Advertisement

Pohon Asam Jawa & Pohon Tanjung Sengaja Ditanam di Jalur Sumbu Filosofi, Ini Maknanya

Media Digital
Sabtu, 18 Juni 2022 - 03:57 WIB
Arief Junianto
Pohon Asam Jawa & Pohon Tanjung Sengaja Ditanam di Jalur Sumbu Filosofi, Ini Maknanya Kawasan sisi dalam Plengkung Gading yang berada di beteng Kraton Jogja. Foto diambil Kamis (17/6/2022). - Harian Jogja/Sunartono.

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA--Selain dari Tugu ke Karaton sebagai paraning dumadi, konsep sumbu filosofi terdapat sangkan yang dilambangkan perjalanan dari Panggung Krapyak ke Karaton.

Konsep tata kota Jogja yang menggambarkan banyak pesan kehidupan memang pantas untuk dilestarikan. Melalui Sangkan paraning dumadi, Sri Sultan Hamengku Buwono I tak hanya sekadar menata kota dari bagunan fisik yang unik dan menarik semata, tetapi sumber daya manusianya diharapkan bisa memahami filosofinya.

Advertisement

Pangeran Mangkubumi dalam penataannya memanifestasikan konsep siklus hidup masyarakat Jawa dalam penataan ruang dan formasi landmark Kraton dan Kota Jogja.

Pada siklus hidup sangkan, mulai dari konsepsi kehidupan, kelahiran, remaja, perkawinan dan pembentukan keluarga diwakili oleh perjalanan poros bagian selatan, yaitu Monumen Panggung Krapyak menuju ke utara dalam hal ini Karaton. Sedangkan perjalanan dari Tugu poros utara menuju ke Karaton melambangkan kembalinya ke sang Pencipta atau populer dengan paraning dumadi.

Pemda DIY melalui Balas Pelestarian Kawasan Sumbu Filosofi sedang berproses mengajukan konsepsi menarik ini ke Unesco untuk dapat diakui sebagai warisan budaya dunia. Penataan secara bertahap pun telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir.

Kondisi saat ini bentuk fisiknya sudah mulai ditata, terutama dari kawasan Tugu hingga Kraton sudah sangat tertata dengan baik. Adapun untuk siklus sangka dari Panggung Krapyak hingga Kraton masih dalam tahap perencanaan.

Di sisi selatan Karaton atau di luar kompleks inti, terdapat Sitihinggil Kidul yang dahulu berfungsi sebagai tempat raja menyaksikan latihan para prajurit sebelum upacara Garebeg. Pada tahun 1956 di lokasi tempat Sitihinggil Kidul dibangun Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad sebagai monumen peringatan 200 tahun berdirinya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kemudian di depannya ada Alun-Alun Selatan atau Pengkeran yang masih berada di dalam benteng keraton. Bagian tengah terdapat dua buah pohon beringin dinamakan supit urang dan diberi pagar keliling sehingga juga dikenal sebagai Ringin Kurung.

Alun-Alun Selatan berukuran 150 x 150 meter dikelilingi pagar setinggi dua meter dan lima bukaan sebagai jalan keluar masuk. Adapun kelima jalan tersebut adalah Jalan Langenastran Kidul, Jalan Langenastran Lor, Jalan Ngadisuryan, Jalan Patehan Lor, dan Jalan Gading. Jalan-jalan ini melambangkan kelima indera manusia.

Di era saat ini Alun-Alun Selatan banyak digunakan sebagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Bahkan Alun-Alun ini menjelma menjadi daya tarik wisata tersendiri bagi masyarakat tidak hanya DIY namun juga luar DIY. Pada hari dan jam tertentu banyak masyarakat berniaga di kawasan ini.

Tak jauh dari Alun-Alun ke arah selatan terdapat plengkung Nirbaya atau dikenal dengan Plengkung Gading. Gerbang dengan pintu melengkung sebagai sarana keluar masuk benteng. Di atas gerbang terdapat pelataran yang dinamakan panggung. Masing-masing plengkung dilengkapi dengan dua gardu jaga dan empat buah longkangan sebagai tempat meriam. Kondisi saat ini sebagai salah satu persimpangan di Jalan MT Haryono. Pada bagian dalam gerbang terdapat lampu bangjo. 

Sedangkan area di luar beteng tepatnya dari plengkung Gading ke selatan hingga Panggung Krapyak saat ini telah dihuni banyak permukiman warga.

“Vegetasi yang ditanam di seputaran jalan antara Panggung Krapyak hingga Plengkung Nirbaya adalah pohon asam Jawa dan pohon tanjung, ini ada makna filosofinya,” kata Ketua Dewan Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya (DP2WB) DIY, Yuwono Sri Suwito, Jumat (17/6/2022).

Filosofinya adalah kedua pohon asam dianalogikan dengan nengsemake atau berarti menyenangkan. Hal ini menggambarkan seorang anak selalu menarik bagi orang tuanya. Kemudian daun asem yang muda dinamakan sinom yang berarti gadis muda menarik bagi lawan jenis. Tanaman pohon Tanjung menggambarkan seorang anak bayi yang selalu disanjung oleh orang tua, kerabat dan sekitarnya.

Besarnya nilai filosofi di kawasan ini memang layak dilestarikan. Menurut Yuwono perlu ada pengawasan dan pengendalian dengan diperketat dan harus dijaga. Pembangunan yang dilakukan di sekitarnya harus sesuai dengan aturan yang telah diterbitkan. Karena jika nantinya sudah mendapatkan predikat sebagai warisan budaya dunia harus sesuai dengan manajemen perencanaan.

“Misalnya bangunan hanya diizinkan tingkat dua, ternyata membuatnya berlantai tiga dan seterusnya, ya tidak boleh. Sehingga masyarakat harus disadarkan bahwa mereka berada di area cagar budaya yang punya nilai penting. Bukan membelenggu kreativitas mereka. Justru dengan ini akan memiliki nilai tambah bagi masyarakat dampak ekonomi dan budaya pasti ada,” katanya. 

Ia mengatakan upaya pengajuan sumbu filosofi menuju warisan budaya dunia ini perlu mendapatkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat. Karena akan memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat. Kelestarian yang harus terus dijaga tidak hanya bangunan dalam hal ini tangible tetapi juga kelestarian budaya atau intangible.

 “Bagi pemilik heritage apapun namanya di setiap sumbu filosofi yang sudah ditetapkan batas delineasi itu harus kita cermati supaya tidak berlebihan. Karena orang tidak tahu saya melanggar atau tidak, peran DP2WB, pemerintah, masyarakat semua bisa berjalan seiring,” ucapnya.

 Kepala Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofis, Dwi Agung Hernanto mengatakan jawatannya terus melakukan sosialisasi ke masyarakat yang berada di sepanjang kawasan sumbu filosofi. Sebagian besar mulai memahami bahwa mereka berada di area cagar budaya sehingga ada hal yang perlu diperhatikan. Ia sepakat bahwa konsepsi sangkan paraning dumadi ini layak untuk dilestarikan. 

“Sangkan Paraning Dumadi ini sebuah nasehat yang menggambarkan perkembangan sejak lahir kemudian dewasa, paran menuju ke kehidupan dari awal sampai akhir kehidupan. Mengapa perlu dilestarikan? karena penuh dengan nasehat yang bisa digunakan untuk sekarang dan masa depan. Tujuan utamanya untuk usulan melestarikan itu sendiri baik tangible dan intangible,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

RUU Daerah Khusus Jakarta Sah Dibawa ke Sidang Paripurna

News
| Selasa, 19 Maret 2024, 09:37 WIB

Advertisement

alt

Ribuan Wisatawan Saksikan Pawai Ogoh-Ogoh Rangkaian Hari Raya Nyepi d Badung Bali

Wisata
| Senin, 11 Maret 2024, 06:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement