Advertisement

Promo November

Protes Lingkungan Rusak karena Tambang, Warga Sleman Malah Dipolisikan

Yosef Leon
Senin, 11 Oktober 2021 - 16:17 WIB
Bhekti Suryani
Protes Lingkungan Rusak karena Tambang, Warga Sleman Malah Dipolisikan Audiensi kasus penambangan di DIY, Senin (11/10/2021)-Harian Jogja - Yosef Leon

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA-Warga Sleman yang membela lingkungannya lantaran diduga tercemar karena aktivitas penambangan malah  balik dipolisikan oleh orotitas perusahaan tambang. 

Dua wilayah di DIY yakni Dusun Wiyu, Kembang, Nanggulan, Kulonprogo dan Dusun Jomboran, Sumberagung, Minggir, Sleman disinyalir tercemar dan rusak akibat aktivitas penambangan. Warga yang protes karena merasakan dampak kerusakan lingkungan malah dilaporkan perusahaan ke Polres Sleman dengan tuduhan menghalangi aktivitas penambangan.

Advertisement

Seorang warga Dusun Wiyu Kulonprogo yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP), Jono menyebut, aktivitas penambangan yang berada 50 meter dari kediamannya membuat sumur mengering. Warga terpaksa membeli air untuk kebutuhan memasak dan minum. Hal ini diakibatkan karena debit air sungai yang terus menerus menurun karena adanya aktivitas penambangan pasir.

BACA JUGA: TNI Copot Brigjen Tumilaar Gara-gara Surati Kapolri, Effendi Simbolon: Berlebihan!

"Kami sudah tiga kali menggali sumur hasilnya kosong. Dulu warga tidak pernah beli air sekarang harus beli. Saya sudah tidak berharap apa-apa. Kami minta untuk kegiatan tambang berhenti," kata Jono di Kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jogja, Senin (11/10/2021).

Jono mengungkapkan, selain berdampak pada ketersediaan air, aktivitas penambangan juga menimbulkan masalah lain. Kerja penambangan juga kerap lewat dari batas waktu dan membuat warga yang tengah sakit atau keluarga yang mempunyai anak kecil terganggu. Namun yang paling dirasakan adalah dampak dari kerusakan lingkungan.

"Yang mau bertanggung jawab kalau ada erosi tanah siapa? Karena tebing galian itu sudah sangat tinggi, di atasnya juga banyak rumah. Kalau longsor siapa yang menanggung," ujarnya.

Iswanto, warga Jomboran mengatakan, ada dua perusahaan tambang yang beraktivitas di wilayah itu. Salah satu perusahaan melaporkan dirinya bersama seorang rekannya yang lain ke Polres Sleman. Saat ini laporan telah naik ke tahap penyidikan.

Sebaliknya, warga setempat juga telah melaporkan perusahaan tambang ke Polda DIY atas dugaan tidak mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejak Januari 2021 lalu, namun sampai sekarang tak ada tindak lanjut. 

Perusahaan disebut Iswanto terus beraktivitas sejak 2017 lalu dan 2019 mulai menambang ke daerahnya hingga menyebabkan tanah ambles dan tidak melibatkan persetujuan warga.

"Awalnya perusahaan memang bilang kalau penambangan itu di wilayah lain, bukan di daerah kami yakni di Semaken, tapi praktiknya menambang semua. Pasir, batu itu semua diangkut. Ternyata modelnya memang begitu, yang bagian atas sudah habis ditambang kemudian geser ke bawah turun sampai ke daerah kami," katanya.

"Yang jelas itu kan berdekatan dengan Sungai Tinalah dan banjirnya gede, pastinya bakal sampai ke tempat kami karena itu kan bendungan, itu tanah warga sudah hilang paling tidak 25 meter jadi longsor," lanjut dia.

Staf Advokasi LBH Jogja, Budi Hermawan menjelaskan, terbitnya surat perintah penyidikan oleh kepolisian adalah pertanda polisi tak acuh terhadap Pasal 66 Undang-undang (UU) 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Regulasi yang mengatur tentang Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) itu hendaknya bisa dijadikan dasar oleh polisi untuk melindungi pejuang lingkungan.

Budi juga mempertanyakan aktivitas Ismanto dan Sapoi dalam hal ini sebagai terlapor yang disebut perusahaan melakukan tindakan menghalang-halangi aktivitas penambangan. Padahal, mereka hanya menyampaikan aspirasi yang mengantongi bukti prosedural bahwa aktivitas penambangan dilakukan tidak sesuai prosedur yang berlaku. Pihaknya pun berencana untuk membentuk forum pengacara bersama untuk mengawal secara serius kasus tersebut.

"Dan sayangnya sejak UU Nomor 3/2020 Perubahan atas UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan, praktis kewenangan pemerintah daerah ditarik ke tingkat nasional. Instansi yang sebelumnya berwenang melakukan pengawasan tidak bisa berbuat banyak dan peraturan sebelum di bawahnya, Perda atau Pergub itu jadi tidak berlaku lagi. Mereka sudah menemui jalan buntu untuk mengadu," kata dia.

Himawan Kurniadi, Kadiv Advokasi Kawasan Walhi Jogja menyatakan, insiden yang menimpa PMKP adalah korban pertama dari pengesahan UU Minerba baru. Pihaknya kemudian mempertanyakan komitmen Pemda DIY dan Sultan HB X yang sebelumnya menutup aktivitas tambang ilegal di hulu sungai Gunung Merapi akibat merusak lingkungan. "Mestinya ini juga mendapat perhatian yang serius," ujarnya.

Kapolres Sleman, AKBP Wachyu Tri Budi Sulistyono mengaku belum mengetahui secara detail laporan serta pengusutan soal kasus dugaan menghalangi aktivitas tambang di kawasan Jomboran. Wachyu yang menjabat sejak Juni itu mengklaim bakal melakukan prosedur yang sesuai dengan ketetapan hukum dalam melakukan pemeriksaan. "Kita akan ikuti aturan dan sesuai prosedur, tetap profesional saja tanpa memihak sana dan sini, harapan kami semua pihak juga menahan diri, proses penyidikan juga masih panjang. Artinya jangan terprovokasi lah," ungkap dia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Pemerintah Segera Menyusun Data Tunggal Kemiskinan

News
| Jum'at, 22 November 2024, 23:07 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement