Advertisement

TIONGHOA JOGJA : Sebanyak 60% Rumah Peranakan Masih Utuh

Kusnul Isti Qomah
Jum'at, 12 Februari 2016 - 00:20 WIB
Mediani Dyah Natalia
TIONGHOA JOGJA : Sebanyak 60% Rumah Peranakan Masih Utuh Contoh rumah peranakan yang masih berdiri di Ketandan,Rabu (10/2/2016). (Kusnul Isti Qomah/JIBI - Harian Jogja)

Advertisement

Tionghoa Jogja masih mempertahankan bangunan lawas.

Harianjogja.com, JOGJA—Sebuah gerbang yang kental dengan nuansa dan gaya  Tiongkok menjadi penyambut begitu memasuki wilayah Ketandan, Jogja. Ketandan merupakan wilayah keturunan Tionghoa peranakan yang masih terjaga sampai saat ini.

Advertisement

Keberadaan kampung sudah sejak  240-an tahun lalu. Bangunan khas Tiongkok terutama rumah bisa ditemui di area Ketandan dan sekitarnya. Namun, jumlah rumah bergaya Tiongkok yang bisa dijumpai saat ini sudah tidak sebanyak dulu.

“Kira-kira jumlah  yang masih utuh sekitar 60 persen atau 30-an rumah,” ujar Ketua RW 05 Ketandan yang juga pengurus di Jogja Chinese Art and Culture Center (JCACC), Tjundaka Prabawa kepada Harianjogja.com ketika ditemui di Ketandan, Jogja, Rabu (10/2/2016).

Kondisi rumah-rumah tersebut sudah banyak yang  tidak terawat. Hanya sebagian bangunan tang terlihat cukup baik. Usia bangunan yang lama membuat kepemilikan berganti-ganti. Keturuan saat ini banyak yang tidak mengetahui sejarah dari rumah yang mereka tinggali. Hanya beberapa rumah yang terlihat bagian atapnya masih asli berbentuk pelana kuda. Sebagian rumah kepemilikannya sudah berpindah tangan karena dijual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

Sayangnya, satu rumah rumah yang sudah diratakan dengan tanah merupakan rumah terpenting di DIY bahkan di Indonesia.  Rumah itu milik Kapitan Tan Jin Sing yang merupakan bupati masa  pemerintahan Sri Sultan HB III. Tan Jin Sing memiliki gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat. Rumah itu merupakan cikal bakal rumah-rumah yang ada saat ini.

Bagian depan rumah yang bergaya Tiongkok, Eropa, dan Jawa ini sudah  rata dengan tanah untuk keperluan pembangunan hotel. Saat ini, hanya tersisa bagian belakang dari rumah yang penuh nilai sejarah itu. Di dalam rumah itu pula, Dr Yap dilahirkan.

Ini Sejarah Rumah Kapitan Tan Jin Sing

Bangunan bersejarah itu  dibangun hampir bersamaan dengan dibangunnya Pura Pakualaman. Selang waktunya hanya  satu bulan. Kabarnya, bagian belakang rumah tersebut akan diselematkan oleh Pemerintah. Tan Jin Sing merupakan keturunan dari seorang Demang Kalibeber di Wonosobo dari  garis ayah dan garis ibu merupakan keturunan Amangkurat Raden Ayu Patrawijaya. Tan Jin Sing lahir menjadi seorang anak yang cerdas yang mampu menguasai beberapa bahasa seperti  Hokian, Inggris, Jawa halus, dan Belanda.

[caption id="attachment_690369" align="alignright" width="370"]http://images.harianjogja.com/2016/02/tjundaka.jpg">http://images.harianjogja.com/2016/02/tjundaka-370x247.jpg" alt="Tjundaka (Kusnul Isti Qomah/JIBI/Harian Jogja)" width="370" height="247" /> Tjundaka (Kusnul Isti Qomah/JIBI/Harian Jogja)[/caption]

Saat Tan Jin Sing masih bayi, ayahnya Demang Kalibeber meninggal dunia. Karena kondisi sedang sulit, ia pun diasuh oleh sudagar Tionghoa bernama Oie The Long. Nama itu ia dapat dari Oie The Long karena Tan Jin Sing memiliki wajah yang tampan, putih, mata lebar. Kemudian, ibu angkat Tan Jin Sing meninggal dan Oie The Long meminta Raden Ayu Patrawijaya untuk mengasuh Tan Jin Sing. Dari seringnya bertemu, Oie The Long jatuh cinta dengan Raden Ayu Patrawijaya dan keduanya akhirnya menikah. Setelah 12 tahun menikah, Raden Ayu Patrawijaya meninggal. Sebelum meninggal, ia mengatakan ke Tan Jin Sing jika dialah ibu kandungnya.

Sementara, nama Ketandan berasal dari kata Tondo yang merupakan satu kepangkatan petugas pajak. Ia bertugas menarik pajak orang Tionghoa di Jogja untuk diserahkan ke Kraton Jogja. Petugas itu tinggal di wilayah Ketandan. Kata Tondo itulah yang menjadi cikal bakal nama Kampung Ketandan.

Tjudaka mengatakan, ada upaya untuk melestarikan kebudayaan dan warisan leluhur yang digarap JCACC. Mereka ingin mengenalkan warisan budaya itu kepada generasi muda dan masyarakat. Kebudayaan yang ada saat ini bukanlah murni dari Tiongkok namun sudah mengalami proses akulturasi.

“Rencananya, kami ingin membuat museum Secodiningrat,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Kuta Selatan Bali Diguncang Gempa Berkekuatan Magnitudo 5,0

News
| Jum'at, 26 April 2024, 21:17 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement