ekspor tenaga kerja yang dianggap sebagai jalan pintas mengatasi kemiskinan memang dirancang untuk meningkatkan jumlah pekerja migran yang dikirim ke luar negeri setiap tahun serta mendongkrak remitansi negara.
BACA JUGA
“Para pekerja migran terjebak dalam industri migrasi yang hanya menguntungkan orang-orang tertentu, tetapi tidak memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia,” ujarnya dalam Rembug Migran: Desak Negara Memenuhi Pelindungan serta Hak Pekerja Migran dan Purna Migran di Bakmi Jawa Mas Kuntet, Banguntapan, Minggu (21/12/2025).
Program ekspor tenaga kerja yang berorientasi keuntungan tersebut memperlakukan pekerja migran sebagai komoditas dan mesin penghasil uang tanpa memprioritaskan hak-hak pekerja migran. “Pekerja migran menjadi sangat rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi dan perdagangan orang sejak mereka dipaksa bekerja di luar negeri,” katanya.
Meningkatnya kasus perdagangan orang dengan berbagai skema dalam migrasi internasional menunjukkan sistem yang dibangun pemerintah selama ini tertinggal jauh. Migran kerap diperlakukan sebagai komoditas dalam sistem ekonomi politik yang timpang, baik oleh sindikat kejahatan, perusahaan perekrutan, maupun negara yang gagal menjalankan mandat perlindungan.
Padahal, Indonesia telah mengatur mandat perlindungan tersebut secara jelas. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO menegaskan kewajiban negara melakukan pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban perdagangan orang, termasuk akses keadilan, layanan hukum, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial.
Namun, dalam praktiknya regulasi tersebut belum sepenuhnya menjawab dinamika di lapangan. Korban kerap kesulitan memperoleh perlindungan dan pemulihan layak akibat birokrasi panjang, minimnya perspektif korban, serta lemahnya koordinasi antarinstansi.
Salah satu eks pekerja migran, I, menceritakan dirinya bersama 10 rekan sekantor berhasil kabur dari perusahaan online scamming di Kamboja. Ketika tiba di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kamboja, ia tidak bisa langsung memperoleh perlindungan.
“Setelah membuat laporan, kami diminta menunggu beberapa hari dan harus menyewa hotel dengan biaya sendiri. Padahal saat itu kami masih dikejar dan masuk blacklist, sehingga disayembarakan—siapa yang menangkap kami akan diberi imbalan,” katanya.
Pengakuan lain datang dari pekerja migran perempuan asal Jogja, P. Ia menceritakan KBRI tidak bisa memfasilitasi pemulangannya karena direkrut melalui jalur ilegal. “Padahal saya tidak punya uang untuk membeli tiket pulang,” ungkapnya.
Setelah mendapat bantuan biaya pulang dari keluarga, ia berhasil kembali ke Indonesia dan memperoleh rehabilitasi dari Dinas Sosial DIY dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY selama beberapa bulan.
Sayangnya, proses hukum yang diajukan ke Bareskrim dan Polda DIY tidak berlanjut lantaran lokus kejadian berada di luar Indonesia. “Kemarin dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) juga sempat datang, tetapi hanya mendata, tidak ada hasil,” paparnya.
Program Manager Mitra Wacana, Muazim, menuturkan berdasarkan laporan International Labour Organization (ILO) terdapat ratusan ribu pekerja migran Indonesia di Kamboja. “Sebagian besar menjadi korban perusahaan scamming dan judi daring,” katanya.
Negara, menurutnya, tidak hadir memberikan perlindungan ketika korban ingin keluar dari Kamboja. “Padahal beban penyintas berlapis—sosial, psikologis, fisik, dan ekonomi. Nasib mereka terkatung-katung dengan beban yang sangat berat,” ujarnya.
Desakan pemenuhan hak pekerja migran ini menegaskan pentingnya kehadiran negara dalam memberikan perlindungan menyeluruh bagi pekerja migran Indonesia, sejak pra-keberangkatan hingga pemulihan pascakejadian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Jepang Naikkan Biaya Visa dan Pajak Turis untuk Atasi Overtourism
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement




