Advertisement

20 Tahun Reformasi, Kasus Tragedi HAM Terbengkalai

I Ketut Sawitra Mustika
Senin, 21 Mei 2018 - 22:50 WIB
Bhekti Suryani
20 Tahun Reformasi, Kasus Tragedi HAM Terbengkalai Reformasi 1998. - JIBI

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA- Reformasi, yang ditandai dengan tumbangnya rezim Orde Baru, menghasilkan banyak perbaikan, seperti kebebasan pers. Tapi kebebasan itu digunakan oleh para elit untuk kepentingan politik semata. Selain itu, banyak agenda reformasi yang hingga saat ini banyak yang terbengkalai. Salah satunya adalah penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Aktivis 1998 sekaligus pendiri Social Movement Institute (SMI) Eko Prasetyo mengungkapkan, upaya pengungkapan kejahatan HAM yang diduga pernah dilakukan Negara pada masa lalu sangat jauh dari harapan. Contohnya, penculikan aktivis menjelang reformasi, tragedi 1965, peristiwa Talangsari, Tanjung Priok, Kematian Munir dan lain-lain.

Advertisement

Sebabnya, lanjut Eko, para terduga pelaku, yang menjadi bagian dari Orde Baru, saat ini tetap beredar dalam lingkaran kekuasaan. "[Terduga] pelaku malah jadi penguasa. Hal ini kemudian membuat harapan jadi redup. Ketika harapan redup, jadi skeptis dan malas berjuang," kata Eko di diskusi Refleksi 20 Tahun Reformasi 'Dengan Alasan Apapun Kami Tidak Mau Kembali Ke Orde Baru' di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Senin (21/5/2018.

Lebih parah lagi, sambung Eko, banyak masyarakat, terutama generasi muda, tak peduli lagi dengan agenda reformasi atau kejadian-kejadian di masa lalu. Di saat bersamaan, kampus tak lagi membentuk mahasiswa jadi seorang pemikir, tapi jadi pekerja siap pakai.

Akibatnya, wacana kritis tidak berkembang. Wacana publik kemudian dikuasai oleh fundamentalisme. Korupsi, yang diharapkan mereda setelah Orde Baru tumbang, nyatanya tetap terus terjadi.

Aktivis 1998 lainnya Aino Sukirno, menambahkan Reformasi 1998 tidak pada trek yang tepat, sebab agenda reformasi yang diusung oleh rakyat, seperti adili Suharto, sejahterakan rakyat, dan pengadilan HAM, tidak terwujud. "Malah Suharto dulu sempat akan dijadikan pahlawan nasional. Reformasi hanya dinikmati para elit."

Bambang Muryanto Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menjelaskan reformasi menghasilkan berbagai kebebasan, seperti kebebasan pers dan kebebasan berserikat. Tapi, sayangnya kebebasan pers justru dimanfaatkan oleh para elit untuk ramai-ramai membentuk media, yang dijadikan corong politik.

"Jurnalisme saat ini saya kira belum bisa memberikan sumbangan yang ideal agar demokrasi kembali pada relnya. Di Jogja saya juga melihat media tidak memihak mereka yang tidak punya suara, tapi malah mendukung Pemerintah yang mencaplok tanah petani," jelas Bambang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Viral! Istri Siri Polisi Curhat Alami KDRT, Kompolnas Surati Kapolda Kepri

News
| Jum'at, 29 Maret 2024, 21:57 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement