Advertisement
Masyarakat Harus Berterima Kasih pada Pangeran Mangkubumi, Seperti Ini Perjuangannya Mendirikan Jogja

Advertisement
Masyarakat DIY sudah semestinya berterima kasih kepada pendirinya yakni, Pangeran Mangkubumi atau yang dikenal dengan Sultan Hamengku Buwono I
Harianjogja.com, JOGJA --Masyarakat DIY sudah semestinya berterima kasih kepada pendirinya yakni, Pangeran Mangkubumi atau yang dikenal dengan Sultan Hamengku Buwono I karena telah menciptakan Jogjakarta yang mempunyai filosofi luhur.
Advertisement
Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Dewan Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya Daerah (DP2WB), Yuwono Sri Suwito pada sosialisasi Sadar Budaya Sumbu Filosofi di Taman Parkir Abu Bakar Ali, Rabu (25/10/2017).
Romo Yu, begitu biasa ia disapa, mengungkapkan, ketika Pangeran Mangkubumi menandatangi perjanjian damai dengan Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC di Desa Giyanti tahun 1755, dirinya mengalah saat tidak diperkenankan bergelar Sunan. Pun begitu dengan wilayah yang akan dikuasainya. Pangeran Mangkubumi, menurutnya, tak peduli dapat wilayah dimana.
Hanya satu hal yang sangat ngotot dipertahankan Pangeran Mangkubumi dalam perjanjian itu, yakni ibukota kerajaan haruslah ada di Jogjakarta. Jika hal tersebut tidak diwujudkan, kata Romo Yu, maka Pangeran Mangkubumi mengancam untuk mengobarkan kembali perang.
Romo Yu mengatakan, kengototan Pangeran Mangkubumi dikarenakan Jogjakarta berada diantara enam sungai yang mengapit secara simetris, yakni Code, Winanga, Gajahwong, Progo, Bedog, dan Opak. Lalu disebelah utara terdapat Gunung Merapi dan di selatan ada Laut Selatan.
“Dalam tradisi Hindu, wilayah dengan topografi demikian merupakan tempat yang khusus diperuntukkan untuk membangun tempat suci seperti kuil, kalau Pangeran Mangkubumi membangun Kraton di sana,” ucapnya.
Ia melanjutkan, dengan setting semacam itulah kemudian akhirnya Pangeran Mangkubumi menciptakan poros imajiner yang terdiri dari Laut Selatan, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Gunung Merapi.
Secara berurutan, masing-masing titik mewakil konsep Pawongan (hubungan manusia dengan alam), Palemahan (manusia dengan manusia) dan Parahyangan (manusia dengan tuhan).
Namun karena Pangeran Mangkubumi beragama Islam, maka akhirnya konsep yang sangat Hinduistis tersebut dilebur dengan ajaran Islam sehingga lahirlah filosofi Hamemayu Hayuning Bawana yang jika di Bahasa Indonesiakan berarti memperindah keindahan dunia.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Kepala Dinas Kebudayaan DIY Singgih Raharjo juga memuji Pangeran Mangkubumi terkait dengan idenya untuk membuat Sumbu Filosofi yang membentang dari Tugu Pal Putih atau Golong-Gilig, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Panggung Krapyak. Sumbu Filosofi tersebut merupakan simbol yang menceritakan kehiduapan manusia hingga mati dan disebut dengan Sangkan Paraning Dumadi.
“Sumbu Filosofi merupakan hasil karya yang genius karena menceritakan fase kehidupan manusia dari lahir sampai menemui ajal. Bayangkan pada tahun itu beliau sudah punya ide demikian, kan luar biasa,” ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Hari HAM jadi Pengingat Pentingnya Rasa Saling Menghormati di Atas Keberagaman
Advertisement

Cari Tempat Seru untuk Berkemah? Ini Rekomendasi Spot Camping di Gunungkidul
Advertisement
Berita Populer
- Mau Berwisata dengan Trans Jogja di Akhir Pekan? Ini Rute dan Jalurnya
- Begini Cara Memesan Tiket Kereta Api Bandara YIA
- Top 7 News Harianjogja.com Hari Ini, Minggu 10 Desember 2023: Kecelakaan Maut hingga Penerimaan Mahasiswa Baru
- Aktivitas Gunung Merapi Masih Tinggi, BNPB Minta Warga Waspadai Potensi Bahaya Guguran Lava
- Lafal Doa dan Terjemahan Ketika Terjadi Hujan Deras Disertai Petir dan Angin Kencang
Advertisement
Advertisement