Advertisement

Kasih Kiki bagai sang Surya Menyinari Dunia

I Ketut Sawitra Mustika
Rabu, 18 April 2018 - 12:25 WIB
Budi Cahyana
Kasih Kiki bagai sang Surya Menyinari Dunia Mirza dan ibunya. - Ist/Dok Sri Rejeki Ekasasi

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Menurut sepenggal lagu, Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali,  bagai sang surya menyinari dunia. Sri Rejeki Ekasasi adalah perwujudan terbaik lirik tersebut. Berikut laporan wartawan Harian Jogja I Ketut Sawitra.

Awal 1997, kandungan Kiki, sapaan akrab Sri Rejeki, berusia lima bulan. Tak seperti dua kehamilan sebelumnya, janinnya tak menendang-nendang. Ia gundah, tetapi saran yang datang sederhana, minum saja susu yang banyak. Ia mengikutinya dan tak ada perubahan yang terjadi.

Advertisement

Agustus pada tahun yang sama, si janin keluar jadi bayi. Orok yang kemudian dinamai Mirza Rahman itu tak menangis nyaring penuh tenaga ketika lahir di dunia. Tangisannya lirih, nyaris tanpa bersuara. Tubuhnya juga tak lumrah, kenyal seperti agar-agar dan agak transparan.

Bertambah galaulah Kiki dengan situasi yang dihadapi. Tanya orang sekitar, mereka hanya bilang semuanya akan baik-baik saja. Dokter dan perawat pun enggan memberi tahu keadaan sebenarnya. “Saat imunisasi Mirza, saat itu dia berumur sebulan, dokter dan suster di klinik hanya bisik-bisik. Pas saya tanya kenapa bisik-bisik, mereka enggak mau jawab,” kata Kiki saat dijumpai di rumahnya, Senin (16/4).

Jawaban yang ditunggu datang saat Mirza kira-kira berusia tujuh bulan. Seorang dokter baik hati dengan lugas menyebut anaknya mengidap sindrom down: keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak akibat abnormalitas perkembangan kromosom. Orang kebanyakan hanya memilki dua kromosom 21, penderita sindrom down memiliki tiga kromosom 21. Penderitanya mudah dikenali dari bentuk wajah, telinga dan jari tangan yang khas.

Kiki tak terperangah juga tak patah hati karena jawaban sang dokter. Dia sudah kadung jatuh hati pada si bayi. Ia memang sempat menolak keadaan, tetapi segera insaf.

Kiki adalah cendekiawan, menjabat sebagai Kepala Humas dan Kerja sama Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) YKPN. Sebelum melahirkan Mirza di Kota Pelajar, ia bersama dengan sang suami menempuh pendidikan master selama dua tahun di Australia.

Suami Kiki beserta dua anaknya bisa menerima keadaan Mirza dengan cepat. Begitu pun keluarga besarnya. Namun, dunia selalu punya cara meniupkan kesedihan bagi manusia. Mirza selalu sakit. Sejak umur tiga bulan hingga empat tahun, dia harus bolak-balik rumah sakit.

“Jadi masyarakat tolonglah jangan kasih stigma pada penderita sindrom down. Ngobatin anak aja susahnya minta ampun,” katanya.

Anak dengan sindrom down memang rentan terhadap berbagai komplikasi penyakit. Kondisi Mirza tak membaik, meski berobat di hampir semua rumah sakit di Kota Jogja. Selalu saja muncul penyakit baru seperti radang tenggorokan, masalah pencernaan, infeksi paru-paru dan macam-macam lainnya.

Tubuh Mirza juga layu. Beratnya hanya 11 kilogram di usinya yang sudah menginjak empat tahun. Keadaan yang tak membaik membuat Kiki pasrah, tetapi tak menyerah.

 

Berubah di Australia

Ia yakin anaknya akan sembuh, entah bagaimana caranya. Harapannya bersambut. Suaminya ditawari melanjutkan pendidikan ke jenjang doktor. Ada dua pilihan yang mengemuka, Eropa atau Amerika Serikat. Tapi Kiki tak mau. Ia ingin suaminya melanjutkan pendidikan di Negeri Kanguru seperti dulu kala. Mereka berangkat pada 2001.

“Di Australia saya melihat anak dengan sindrom down hidup dengan baik. Mereka bisa naik bus sendiri, jalan-jalan sendiri. Bisa bekerja dengan baik. Saya ingin Mirza seperti itu,” kata penggemar Mick Jagger ini.

Hal pertama yang dilakukan Kiki saat pertama kali menginjak kembali benua yang ditemukan James Cook itu adalah menghubungi Down Syndrome Asosiation Western Australia. Di markas besar organisasi itulah akhirnya Kiki menemukan jawaban atas pertanyaannya.

Di sekretariat yang hanya seukuran toko-toko pinggir jalan itu tersedia berbagai macam selebaran pemandu bagi orang tua dengan anak sindrom down. Isinya tentang apa yang mesti dilakukan orang tua terhadap sang anak sesuai dengan tingkatan umurnya.

Kiki mengambil satu yang judulnya kira-kira berbunyi, “Apa yang harus kau lakukan dengan bayimu yang mengidap sindrom down?” Di selebaran itu ia diminta mencentang problem kesehatan yang diidap Mirza. Di setiap problem sudah lengkap berisi daftar rumah sakit dan dokter yang mesti dihubungi.

Lewat serangkain tes, akhirnya penyakit Mirza ketahuan, saluran kencingnya terlampau pendek. Hal ini menyebabkan urine tidak terbuang seluruhnya dan mengotori ginjal. Dilakukanlah operasi yang kemudian mengubah hidupnya. Mirza sembuh dan tumbuh dengan sehat. Sekolahnya lancar. Makannya banyak. Badannya bongsor.

 

Berdaya

Sekarang, Mirza yang akan genap berusia 21 tahun adalah penderita sindrom down yang asyik. Ia suka dansa, mencintai humor, percaya diri dan supel. Karakter-karakter, yang sebagiannya merupakan buah dari sistem pendidikan Barat yang bagus, terlihat sangat kuat.

Mirza sempat mengenyam bangku sekolah Australia selama beberapa tahun sebelum keluarganya kembali ke Jogja pada 2008.

Saat Harian Jogja bertamu ke rumahnya, Mirza dengan telaten menawari camilan. Ia buka kotak kue, nyicip sedikit dan menaruhnya di depan sang tamu. Sejurus kemudian, ia meminta maaf karena tidak bisa menemani lama-lama. Ia permisi karena akan bekerja. “I have to work,” katanya.

Ia bangkit, bercanda dengan sang ibu dan tiba-tiba langsung memraktikan jurus wushu. “Kemarin pas di seminar ada peragaan wushu dari anak-anak down syndrome. Jadi dia tertarik,” ujar ibunya.

Harian Jogja menyebut Mirza harus berlatih bela diri segera dan ia menukas singkat. “Boleh.” Barulah setelah itu ia benar-benar ngacir ke kamarnya

Mirza juga punya pujaan hati. Ia tak sungkan menunjukan foto sang kekasih untuk kemudian menciumnya dengan penuh cinta. Jika ada yang memuji kekasihnya cantik, segera ia menunjuk orang tersebut dengan wajah semringah. Ekspresi yang seakan-akan berkata, “Betul sekali kawan. Tak akan bisa lebih baik dari ini.”

Mirza akan lulus SMA tahun ini. Ia sekolah di SMA Tumbuh. Setelah lulus, ia tak ingin kuliah, tapi berbisnis. Ini mungkin disebabkan karena ia besar di keluarga yang mendalami ilmu ekonomi dan bisnis.

Di sinilah si ibu kembali memegang peranan. Kiki berinisiatif membuatkan toko bagi sang anak, tepatnya untuk mereka yang juga mengidap sindrom down. Nama tokonya Toko Produk Down Syndrome.

Tapi tokonya masih kosong, tak ada barang dagangan sama sekali karena baru diresmikan. Idenya adalah memberdayakan orang-orang dengan sindrom down agar jadi lebih produktif. Sebab, selama ini, setelah tamat SMA, para penderitanya kebanyakan menganggur.

“Paling hanya cuci piring dan nyapu rumah.”

Jika keadaan itu diteruskan, Kiki yakin stigma masyarakat terhadap pengidap sindrom down akan terus langgeng. Orang-orang akan tetap berpikir mereka hanya menjadi beban setelah lulus sekolah.

Karena Kiki tak punya pabrik untuk memproduksi sesuatu, Toko Produk Down Syndrome akan menjual barang-barang hasil produksi anak-anak berkebutuhan khusus. Apa pun itu. Bisa lukisan, bisa robot-robotan (yang dimaksud Mirza dengan bekerja adalah membuat robot-robotan), bisa juga kain batik.

Untuk memenuhi kebutuhan toko, Kiki berencana menambah pasokan dari pabrik-pabrik yang mempekerjakan penderita sindrom sown. “Misalnya, Mirza dulu pernah magang di pabrik ampyang, produk-produknya itu akan kami jual juga di toko. Jadi kalau ada perusahaan yang mempekerjakan anak-anak down syndrome, produknya akan kami jual.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Soal Penembakan Delegasi di Jenin, Prancis Akan Panggil Dubes Israel

News
| Kamis, 22 Mei 2025, 11:27 WIB

Advertisement

alt

Berikut Sejumlah Destinasi Wisata Berbasis Pedesaan di Bantul

Wisata
| Jum'at, 16 Mei 2025, 14:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement