Guru Besar UGM Soroti Amandemen UUD: Kedaulatan Rakyat Kian Tidak Jelas
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA--Sejumlah guru besar menyoroti dinamika kedaulatan rakyat dalam UUD 1945 yang telah diamandemen sebanyak empat kali dalam diskusi di Kantor DPD RI Jalan Kusumanegara. Hasil amandemen dinilai jauh dari harapan konstitusi yang sempurna seperti klaim para tokoh yang terlibat, sebaliknya justru dinilai telah menjadi kontroversi konstitusional.
Guru Besar Kebijakan Publik dan Manajemen UGM Profesor Sofian Effendi menyatakan sejumlah kontroversi konstitusional akibat amandemen UUD yaitu letak kedaulatan rakyat menjadi tidak jelas dan tidak efektif. Sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Namun kedudukan MPR sebagai pelaksana kedaulatan dihapus.
Advertisement
"Apakah dalam posisi tidak sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat, MPR berwenang melaksanakan tugas dan fungsi yang ditetapkan pada ayat tersebut," katanya dalam diskusi bertajuk Amandemen Konstitusi dalam rangka Mengembalikan Kedaulatan Rakyat, Kamis (23/6/2022).
BACA JUGA: Pengadaan Lahan Perumahan untuk Pegawai Bandara Kulonprogo Rugikan Negara Rp23 Miliar
Ia menambahkan dalam amandemen juga mengganti sistem single legitimacy menjadi demokrasi mayoritas karena lembaga legislatif dipilih langsung oleh rakyat. Kondisi ini menjadikan constitutional gridlock atau kemacetan konstitusi karena tidak ada lembaga yang memiliki kewenangan untuk memutus sengketa lima kekuasaan dalam hal ini legislatif, eksekutif, yudikatif, auditif dan lembaga moneter. Dewan Pertimbangan Agung yang juga dihapus kemudian digantikan Wantimpres dinilai sebagai penyimpangan dari susunan lembaga pemerintah.
"Hampir semua kedaulatan rakyat menguap dari tangan rakyat. Ini constitutional gridlock akibat perubahan sistem demokrasi yang tidak dikoreksi secepatnya," ujarnya.
Selain Sofian Effendi, Profesor Kaelan juga turut menyoroti amandemen UUD. Ia menilai dalam proses amandemen banyak campur tangan asing yang juga turut hadir dalam pembahasan materi perubahan. "Ini memprihatinkan dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia, bagaimana mungkin LSM asing ikut campur tangan," katanya.
Ketua DPD RI La Nyalla Matalitti yang hadir dalam diskusi tersebut mengatakan banyak yang menilai UUD bukan diamandemen melainkan diganti karena berubah total. Dibandingkan negara lain, amandemen yang dilakukan di Indonesia tergolong brutal dan masif. Di AS misalnya konstitusi tercatat ada 4.500 kata diubah dengan menambah 2.500 kata dalam waktu 27 kali amandemen. Begitu juga India konstitusi bertambah 30.000 kata dari total 117.000 kata untuk 104 kali amandemen.
"Sedangkan UUD RI yang asli sekitar 1.500 kata dilakukan amandemen empat kali menjadi 4.500 kata, ini kecelakaan konstitusi. Parahnya lagi partai politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Pemerintah Inggris Dukung Program Makan Bergizi Gratis Prabowo-Gibran
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Pilkada Bantul: TPS Rawan Gangguan Saat Pemungutan Suara Mulai Dipetakan
- BPBD Bantul Sebut 2.000 KK Tinggal di Kawasan Rawan Bencana Longsor
- Dua Bus Listrik Trans Jogja Senilai Rp7,4 Miliar Segera Mengaspal
- Akan Dipulangkan ke Filipina, Begini Ungkapan Mary Jane Veloso
- Lima Truk Dam Asal Jogja Buang Sampah ke Saptosari Gunungkidul, Sopir Diamankan Polisi
Advertisement
Advertisement