Advertisement
Pelajar Sleman-Bantul Disebut Direpresi Polisi dan Sekolah Gegara Ikut Demo Mengkritik Pemerintah

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA- Tindakan represif aparat kepolisian dalam menghadapi masa aksi demonstrasi di berbagai daerah menuai kecaman dari banyak kalangan. Tercatat setidaknya 1.200 masa aksi ditahan, ratusan luka-luka dan bahkan beberapa meninggal dunia.
Koordinator Solidaritas Masyarakat Sipil Untuk Gerakan Inklusi, Pitra Hutomo, mengatakan Kondisi beberapa hari belakangan menunjukkan situasi penyampaian pendapat di depan kantor DPR RI, di depan kantor DPRD, di area perguruan tinggi, dan di lokasi-lokasi yang dipadati demonstran, menjadi ruang yang mengancam.
Advertisement
"Korban terus berjatuhan dan kami tidak melihat itikad baik institusi Kepolisian untuk memenuhi komitmennya sebagai aparat dalam sistem negara demokrasi," ujarnya, Jumat (4/10/2019).
Ia melihat banyak peserta aksi yang diinterogasi, bahkan diintimidasi di ruang-ruang yang seharusnya melindungi hak asasi setiap warga negara, termasuk adanya intrusi di ruang-ruang siber. "Banyak sekali keluarga yang melaporkan anggota keluarganya hilang dan belum diketahui keberadaannya pascaaksi di berbagai wilayah di Indonesia," katanya.
Ia mendesak pemerintah dan Kepolisian bertanggung jawab melakukan penyelidikan terbuka mengenai proses dan kejadian saat mereka dikirim ke lapangan untuk mengamankan penyampaian pendapat. Menurutnya, tindakan mereka bukan menciptakan rasa aman, namun mereproduksi teror dan represi yang sudah gencar bahkan sebelum aksi berlangsung.
"Kami menuntut pembebasan dan pemulihan secara menyeluruh pada korban baik dari segi kesehatan dan pendidikan, tindak lanjut represi aparat secara spesifik pada anak, pekerja medis dan kemanusiaan, aktivis, dan individu yang mengemukakan pendapat melalui berbagai saluran," ujarnya.
Ia juga menyoroti represi aparat kepolisian terhadap pelajar yang terlibat aksi, yakni dengan memberi mereka Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), padahal remaja juga punya hak yang sama untuk menyampaikan pendapat.
Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja, Abdul Malik Akdom, mengungkapkan menerima beberapa laporan dari pelajar yang mendapat represi baik dari sekolah maupun polisi karena terlibat aksi. "Ada dari Purwokerto, Solo, Sleman dan Bantul," ujarnya.
Ia mengungkapkan diantara mereka bahkan harus menandatangani pernyataan bersedia Drop Out apabila kembali mengikuti aksi. Hal ini ironis mengingat hak anak sudah diatur dalam Konvensi Internasional Hak Anak dan Undang-Undang, yang salah satunya adalah hak berpendapat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Gunung Dukono Erupsi Lagi, Tinggi Kolom Letusan Tercatat 1,1 Km
Advertisement

Kampung Wisata Bisa Jadi Referensi Kunjungan Saat Liburan Sekolah
Advertisement
Berita Populer
- Sempat Alami Darurat Sampah, Kampung Suryoputran Jogja Sukses Olah Sampah Nyaris 1 Ton Per Bulan
- Ubah Sampah Menjadi Energi Alternatif, Solusi Bangun Indonesia dan dan Got Bag Indonesia Bersihkan Sampah Plastik di Pantai Teluk Awur Jepara
- Bamuskal hingga Panewu Akan Dilibatkan Tahapan Pengangkatan dan Pemberhentian Lurah di Bantul
- DPRD DIY Apresiasi Realisasi APBD 2024, Dorong Optimalisasi Aset untuk Tambah PAD
- Porda XVII DIY 2025: Sleman Mulai Siapkan OPD Pendamping Cabor Demi Membidik Juara Umum
Advertisement
Advertisement