Masalah Sampah seolah Tanpa Usai, Dosen Teknik Kimia UGM Ini Tawarkan Solusi
Advertisement
Harianjogja.com, SLEMAN - Permasalahan sampah di Kota Jogja terus jadi perhatian banyak kalangan, salah satunya Chandra Wahyu Purnomo. Dosen Teknik Kimia UGM ini berupaya ikut membangun kesadaran masyarakat dan pemerintah mengenai pentingnya penanganan limbah.
Persoalan sampah kota tidak hanya berkaitan dengan perilaku masyarakat yang tidak bertanggung jawab seperti membuang sampah sembarangan ke sungai.
Advertisement
Lebih dari itu, pengolahan limbah yang sudah masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA) pun perlu dipikirkan cara pengolahannya.
Sayangnya, hingga kini belum banyak pemerintah daerah yang memprioritaskan pengolahan sampah di TPA. Akibatnya, sampah organik dan anorganik yang dihasilkan masyarakat terus menumpuk di lahan TPA.
Problem itu kian mengkhawatirkan ketika pandemi melanda sejak 2020 lalu. Kebijakan penggunaan masker untuk semua orang demi pencegahan virus membuat limbah masker menggunung.
Pada 2021, Chandra menjadi salah satu inisator drop box used mask (Dumask). Inisiasi ini dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat mengakses pembuangan masker dan sarung tangan bekas yang aman dan ramah lingkungan.
BACA JUGA: PIP Kerjasama dengan UGM, Sosialisasikan Pinjaman UMi Lewat Mahasiswa KKN
Untuk itu, dia menempatkan sejumlah drop box Dumask di beberapa titik di Kota Jogja agar masyarakat bisa membuang maskernya ke sana. Kemudian, masker yang terkumpul itu dihancurkan dengan metode pirolisis. Dalam perkembangannya, timnya juga tengah meneliti pengolahan limbah masker untuk dijadikan batako hingga dudukan kursi.
Sayangnya, beberapa drop box awal yang ia tempatkan di sejumlah titik harus ia tarik kembali ke Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT) UGM, lembaga tempatnya banyak melakukan riset soal pemanfaatan limbah.
Dia menduga pemerintah kurang menaruh perhatian terhadap inovasinya, bahkan soal penanganan sampah secara umum.
"UU soal sampah itu udah banyak, tetapi penegakan hukumnya itu yang masih jadi pekerjaan rumah, jadi seperti tidak pernah selesai. Dari hulunya masalah, di hilirnya pemerintah juga nggak siap dengan teknologi [pengolahan sampah]. Kita ketinggalan jauh dari negara lain," kata Sekretaris PIAT UGM ini ketika ditemui Harianjogja.com di kantor PIAT, Senin (5/9/2022) lalu.
Dosen yang menekuni bidang pemanfaatan limbah ini memperoleh Doctor of Engineering dari Department of International Development Engineering, Tokyo Institute of Technology, Jepang.
Tak heran, dia menjadikan cara negara-negara lain dalam penanganan limbah sebagai acuan. Sebut saja persoalan sampah di Jogja. Setiap harinya sekitar 600 ton sampah masuk ke TPST Piyungan di Bantul. Dengan jumlah ini, sampah tak lagi bisa diatasi hanya dengan ditumpuk, tetapi harus diatasi teknologi berskala industri besar.
Di PIAT, Chandra menjalankan sejumlah model teknologi pengolahan sampah yang ada di Rumah Inovasi Daur Ulang (Rindu).
Sekarang, kapasitas pengolahan sampah di sana mencapai 2-3 ton sampah per hari yang bersumber dari kampus UGM. Di sana, pengolahan sampah yang diprioritaskan ialah pengolahan sampah organik.
"Main process-nya di kompos. Tetapi, karena sampah dari UGM juga belum terpilah, masih banyak [sampah anorganik] ikutannya, jadi kami juga punya mesin pengolahan lain seperti incinerator," ujarnya.
Dengan begitu, setidaknya sebagian sampah dari kampus itu bisa diolah di sana dan tidak membebani TPA.
Sampah organik dijadikan kompos untuk dijual, sementara sampah anorganik ada yang diolah jadi bahan bakar, batako, dan berbagai material lain untuk kepentingan penelitian.
Teknologi
Selain aktif di PIAT, Chandra juga menjadi koordinator Indonesian Solid Waste Forum (ISWF). Di sana, dia banyak membangun diskusi dengan akademisi, kementerian terkait hingga LSM tentang penanganan sampah di daerah.
Menurut Chandra, masyarakat masih memandang sampah sebagai masalah dan beban. Sehingga mereka hanya ingin sampah itu hilang begitu saja, seperti dengan disetor ke TPA melalui iuran sampah warga di kampung.
Namun, cara yang lebih buruk juga masih terjadi, seperti sampah yang dibuang ke tempat ilegal hingga dibakar.
Sampah organik yang dihasilkan bisa dijadikan kompos di halaman rumah. Sementara, sampah anorganik bisa disetor ke tukang rongsok maupun bank sampah. Di Jogja, layanan ini sudah cukup banyak dan dikemas dengan cara modern.
Meski demikian, Chandra menganggap hal itu saja tidak cukup jika pengolahan sampah hanya dilakukan masyarakat. Sebab, pemerintah daerah harus menyediakan teknologi pengolahan sampah yang tidak bisa diolah warga.
"Misalnya sampah anorganik seperti sterofoam, batu baterai, dan sebagainya. Tidak mungkin kalau limbah itu yang mengolah masyarakat, jadi butuh teknologi skala besar yang bisa disediakan pemerintah," kata dia.
Lewat berbagai forum, Chandra berupaya membangun kesadaran pemerintah mengenai pengelolaan sampah kota. Baginya, Indonesia sudah cukup maju untuk dalam membuat infrastruktur seperti bandara, jembatan, dan banyak sarana lainnya.
Ia berharap pemerintah bisa mulai berinvestasi sejak sekarang untuk pengolahan sampah. Jika belum ada teknologi di level rumah tangga hingga TPA, maka penumpukan sampah akan terus jadi masalah hingga pada akhirnya nanti jadi bom waktu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Jadwal Terbaru KRL Jogja-Solo Jumat 22 November 2024, Berangkat dari Stasiun Tugu, Lempuyangan dan Maguwo
- Jadwal SIM Keliling di Kulonprogo Jumat 22 November 2024
- Heroe-Pena Optimistis Kantongi 40 Persen Kemenangan
- Jadwal Terbaru KRL Solo-Jogja Jumat 22 November 2024: Berangkat dari Palur Jebres, Stasiun Balapan dan Purwosari
- Program WASH Permudah Akses Air Warga Giricahyo
Advertisement
Advertisement