Advertisement

Melihat Aktivitas Tuna Rungu di Jogja, Berprestasi di Tengah Keterbatasan

Ujang Hasanudin
Senin, 27 Juni 2016 - 10:20 WIB
Nina Atmasari
Melihat Aktivitas Tuna Rungu di Jogja, Berprestasi di Tengah Keterbatasan Pengurus DAC sedang rapat mempersiapkan pentas sedekah cangkem dan jualan takjil di sekretariat DAC Jalan Langenarjan Lor, Patehan, Kraton, Kamis (23/6/2016). (Ujang Hasanudin/JIBI - Harian Jogja)

Advertisement

Melihat aktivitas penyandang tuna rungu di Jogja

Harianjogja.com, JOGJA-Sore itu, Kamis (23/6/2016), cuaca cukup cerah, dari sebuah rumah bangunan rumah peninggalan jaman Belanda di Jalan Langenarjan Lor, Panembahan, Kraton, Jogja, tampak banyak orang. Halaman rumah itu juga dipenuhi sepeda motor yang parkir.

Advertisement

Semakin sore semakin banyak orang yang datang. Di antara mereka yang sebagian besar mahasiswa dan pelajar itu saling bercanda sebelum akhirnya mereka berkumpul dalam satu ruangan sekitar 3x4. Meski ruangan penuh dengan orang, namun nyaris tidak ada suara yang terdengar keluar. Hanya gerakan tangan dan badan yang aktif, serta ekspresi wajah.

Mereka merupakan komunitas tuli atau kurang pendengaran yang tergabung dalam Deaf Art Community (DAC) yang tengah menggelar rapat. Dalam komunikasi menggunakan bahasa isyarat. Rapat yang digelar terkait persiapan jualan takjil yang akan digelar di Alun-alun Selatan.

“Sambil jualan takjil nanti ada sedekah isyarat dan sedekah cangkem atau sekolah bahasa isyarat,” kata Pembimbing DAC, Broto Wijayanto.

Rapat persiapan acara jualan takjil dan sedekah cangkem ini meliburkan sementara sekolah bahasa isyarat yang biasanya digelar tiap Senin dan Kamis sore. Acara sedekah cangkem ini pada awalnya akan digelar sejak awal bulan puasa, namun karena terkendala dengan perizinan dengan pengelola Alkid sehingga tertunda.

Padahal DAC sudah mempersiapkan dengan berbagai pertunjukan hiburan serta menggandeng tim medis untuk turut serta untuk membuka stand ukur tekanan darah gratis.

Jualan takjil rutin digelar setiap tahun oleh DAC. Selain itu DAC juga memiliki berbagai kegiatan seperti kerajinan tangan membiat bros, membuat baju, pigura, mug yang dijual dan hasilnya akan disalurkan ke lembaga sosial. Lalu, kegiatan seni melukis, membuat film, pantomim, break dance, dan bermusik.

Bahkan salah satu karya filmnya mendapat penghargaan sebagai juara II lomba film pendek katagori fiksi naratif pendek yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga peduli difabel “Care for Disability” pada Desember 2013 lalu.

Selain itu, banyak penghargaan lainnya dari kampus dan berbagai lembaga hal itu dibuktikan dengan banyaknya piagam yang menempel di hampir seluruh isi ruangan sekretariat DAC.

Menurut Broto penghargaan yang diperoleh tidak sekadar penghargaan tapi lebih pada penyemangat dalam hidup. Ia mengakui selama ini teman-teman tuli sering mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang baik pendidikan maupun lapangan kerja, yang berimbas tertutup dan hilangnya kesempatan tuli untuk beraktualisasi dan menunjukan peran dalam masyarakat.

Lewat DAC kata minder dan malu kini tidak ada lagi. “Kekurangan harus menjadi pemicu untuk maju dan berbuat untuk orang lain,” katanya.

DAC tidak sekadar kantor sekretariat namun lebih dari itu tapi sebagai rumah bagi yang kurang pendengaran. Bahkan hampir setiap hari rumah tersebut ramai dikunjungi, meski komunitas yang aktif masuk dalam kepengurusan hanya 15 orang.

Sebagian besar yang datang adalah mahasiswa dan pelajar yang ingin belajar bahasa isyarat. “Siapapun bisa datang kesini, belajar bahasa isyarat sampai kapan pun tidak dipungut biaya alias gratis,” kata Broto.

Operasional kantor selama ini berjalan dari hasil kreatifitas anggota DAC dan kerjasama dengan instansi jaringan. DAC juga selama ini rutin mengunjungi sekolah-sekolah dan kampus untuk menunjukkan kreatifitas kesenian.

Lewat kunjungan tersebut, menurut Broto banyak penonton dan intansi yang tertarik terhadap budaya tuli, salah satunya bahasa isyarat yang rutin diajakrkan di DAC.

“Setelah pementasan biasanya banyak orang tua yang berkonsultasi mengenai anaknya yang tuli atau para akademis yang harus menghadapi teman-teman tuli,” katanya.

Banyaknya kegiatan seni yang digelar DAC tidak lepas dari peran Broto yang merupakan alumni Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ia merupakan Pria kelahiran Demak Jawa tengah 40 tahun lalu. Ketertarikannya di DAC setelah beberapa kali tampil dalam pementasan pantomim di komunitas tuli pada 2004 lalu dan mendapat sambutan positif.

Sejak saat itu ia ikut aktif dengan DAC. Komunitas para tuli ini awalnya terbentuk pada Desember 2004 lalu lewat mahasiswa Kuliah Kerja Nyata dari kampus Universitas gadjah Mada (UGM). Saat itu masih bernama Matahariku. Sejak 2006 berubah nama menjadi DAC.

Broto mengatakan DAC merupakan sebuah komunitas seni tuli dengan semangat inklusi dibentuk sebagai suatu wadah bagi komunitas tuli untuk berkumpul dan berkomunikasi dengan menggunakan metode bahasa isyarat untuk menghilangkan batas komunikasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Seorang Polisi Berkendara dalam Kondisi Mabuk hingga Tabrak Pagar, Kompolnas: Memalukan!

News
| Sabtu, 20 April 2024, 00:37 WIB

Advertisement

alt

Pengunjung Kopi Klotok Membeludak Saat Libur Lebaran, Antrean Mengular sampai 20 Meter

Wisata
| Minggu, 14 April 2024, 18:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement