Advertisement

UGM Rancang Huntara Rumah Geunira dari Kayu Hanyutan Bencana Sumatera

Catur Dwi Janati
Rabu, 31 Desember 2025 - 12:17 WIB
Abdul Hamied Razak
UGM Rancang Huntara Rumah Geunira dari Kayu Hanyutan Bencana Sumatera Anggota Tim Peneliti FT UGM pedesaan Huntara Rumah Geunira, Ashar Saputra (bertopi) bersama Peneliti lainnya, Ardhya Nareswari menjelaskan konsep Huntara untuk korban bencana Sumatra pada Selasa (23/12/2025). - Harian Jogja // Catur Dwi Janati 

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN— Tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) merancang hunian sementara (huntara) bernama Rumah Geunira, yang digagas khusus untuk korban bencana di Sumatra. Huntara berbasis kayu ini dapat dibangun hanya dalam waktu tiga hari dengan tenaga enam orang, memanfaatkan kayu hanyutan banjir sebagai material utama.

Dalam sebuah video time-lapse berdurasi sekitar satu menit, tampak proses pembangunan satu unit Rumah Geunira dari pelataran kosong hingga menjadi rumah siap huni. Rangka bangunan, dinding, hingga atap dipasang secara bertahap. Dalam kurun tiga hari, sebuah rumah papan berdiri di sudut Fakultas Teknik UGM sebagai mockup hunian bagi penyintas bencana.

Advertisement

Teknologi huntara berbasis kayu ini dikembangkan oleh Tim Peneliti Gabungan Fakultas Teknik UGM yang terdiri dari Prof. Ikaputra, Ashar Saputra, Maria Ariadne Dewi Wulansari, Atrida Hadianti, dan Ardhya Nareswari. Mereka memiliki visi yang sama, menghadirkan hunian sementara yang layak dan manusiawi bagi warga yang kehilangan rumah akibat bencana.

“Prinsipnya, kami ingin penyintas yang tidak punya tempat tinggal, harus punya tempat tinggal tapi manusiawi. Bagaimanapun penyintas punya hak-hak yang harus dipenuhi,” ujar Ashar, Selasa (23/12/2025).

Selain nyaman dan layak huni, Rumah Geunira dirancang agar mudah dibangun oleh masyarakat awam. Proses pembangunannya tidak membutuhkan teknologi rumit atau keterampilan tukang profesional.

“Orang yang tidak pernah kenal pertukangan harus bisa. Teknologinya sederhana, hanya bor dan baut, tidak ada sambungan kayu rumit,” jelas Ashar.

Huntara ini diklaim mampu bertahan selama 3–5 tahun, cukup untuk menunggu pembangunan hunian tetap (huntap). Prinsip lain yang dipegang tim peneliti adalah memanfaatkan material yang tersedia di lokasi bencana, terutama kayu gelondongan yang terbawa banjir.

“Kami ingin memanfaatkan material yang ada. Kayu hanyutan banjir dirajang menjadi papan dengan ukuran standar agar cepat dibangun,” katanya.

Kayu-kayu tersebut dipotong menjadi papan berbagai ukuran, antara lain tebal 2,5–3 sentimeter dengan panjang menyesuaikan kondisi material. Papan-papan itu kemudian disusun dan dibaut menjadi struktur rumah tanpa menyisakan limbah kayu.

“Tidak ada material yang terbuang. Kayu besar maupun kecil semuanya dimanfaatkan,” ujarnya.

Menurut Ashar, konsep ini ramah lingkungan karena tidak mengambil material dari luar lokasi terdampak bencana. Selain itu, pembangunan huntara diharapkan bisa dikerjakan langsung oleh penyintas dengan pendampingan tim UGM.

Rumah Geunira juga fleksibel dari sisi lokasi. Huntara ini dapat dibangun di atas tanah, pelataran beton, bekas rumah, hingga lapangan terbuka. Bahkan, material kayu memungkinkan rumah dipindahkan jika lokasi awal dinilai kurang aman.

“Kalau ternyata lokasinya tidak aman, rumah ini bisa dibongkar dan dipindah ke tempat yang lebih aman,” katanya.

Untuk tahap awal, tim UGM berencana membangun proyek percontohan di Aceh Tamiang dengan target 10 unit. Proyek ini diharapkan bisa direplikasi di wilayah terdampak bencana lainnya.

Dari sisi biaya, pembangunan Rumah Geunira tergolong terjangkau. Dengan memanfaatkan kayu hanyutan banjir, biaya yang diperlukan hanya untuk pembelian paku, baut, mur, ring, asdrat, dan atap galvalum. Tanpa menghitung biaya tenaga kerja, total biaya pembangunan satu unit rumah sekitar Rp12,5 juta.

Ashar juga menunjukkan kondisi interior huntara yang terasa sejuk meski cuaca di luar cukup panas. Hal ini berkat desain pencahayaan dan sirkulasi udara yang dirancang khusus oleh tim arsitek.

“Di dalam cukup sejuk karena pencahayaan dan sirkulasi udaranya bagus. Prinsipnya harus sehat dan manusiawi,” tegasnya.

Nama Geunira sendiri berasal dari bahasa Aceh yang berarti suasana nyaman. Nama ini juga dimaknai sebagai singkatan dari Segera Bangun Kembali Sumatra.

“Harapannya penyintas bisa segera kembali ke rumahnya dengan nyaman,” kata Ashar.

Peneliti lainnya, Ardhya Nareswari, menambahkan desain Rumah Geunira juga mempertimbangkan budaya setempat. Dengan luas 36 meter persegi, huntara ini memiliki dua kamar tidur, dapur, ruang bersama, teras, dan dapat dilengkapi kamar mandi.

“Letak kamar mandi bisa di dalam atau di luar modul, disesuaikan dengan budaya setempat,” jelasnya.

Nareswari berharap kamar mandi bersifat privat dan tidak komunal, serta ramah bagi anak. Teras tetap dipertahankan sebagai ruang sosialisasi antarwarga.

“Teras menjadi sarana interaksi satu keluarga dengan keluarga lainnya,” ujarnya.

Selain itu, desain jendela menggunakan sistem daun ganda atas-bawah untuk menjaga sirkulasi udara tanpa mengorbankan privasi penghuni.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

Densus 88 Tangkap 7 Terduga Teroris Jaringan NII dan AD

Densus 88 Tangkap 7 Terduga Teroris Jaringan NII dan AD

News
| Rabu, 31 Desember 2025, 13:47 WIB

Advertisement

Musim Liburan, Wisata Jip Merapi Diserbu hingga 20 Ribu Orang

Musim Liburan, Wisata Jip Merapi Diserbu hingga 20 Ribu Orang

Wisata
| Rabu, 31 Desember 2025, 13:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement